Arus Silang Siur

By , Kamis, 20 November 2014 | 16:46 WIB

Dengan logika itu, nelayan yang menangkap ikan dalam KKL sama saja dengan orang yang menghambur-hamburkan pokok simpanannya, atau malah seperti orang yang merampok bank. Buat apa mereka melakukan hal itu?

Untuk mengetahuinya, saya berkendara 130 kilometer ke utara Cape Town ke Langebaan, laguna air asin berliku di pantai barat Afrika Selatan. Rawa, beting, dan air dangkal yang terlindung di Langebaan adalah tempat pembiakan dan perlindungan ikan penting serta habitat makan bagi ratusan spesies burung.

Oom Billie Smith membawa saya menangkap harder, sejenis belanak Afrika Selatan. Nelayan di sini biasa menjaring belanak sejak tahun 1600-an. Kebanyakan digarami dan dikeringkan untuk membuat bokkom—sejenis ikan asin. Oom Billie menangkap ikan ini sejak kecil.

Kami berkeliling laguna dengan perahu motor, dan Oom Billie menyebutkan nama setiap batu, tanjung, teluk, dan karang yang kami melewati. Saya pernah mendengar bahwa penduduk Langebaan dapat menjelajahi lagunanya sambil tutup mata. Apa lacur dunia mereka sudah sangat berubah. Langebaan kini menjadi sebuah resor, dan lautnya menjadi tempat bermain orang kaya, bukan lagi tempat masyarakat miskin mencari nafkah.

Oom Billie menunjuk properti di tepi pantai Langebaan yang dimiliki masyarakat sebelum ada apartheid. Kemudian pemerintah membuat garis pemisah—kulit putih di selatan, kulit berwarna di utara. Masyarakat pun kacau balau.

Sekarang garis semacam itu dibuat pula di laut. Pada 1985 di tempat itu diresmikan satu KKL yang membagi laguna itu menjadi tiga zona. Para nelayan hanya diizinkan memasang jaring di zona rekreasi yang berdekatan dengan kota, yang juga digunakan oleh sampai 400 perahu motor serta armada selancar layang dan Jet Ski. Mereka mengatakan bahwa lalu lintas tersebut mengusir kawanan belanak ke dua-pertiga laguna yang tidak boleh mereka jaring.

!break!

Bagi masyarakat nelayan, KKL seperti penggusuran gaya baru. Hal itu tak melambangkan harapan—bank sumber daya alam, dengan pembayaran bunga untuk semua—tetapi kelanjutan hukuman diskriminasi dan marginalisasi.

Saya bergabung dengan sekelompok nelayan di rumah Solene Smith, seorang tokoh masyarakat. Mereka berkerumun di bawah atap di belakang rumah. Air kata-kata mengalir, lalu air mata mengalir, dan kata-kata mereka pun tersulut api. Salah seorang di antara mereka tengah menghadapi tuntutan hukum karena menangkap ikan di daerah larangan. Kemungkinan besar perahu dan peralatannya akan disita. Namun, hal ini tidak akan menghentikan nelayan masuk tanpa izin untuk menangkap belanak. Mereka menolak legitimasi pembagian zona, dan mereka tidak setuju dengan penilaian cadangan ikan menurut pemerintah. Dalam pandangan mereka, mereka tidak merampok bank tetapi menggunakan hak mereka—bukan hanya sebagai pelanggan tetapi sebagai pemegang saham bank tersebut.

Apakah pihak berwenang maritim mengajak mereka bicara tentang pembagian zona, atau cara terbaik untuk mengelola laguna? tanya saya.  “Nooit!” kata mereka. “Tidak pernah!”

Solidaritas memperbesar nyali kelompok nelayan skala kecil, dan kemenangan hukum baru-baru ini memberi angin kepada perjuangan mereka. Pengadilan mengakui hak adat masyarakat nelayan tradisional dan memerintahkan pemerintah untuk mengubah undang-undang perikanan sehingga menerapkan pendekatan berbasis masyarakat dalam mengelola sumber daya laut.

“Sementara kami mencoba mencapai target konservasi dan membuat kawasan konservasi baru, KKL yang ada malah hendak dijadikan bancakan,” kata Mann kepada saya. Dia dan pihak lain tengah menyusun strategi perluasan KKL yang bertujuan agar 15 persen dari total wilayah laut negara itu masuk dalam perlindungan larangan tangkap sebelum 2028—”sasaran ambisius untuk negara maritim mana pun,” katanya. Namun, dalam kondisi saat ini hal itu tidak ubahnya seperti memasang rel kereta api sementara di belakang mereka orang membongkarnya dan menjualnya sebagai rongsokan. Bahkan Tsitsikamma yang terkenal, cagar laut pertama negara itu, yang dibentuk tahun 1964, juga dalam kondisi terancam.

“Kami berusaha sangat keras untuk mengurangi penangkapan berbagai spesies karena kami tahu bahwa penangkapan ikan di sini terlalu berlebihan,” Mann melanjutkan. “Tiba-tiba sekarang untuk memberikan rasa keadilan, kita kembali menguras sumber daya tersebut. Memang, orang-orang itu menderita. Mereka lapar dan butuh makanan. Akan tetapi, sebenarnya nelayan tersebut menangkap sumber daya yang kami pulihkan secara susah payah selama lebih dari empat dekade, dan itu akan hancur dalam waktu yang sangat singkat. Masalah ini amat rumit dan emosional.”