Kecamuk Perang Jawa

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 25 Juli 2014 | 14:48 WIB

“Dipanagara bukan orang Jawa,” ujarnya. “Dia orang Jawa dari ayahnya, tetapi dia punya trah dan darah seperdelapan Sumbawa dan seperempat Madura.”

“Jika kita lihat penggede dalam sejarah Jawa,” kata Carey, “dari Erlangga, Jaka Tingkir, Ki Pamanahan, dan Senapati, sampai Dipanagara; semua lahir dan dibesarkan di areal desa. Mereka bersentuhan sekali dengan rakyat.” Pangeran tampaknya tak berjarak dengan rakyat. Dalam autobiografinya, kala melawat ke tanahnya di daerah selatan, dia selalu bersama rakyat supaya bisa berbarengan turun ke sawah memanen padi. Juga, dia kerap bepergian jauh—perjalanan ke Pantai Selatan dan Delanggu—dengan jalan kaki sambil menyamar sebagai kawula alit. “Itu mungkin mencerminkan realitas sekarang,” kata Carey. “Blusukan pemimpin.”

Kepada Letnan Dua Julius Heinrich Knoerle, perwira yang mengawalnya dalam pelayaran ke Manado, Dipanagara mengungkapkan kegemarannya menyesap ang­gur putih asal Constantia, Afrika Selatan—meski tidak berlebihan. Dalam percakapan itu tersingkap pula sisi feminitasnya, mungkin pengaruh sosok perempuan saat masa kecil. Selama perang dia sejatinya tidak tega untuk mengangkat senjata. Terhadap korban tewas bergelimpangan di kedua pihak, dia merasa pilu, bahkan, dia sampai menutup kedua matanya.

Mengapa Perang Jawa harus terjadi? Perang ini bukan karena pelebaran jalan yang memangkas tanah Pangeran, seperti yang pernah diajarkan dalam pelajaran sejarah di sekolah dasar. Bukan juga lantaran dia galau sebab tidak terpilih menjadi Sultan. Kabar apkiran itu sengaja didendangkan oleh pemenang perang untuk mengecilkan arti pemberontakan Dipanagara.

Kali pertama, menurut Carey, pemberontakan pecah di salah satu keraton Jawa Tengah bagian selatan, yang hakikat perkaranya disebabkan oleh problem sosial dan ekonomi ketimbang ambisi berkuasanya suatu wangsa.

Sejak penjarahan akbar di Keraton Yogyakarta oleh Inggris pada Juni 1812, kerajaan itu sebenarnya mulai bernaung dalam masa kolonial baru di Tanah Jawa. Dalam keadaan bangkrut, Belanda akhirnya kembali menguasai Jawa pada pertengahan 1816. Gelombang liberalisme masuk ke Jawa lewat persewaan tanah. Gaya hidup Eropa mulai memasuki Keraton Yogyakarta. Minuman keras, permainan asmara, hingga perselingkuhan antara orang Belanda dan para putri keraton kian marak. Belanda membuat Keraton mirip tempat pelacuran. Pun, hal yang membuat jengkel Dipanagara, seorang asisten residen—yang dikenal buaya darat—ternyata menjadikan istri tak resmi pangeran itu sebagai gundiknya selama berbulan-bulan. 

Belanda juga mengintervensi urusan domestik Keraton. Hubungan antara Dipanagara dan Belanda-Keraton kian tidak harmonis sejak keponakannya yang berusia dua tahun naik takhta menjadi Sultan Kelima pada 1822. Dilema penguasa Jawa, kedekatan dengan Belanda akan menguatkan kedudukannya, namun bakal menyulut perseteruan antarsaudara.

Belanda memperluas penerimaan pajak tak langsung yang dipungut oleh orang-orang Cina. Rakyat kian memikul derita tak terperi karena pajak rumah, pajak ternak, pajak panen, dan pajak gerbang tol. Kebencian terhadap orang Cina dan Belanda pun membuncah. Semua fenomena ini adalah akar dari Perang Jawa.

Perang Jawa pecah pada Rabu, 20 Juli 1825. Awal perang panjang dan melelahkan ini ditandai penyerbuan dan pembakaran kediaman Dipanagara di Tegalrejo oleh pasukan gabung­an Belanda-Keraton. Salah satu pemicunya, rencana pelebaran jalan yang memangkas pagar timur kediaman Sang Pangeran. Seorang serdadu Belanda berkisah, Sang Pangeran lolos dengan mengendarai kudanya.

Namun, sebuah stempel tertinggal di kediaman Dipanagara, bersama sejumlah uang. Stempel itu beraksara Jawa atas nama dirinya “Bendara Pangeran Arya Dipanagara”. Stempel yang siap digunakan itu tampaknya mengindikasikan bahwa Perang Jawa sudah disiagakan sejak lama. Lalu, Dipanagara membuat stempel baru beraksara pegon, “Ingkang jumeneng Kangjeng Sultan Ngabdul Khamid Erucakra Kabirul Mukminin Sayidin Panatagama Rasullahi s.a.w. ing Tanah Jawi”—“Dia yang dinobatkan menjadi Yang Mulia Sultan Ngabdulkamid Ratu Adil, Perdana di antara Kaum Beriman, Pemimpin Iman, Penata Agama, Nabi Allah, semoga damai bagi-Nya di Jawa.” Gelar “Ratu Adil” inilah yang menebarkan pesona dan harapan bagi rakyat dan petani.

“Perang Jawa itu sudah disiapkan selama 12 tahun,” ujar Saleh As’ad Djamhari. “Itu jihad perang suci. Cita-citanya membangun negara Islam atau balad Islam yang berdasarkan Quran. Itu kata Dipanagara sendiri dalam babad.”

Saleh merupakan sejarawan militer, purna­wirawan, dan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Dia pernah mengkaji Stelsel Benteng dalam pemberontak­an Dipanagara. Buyut dari kakek buyutnya merupakan seorang pengikut Dipanagara yang seusai perang mela­rikan diri ke Malang, Jawa Timur.