Kecamuk Perang Jawa

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 25 Juli 2014 | 14:48 WIB

Mengapa orang-orang Cina itu mau bersekutu untuk memeras pada 1820-an?  Rupanya mereka pendatang baru asal Fujian yang tidak bisa berbahasa Jawa—apalagi kenal budayanya—dan tidak lancar berbahasa Melayu.

Awal perang memang penuh teror terhadap warga Cina. Namun, belakangan, orang Jawa merindukan mereka juga. “Situasi seperti balik ke semula,” ujarnya. “Bahwa orang Tionghoa dibutuhkan untuk menjadi pembekal sebab mereka punya jaringan di pesisir. Mereka menyelundupkan mesiu dalam paket-paket ikan asin”—sebagian bertempur di pihak Dipanagara!

Ketika kebencian terhadap orang-orang Cina masih bergolak, Dipanagara bersama laskarnya pernah bermalam di Kedaren, dusun berbenteng jurang dekat Jatianom. Dalam babadnya, dia mengisahkan suatu malam, seorang perempuan Cina yang menjadi tawanan diutus sebagai tukang pijitnya. Lalu, Sang Pangeran terlena dan berselingkuh dengan perempuan Cina itu.

Menurut Dipanagara, peristiwa malam di Kedaren itulah yang membuatnya keok dalam pertempuran Gawok, Oktober 1826. Dia terluka parah di bagian dada kiri dan tangan kanannya. “Dia bukan orang yang munafik,” ujar Carey. Dipanagara mengakui bahwa sifat buruknya masih melekat dan dia mengakui pula bahwa kelemahannya terhadap kaum hawa. “Dia terus terang, dan itu yang menarik dari babad.”

Pengakuan atas kesalahan sendiri merupakan watak kesatria. Namun, kejujuran Sang Pangeran menjadi tragedi yang tidak diakui. Selama hampir 150 tahun sesudah Perang Jawa, nasib keluarga Dipanegara tidak begitu beruntung. Ibarat pembawa sial, tak ada keluarga Keraton Yogyakarta dan Surakarta yang menggunakan nama Dipanagara lagi, hingga kini. Di Jawa, keturunannya pernah mendapat stigma seperti orang yang terlibat G30S—cap buruk.

Seorang cicit Dipanagara pernah mendirikan Jajasan Pendidikan Diponegoro pada 1954 di Yogyakarta. Tujuannya, supaya wangsa Dipanagaran yang di pelosok Gunung Kidul dan Bagelen bisa memperoleh beasiswa untuk bersekolah di Yogyakarta. Walau tersedia uang dan dukungan, tak satu pun orang yang bersedia mengaku keturunan Dipanagara. Miris.

“Malah saya seperti kecolongan,” ungkapnya. Salah seorang calon presiden Republik Indonesia, diam-diam mencuplik video wa­wancara Carey demi kampanye politik pemilihan umum 2014. Carey sangat keberatan lantaran sejatinya wawancara itu bukan dibuat untuk kepentingan politik. “Seolah-olah dia mau membuat sejarah fiktif bahwa dia punya persentuhan dengan Dipanagara,” tuturnya. “Dan, itu tidak mungkin terjadi pada 40 tahun yang lalu.”

Apa teladan Dipanagara untuk zaman sekarang? “Dipanagara tidak menolak takdir,” ujarnya. “Di zaman edan dia masih tetap waras.” Dia hidup di zaman yang tidak pernah memberikan solusi yang baik, meski segala daya upaya telah dikerahkan. Nasibnya tragis. Namun, dia bisa menjalani semuanya dengan ikhlas karena telah tertempa tiga tsunami dalam hidupnya. “Dia bisa hijrah meskipun kehidupan berubah: di Tegalrejo waktu diadopsi, dikhianati di Magelang, dari medan perang menulis sastra, lalu menyiapkan diri untuk akhirat.”!break!

Saya termangu di hadapan nisan putih yang tertancap mungil di bekas Kerkhof Kebonjahe, Jakarta Pusat. Makam berhias vas bunga itu bertuliskan “General Majoor A.V. Michiels” disusul baris di bawahnya “Balie 23 Mei 1849”.

Sejak pertempuran terakhir di Siluk yang pe­cah pada 17 September 1829, laskar Dipanagara tercerai berai. Dia menyeberangi Kali Progo dan tak pernah lagi menjejakkan kakinya di  Mataram. Andreas Victor Michiels inilah yang nyaris menangkap Dipanagara saat me­larikan diri di Pegunungan Gowong, kawasan barat Kedu pada 11 November 1829—kado tak lucu di hari ulang tahun Sang Pangeran yang ke-44. Dia berlari meninggalkan kuda, tombak pusaka Kiai Rondan, dan peti pakaiannya. Lalu, meloncat ke jurang dan tersamar di balik rerimbunan gelagah. Sejak itu dia berjalan kaki sepanjang hutan, hanya ditemani dua punakawannya. Hidup terlunta-lunta, terserang malaria, dan menjejak Banyumas pada akhir Januari 1830.

Memang, Stelsel Benteng telah menyulitkan gerak Dipanagara. Namun, pecahnya koalisi laskar turut merapuhkan kekuatannya. Pada November 1828, Kiai Maja memutuskan untuk menyerah karena tidak sependapat dengan Dipanagara soal pendirian keraton dan keluhuran agama Islam. Sementara, pertengahan Oktober 1829, Senthot menyerah karena tak ada lagi simpati rakyat akibat pajak yang dipungutnya sendiri. Ketika santri dan rakyat berkurang dukungannya, perang gerilya pun menjadi sulit.

Perang Jawa meminta tumbal menge­rikan. Taksirannya, 200.000 orang Jawa binasa, warga Yogyakarta tinggal separuh. Sekitar dua juta orang hidup sengsara. Ternak habis dan pertanian rusak berat. Sekitar 15.000 serdadu Hindia Belanda hilang dan tewas­—hampir separuhnya serdadu pribumi. Belanda nyaris bangkrut.