Arus Silang Siur

By , Kamis, 20 November 2014 | 16:46 WIB

“Warga di sini menyimpan kemarahan besar,” katanya. “Masyarakat melihat berapa banyak yang diperoleh industri ikan-putih dari sumber daya ini dan berkata, ‘Siapa sebenarnya yang menjarah? Kalian yang menangkap ikan. Kalian yang merusak sumber dayanya. Sekarang saat kami mau mengambil bagian kami, malah disalahkan atas berkurangnya sumber daya. Selama sekian tahun ini, bukankah kalian melakukan hal yang sama?”

“Itu sebabnya saya menjadi ‘penjarah’. Itu cara saya memprotes ketidakadilan.”

Rasa dikhianati ini, ujarnya, muncul dari kenyataan bahwa pemerintah, dalam semangat membuka perikanan untuk pendatang baru, mengesampingkan nelayan sungguhan. “Semua orang terjun—politisi, guru, pengacara. Orang keluar dari profesi mereka untuk masuk ke industri ini, karena begitu terbuka. Kini setelah menancapkan kaki, mereka tak mau berbagi.”

Kami berhenti di samping toko kelontong kecil yang menyempil. Henry Adams, pria 56 tahun berkulit gelap dengan tato di lengannya, mendekat ke gerbang untuk berbicara. Selama 17 tahun ia hilir mudik mencari ikan di seantero pesisir Afrika. Namun, ia tak bisa memenuhi kebutuhan di kampung halamannya hanya mengandalkan izin tangkap ikan rekreasional yang dimilikinya. “Mereka memberikan kuota kepada orang yang tak mengenal laut,” katanya. “Jadi, sekarang saya harus menangkap ikan secara tidak sah. Kuota ini membuat saya ilegal.”

Adams menangkap udang karang—kreef. Dia mendayung berkilo-kilometer malam hari untuk menangkap udang itu dengan bubu. Jika polisi datang, ia bersembunyi di tengah “bambu”—rumput laut Nereocystis luetkeana—yang tak bisa dimasuki perahu bermotor tempel. Dia sudah empat kali ditangkap dan diadili. Saya tak peduli, katanya. “Saya akan terus melakukannya sampai mati, persetan dengan izinnya.”

Tidak jauh dari situ kami melihat sebuah perahu karet kinclong berwarna abu-abu tentara. Pemilik perahu karet itu keluar dari rumah. Dia menyatakan tidak bersedia berbicara dengan kami. Untuk menjadi penjarah yang sukses, katanya, mereka harus “beroperasi seperti tikus, senyap dan tidak terlihat.” Lalu dia menghabiskan 20 menit berikutnya mengecam kebijakan perikanan pemerintah. “Saya kira ketika Kongres Nasional Afrika berkuasa mereka akan menyita kuota besar orang kulit putih, memecahnya menjadi bagian kecil, dan membagikannya kepada setiap nelayan sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,” katanya. “Ternyata apa yang mereka lakukan? Mereka malah main cap cip cup. Yang tidak berteriak lantang tidak kebagian kuota.”

Masyarakat nelayan pun terpecah. Di satu sisi, ada keluarga nelayan tradisional, sementara di sisi lainnya terdapat warga yang oportunis. “Itu siasat divide et impera,” kata van der Heyden, yang merupakan seorang nelayan generasi keempat. “Pemerintah mendorong pendekatan individualistis, dan akibatnya sumber daya terkuras dan masyarakat menderita.”

!break!

Andai nelayan tradisional diakui keberadaannya, katanya, mereka bisa bekerja sama dengan pemerintah untuk menyusun aturan penangkapan yang berkelanjutan. Sebaliknya, mereka ditindas dan dipinggirkan, dan sekarang mereka tak merasa ikut memiliki. KKL yang ada di sekitar mereka? Itu bukan milik mereka, itu milik negara.

Perubahan sedang terjadi. Masyarakat mulai mengajukan protes terhadap zona larangan-tangkap karena dianggap melanggar hak konstitusional untuk mendapatkan makanan. Argumen itu memperoleh dukungan hukum dan politik, dan tekanan untuk merombak beberapa zona KKL dan membuka kawasan larangan tangkap, semakin kuat.

Ilmuwan kelautan mendesak—memohon—pemerintah agar tak mengabulkan hal itu. Jika satu KKL dibuka, KKL lain akan mengalami nasib serupa. Hasil pelestarian dan pengelolaan perikanan lima puluh tahun akan terhapus dalam hitungan bulan.

Kata pepatah, “Jika kita memberi ikan kepada seseorang, dia akan kenyang sehari; jika kita mengajarinya cara menangkap ikan, kita memberinya makan seumur hidup.” Zaman sekarang ahli biologi perikanan menambahkan pula, “Itu hanya berlaku jika kita menjaga populasi pemijahan ikan.” Bruce Mann, seorang ilmuwan kelautan yang penelitiannya membantu proses pembentukan KKL terbesar di Afrika Selatan, Pondoland, di bagian timur Cape, menjelaskan peran kawasan konservasi.

“KKL berfungsi seperti rekening bank,” katanya di Oceanographic Research Institute di Durban. “Kita memasukkan uang ke tabungan, dan kita tahu pokok simpanan kita aman di sana. Selain itu kita juga memperoleh bunga—sedikit penghasilan tambahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.”