Kecamuk Perang Jawa

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 25 Juli 2014 | 14:48 WIB

Berbagai operasi militer tidak memberikan kemajuan bagi Belanda, karenanya De Kock mengambil strategi baru. Sejak Mei 1827, Stelsel Benteng diterapkan yang diperkuat pasukan ge­rak cepat. Arsiteknya adalah Kolonel Frans David Cochius, perwira zeni se­nior. Usai Perang Jawa, namanya diabadikan sebagai benteng bersegi delapan di Gombong, Jawa Tengah. Seperti apa purwarupa Stelsel Benteng?

“Benteng yang dimaksud adalah benteng medan,” ujar Saleh, “Bukan fort.” Pertahanan itu cukup ekonomis karena menggunakan sumber daya setempat. Sebuah bangunan persegi dan berpagar batang pohon kelapa setinggi 2,5 meter. Dua sudutnya dibangun bantalan tempat meriam. Hanya gudang mesiu yang dibangun berbatu bata. Sifatnya darurat, benteng-benteng itu bisa ditinggalkan kapan saja, mengikuti gerak pengepungan. “Benteng tidak terpaku dalam satu wilayah statis, tetapi dinamis.”

Selain biayanya besar, Benteng Stelsel membuat durasi perang kian lama, lantaran para penghuni benteng itu bukan hanya tentara. Para serdadu pribumi membawa anak-istri­nya yang melambatkan laju militer Hindia Belanda.

Perang ini juga telah membuktikan ketang­guhan orang Jawa dalam bertahan hidup. Saleh mengatakan, santapan mereka adalah jadah (penganan dari ketan), umbi-umbian, labu-labuan, buah, dan ikan asin. “Belanda mencegah pembuatan garam,” ujar Saleh. “Coba saja Anda sehari tidak pakai garam. Lemas dan kram!”

Jadah juga menjadi menu serdadu Hindia Belanda Timur, ujarnya, selain ternak warga. Para serdadu juga wajib menanam umbi-umbian di desa taklukan. Sumber lain menyebutkan, mereka menyantap roti, sup, sagu, nasi, sambal, juga merpati yang mudah ditemui di Jawa. Pelepas hausnya: kopi, teh, dan anggur merah.

Manuver De Kock untuk menjepit Dipanagara di hutan Kulonprogo, justru membuat Pangeran dapat menghimpun kekuatannya kembali. Kawasan itu ternyata memberikan pasokan pangan yang melimpah dan rakyat yang loyal. “Rakyat sebelah barat Bogowonto itu sudah berpihak kepada Dipanagara,” ujar Saleh. “Bagi mereka, Sultan adalah Dipanagara.”

Sang Pangeran mendeklarasikan diri sebagai “Sultan Ngabdulkamid Erucakra Sayidin Panatagama Khalifat Rasulullah” pada Agustus 1825. Sejak saat itu dia memilih disapa dengan Ngabdulkamid. Dia menyerukan untuk membinasakan orang Belanda dan Cina di Tanah Jawa, jika mereka tidak bersedia menganut Islam. Dia selalu melihat bahwa orang Cina merupakan sumber penindasan perekonomian Jawa, dan pendapat ini berlaku sampai akhir perang. Pembantaian warga pecinan yang dilakukan laskar­nya bukan hal garib pada awal perang.

Politik segregasi menjadi karakter Perang Jawa. Salah satu pembantaian sadis dilakukan oleh Raden Ayu Yudakusuma, anak perempuan dari Sultan Kedua. Dia merupakan komandan pembantaian warga Cina—termasuk perempuan dan anak-anak—di Ngawi pada September 1826. Akhir tahun berikutnya, Raden Tumenggung Aria Sasradilaga, ipar Dipanagara, membantai warga pecinan di Lasem dan menjamahi perempuan Cina secara paksa—pemerkosaan.

Hubungan Jawa dan Cina bagai pasang-surut air laut di negeri ini. Sebelum Perang Jawa, apakah hubungan mereka selalu dalam kebencian?

Saya menjumpai Carey lagi. Kali ini kami berbincang di kediamannya yang anggun, tepi timur Kali Cisadane, Tangerang Selatan. Di ruang tamunya, dia memajang lukisan potret Pangeran Dipanagara bergaya kontemporer.

Pada akhir abad ke-18, keturunan Cina punya berbagai peran di Jawa: pengusaha untuk keraton, ahli medis, hingga selir. Dari naskah keraton yang dirampas Inggris, Carey berkata bahwa Sultan Kedua punya seorang tabib pribadi keturunan Cina. Beliau juga punya selir bernama Mas Ayu Sumarsanawati yang keturunan Cina di pesisir utara. Selir itu me­lahirkan Jayakusuma, paman Dipanagara yang menjadi panglima dan ahli siasat perangnya, ujarnya.

“Saya kira,” kata Carey, “saat Dipanagara dibesarkan di Yogya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, belum ada semacam apartheid antara Tionghoa dan Jawa.” Dia menduga, istri pertama yang sah dari Dipanagara adalah keturunan Cina. “Yang menjadi betul-betul parah adalah sesudah Belanda kembali. Belanda memaksa sebuah sistem yang bersekutu dengan keturunan Tionghoa sebagai bandar tol.”