Di pantai barat Cape Town, dekat tempat berselancar ombak besar bernama Dungeons, ada pulau datar bertanah rendah yang dihuni kawanan anjing laut. Sinar matahari berkilauan terpantul gelembung udara yang terjebak di antara rambutnya, dan saat hewan ini berputar dan melesat, gelembung udara bermunculan di belakangnya seperti asap putih pesawat terbang.
Pulau ini terletak di dalam Zona Terbatas Karbonkelberg, suaka “larangan tangkap” dalam kawasan lindung yang lebih luas, yang meliputi sebagian besar pesisir Cape Town. Di tempat seperti Karbonkelberg, orang bisa merasa bahwa keadaan dunia kelautan baik-baik saja.
Sampai ia, seperti yang saya lakukan, mengalihkan pandangan dan melihat orang beriringan mendaki jalan bukit dengan susah payah sambil memanggul karung berat. Saya berpamitan dengan kawanan anjing laut gesit itu, berenang ke teluk kecil dan naik ke darat ke hamparan cangkang abalon. Seekor ibis berjalan di antara cangkang, mematuki sisa perut abalon. Saya naik ke atas sebuah batu datar, yang beberapa menit sebelumnya menjadi rumah jagal abalon. Di sinilah orang-orang itu tadi mencungkil daging dari cangkang dengan jempol, dan memasukkannya ke karung mereka.
Naik dari teluk, jalan berkelok curam melintasi punggung bukit ke kota Hangberg. Di sepanjang jalur ini, “jalan raya penjarah”, ratusan ton abalon ilegal—perlemoen dalam bahasa Afrikaans—diangkut setiap tahun. Dagingnya masuk ke rantai pasokan tengkulak dan pengolah, dengan tujuan Hong Kong dan tempat lain di Asia.
Di Afrika Selatan abalon bersinonim dengan kegagalan: kegagalan penegakan hukum, pengelolaan perikanan, dan kontrak sosial yang menjadi landasan pemanfaatan laut berkelanjutan. Abalon adalah segmen perikanan yang hancur, dan orang yang menjarahnya dikecam masyarakat sebagai burung nasar.
Tetapi, abalon hanyalah bagian dari tragedi bahari yang lebih luas. Populasi sepertiga ikan tepi pantai Afrika Selatan yang ditangkap untuk tujuan komersial dan rekreasi menyusut drastis. Tahun 2000 pemerintah menyatakan keadaan darurat dan memangkas jumlah izin penangkapan ikan komersial. Namun, banyak populasi yang sudah sangat sedikit jumlahnya. Penangkapan komersial 40 spesies ikan pancing yang penting kini dilarang. Bahkan ikan nasional bernama galjoen, juga dilarang.
Di Afrika Selatan yang menyayangi dan kemaruk ikan, hasil tangkap yang menurun dan jumlah spesies yang kian sedikit sangat dirasakan masyarakat. Namun, selain krisis populasi ikan, negeri ini juga dirundung krisis penangkapan ikan. Setengah masyarakat nelayan subsisten Afrika Selatan disebut mengalami rawan pangan, karena mata pencarian mereka terancam bahaya. Padahal pada 1994, saat Nelson Mandela terpilih sebagai presiden Afrika Selatan yang baru berubah menjadi negara demokrasi, partainya Kongres Nasional Afrika memandang ikan sebagai penyetara sosial dan pengentas kaum miskin.
Awalnya prospek transformasi sosial ini tampak bagus. Ribuan “orang yang sepanjang sejarah dirugikan”—orang kulit hitam dan kulit berwarna (kata yang berterima di Afrika Selatan untuk menyebut blasteran Eropa-Afrika)—memperoleh hak menangkap ikan. Pada 2004 lebih dari 60 persen dari kuota penangkapan ikan komersial dipegang oleh kelompok ini, dibandingkan dengan tak sampai satu persen, sepuluh tahun sebelumnya.
Malangnya, seperti yang terlihat dari keadaan darurat ikan pancing, tamu yang datang ke kenduri pemerintah melebihi hidangan yang tersedia. Lebih parah lagi, ada kategori nelayan yang tidak kebagian. Kebijakan perikanan baru berlaku bagi nelayan komersial, rekreasi, dan subsisten, kelompok terakhir ini adalah orang yang menangkap ikan hanya untuk dimakan, bukan dijual. Nelayan skala kecil atau disebut nelayan rakyat, tak dimasukkan. Mereka tidak subsisten total, tidak pula sepenuhnya komersial. Lebih penting lagi, mereka menganggap diri sebagai bagian dari masyarakat nelayan, bukan pengusaha perikanan. Mereka meminta hak kolektif dan akses komunal terhadap sumber daya, tetapi ternyata mereka tak mendapat tempat dalam sistem kuota yang berdasarkan kepemilikan swasta itu.
Bagi para pelaku skala kecil ini, dikecualikan dari proses pembagian terasa seperti mengalami zaman apartheid lagi. Dan ada sumber keterasingan lain, sesuatu yang semestinya bermanfaat bagi mereka: Kawasan Konservasi Laut (KKL), daerah pesisir dan laut yang diperuntukkan bagi perlindungan parsial atau total terhadap eksploitasi manusia.
Kehidupan laut berkembang biak dalam surga biru ini dan menyebar ke daerah sekitarnya, meningkatkan hasil tangkapan dan melestarikan mata pencaharian. KKL dipandang sangat penting dalam pelestarian kehidupan laut dan pengelolaan perikanan, dan hampir semua negara bahari telah menandatangani pakta PBB dengan tujuan melindungi sepuluh persen samudra dunia sebelum tahun 2020. Namun, bagi banyak masyarakat nelayan skala kecil, KKL memperparah rasa ketidakadilan—terutama jika daerah larangan tangkap terletak di lingkungan mereka, seperti halnya di Hangberg, tempat suaka Karbonkelberg meliputi seluruh pantai yang dapat diakses sepanjang berkilo-kilometer.
!break!Hangberg terbentang di sisi bukit yang menghadap perumahan pinggir pantai Houtbaai. Para penjarah membayar pengintai, yang mengawasi kalau-kalau ada polisi yang datang. Informan polisi juga mengamati, kemudian mengadukan para penjarah.
Saya menyusuri labirin gang dan lorong Hangberg bersama Donovan van der Heyden, seorang pembina anak muda, organisator masyarakat, dan mantan penjarah. Van der Heyden, yang rambut gimbalnya tertutup topi Rastafarian, berbicara tentang ingatan panjang masyarakat itu soal perampasan hak mereka.