Kecamuk Perang Jawa

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 25 Juli 2014 | 14:48 WIB

"Inilah bekas ladang pembantaian," ujar Ki Roni Sodewo sembari memandang hamparan persawahan menghijau yang dikepung perbukitan karst di Desa Dekso. Lelaki kurus itu berdiri di tepian jalanan beraspal yang berkelok menuju kaki sebuah bukit. Sembari menunjuk bukit di depan kami, dia berujar, "Dipanagara dan prajuritnya berada di bukit itu."

Desa itu pernah menjadi markas besar kakek moyangnya pada akhir 1825 hingga pertengahan 1826. Dia berkisah, di sekitar tempat kami berdiri, sekawanan serdadu Hindia Belanda Timur pernah terjebak. Mereka tewas dibantai laskar Dipanagara yang muncul tiba-tiba dari arah bukit dan lembah sungai di belakang kami, demikian menurut tradisi tutur warga Kulonprogo, barat Yogyakarta.

Nama sejatinya adalah Roni Muryanto Budi Santoso, keturunan ketujuh Pangeran Dipanagara. Sebagian turunan Sang Pangeran terserak di sisi barat Kali Progo, da­erah ge­rilya selama Perang Jawa. Kini, mereka melakoni hidup sebagai petani, guru, hingga pejabat pemerintah setempat. Demi mempersatukan kerabatnya yang tercerai-berai dan tak sa­ling kenal, dia mendirikan Ikatan Keluarga Pangeran Diponegoro (IKPD) sejak tujuh tahun silam.

Awal musim kemarau tahun ini, saya dan Ki Roni menapaki jalanan berliku di sepanjang tepi barat Kali Progo hingga kaki perbukitan Menoreh yang terjal. Kawasan yang sampai sekarang masih bertajuk hutan ini pernah menjadi pusat kekuatan dan medan pertempuran kakek moyangnya. Jika Dipanagara menjadikan perbukitan sekitar Kulonprogo ini sebagai lumbung pangan mereka, sekarang daerah ini berkembang sebagai salah satu kawasan agropolitan di Provinsi Yogyakarta.

Kakek moyang Ki Roni itu lahir di Keputren Keraton Yogyakarta pada Jumat Wage sekitar jam setengah lima pagi, 11 November 1785. Bayi lelaki itu bernama Bendara Raden Mas Mustahar. Anak dari pasangan putra sulung Sultan Hamengkubuwana II—yang kelak pada 1812 bertakhta sebagai Sultan Ketiga—dan istri tak resminya, Raden Ayu Mangkarawati. Konon, orang yang lahir pada Jumat Wage biasanya banyak bicara, namun hal yang dibicarakan tepat. Kelahiran kala fajar juga kerap dikaitkan dengan sosok peneroka zaman.

Saat remaja, pada akhir 1805, namanya berganti menjadi Raden Antawirya. Gelar Pangeran Dipanagara disandangnya pada 1812. Pangeran itu memberikan pemaknaan atas namanya sebagai seorang yang menyebarkan pencerahan dan kekuatan bagi sebuah negara. “Dipanagara itu bukan nama orang,” ungkap Ki Roni. “Itu adalah gelar kepangeranan yang dipakai oleh para putra raja pada zaman dahulu.”

Babad Dipanagara yang tersimpan di Perpustakaan Nasional merupakan autobiogra­finya dalam aksara pegon (Arab gundul). Ditulis ketika pengasingannya di Fort Amsterdam, Manado. Namun, naskah yang saya saksikan itu bukan asli­nya. A.B. Cohen Stuart, ahli sastra Jawa kuno, menya­linnya pada 1860-an. Sayang, naskah asli yang disimpan keturunan Pangeran di Makassar itu sudah hancur. Kabar baiknya, salinan ini diakui UNESCO sebagai Memory of the World pada Juni 2013. Dalam tembang macapat, babad bercerita jujur tentang pribadi Dipanagara yang berbudaya dan beragama Islam-Jawa. Lebih jujur ketimbang buku biografi politisi sekarang yang konon penuh pencitraan.

Sekitar empat kilometer sebelah selatan Dekso, kami singgah di Desa Nanggulan. Pada musim hujan 1828, Belanda pernah mendirikan benteng besar di sini. Kami menjumpai makam serdadu Belanda yang berselubung semak di sudut permakaman desa. Ki Roni membersihkan semak yang menutupi prasasti  nisan dengan sabit kecil. Namanya, Kapten Hermanus Volkers van Ingen. “Seharusnya, meskipun milik musuh, kita harus merawatnya. Makam ini merupakan bagian sejarah,” ujar Ki Roni prihatin.“Kasihan Van Ingen.”

Seorang peneliti menemukan buku harian Kapten Errembault de Dudzeele et d’Orroir di pasar loak tepian Seine, Prancis. Errembault yang pernah bertugas bersama Van Ingen di Yogyakarta kala Perang Jawa, mengisahkan kemalangan koleganya. Kini, buku harian itu tersimpan di perpustakaan École Française d’Extrême Orient, Paris. “Kapten Van Ingen dan 32 serdadu Eropa tewas dalam pertempuran,” tulis Errembault. Dia melanjutkan, “juga seorang pangeran Yogyakarta yang telah meninggalkan para pemberontak dan telah mengabdi pada pihak kami selama setahun terakhir—bersama 12 prajuritnya. Empat belas orang turut terluka. Kedua meriam milik detasemen berhasil jatuh ke tangan musuh, namun hal itu tidak berlangsung lama.” Demikian kisah tragis Van Ingen pada 28 Desember 1828.

“Peristiwa itu merupakan operasi militer yang bodoh sehingga menyebabkan dia tertangkap di hutan dekat Nanggulan dan dibantai dengan seluruh peleton infanterinya,” ungkap Peter Brian Ramsay Carey kepada saya dalam suatu  kesempatan. Berdasar isi prasasti makam Van Ingen, Carey memaparkan, “Dia pergi ke pertempuran bersama anjing Irish red setter-nya yang turut dikuburkan di samping makamnya.”

Carey merupakan salah satu sejarawan Inggris terkemuka. Pernah mengajar di University of Oxford sebagai Laithwaite Fellow untuk Sejarah Modern di Trinity College, Oxford, Inggris Raya. Kini dia menjadi Adjunct Professor di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Selama 40 tahun terakhir, dia telah menyelisik sosok sejati Dipanagara. Buku karyanya yang berjudul The Power of Propechy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java terbit pertama kali pada 2007. Edisi dalam bahasa Indonesia me­nyusul pada 2012. Sebuah buku yang turut me­nyatukan kembali ”tulang-tulang yang ter­.pisah” wangsa Dipanagaran saat peluncurannya di puing-puing kediaman pangeran itu di Tegalrejo, Yogyakarta.

“Sosok perempuan sangat penting di dalam pendidikan Dipanagara,” ungkapnya kepada saya. Pangeran itu tidak tumbuh dewasa dalam keraton. Sejak usia tujuh tahun, dia dibesarkan dalam suasana pedesaan dan pesantren bersama eyang buyutnya, Ratu Ageng di Tegalrejo.

Sang eyang buyut itu pernah menjadi pang­lima laskar perempuan Keraton Yogyakarta. Beliau punya garis leluhur dari Sultan Bima di Sumbawa. Sosok perempuan lain yang memengaruhi karakter Dipanagara adalah Ratu Kedhaton, istri Sultan Kedua atau eyangnya, bergaris keturunan bangsawan Madura. Sementara ibundanya yang bukan berdarah biru, berasal dari Sukoharjo. “Semua sosok perempuan tadi adalah sosok perempuan dari anak kiai.”