Baik bagi para ilmuwan maupun nelayan: Ilmuwan tak tahan membayangkan KKL jadi kawasan terbuka, sementara kaum nelayan menderita jika kawasan itu tetap tertutup.
Dapatkah manajemen perikanan bersama—negara bermitra dengan masyarakat—menciptakan titik temu yang harmonis antara perlindungan ekologi dan keadilan sosial? Sebuah kebijakan baru perikanan skala kecil yang dikeluarkan pemerintah pada 2012 dianggap sebagai pergeseran paradigma ke arah itu. Kebijakan ini memberikan hak komunal yang diinginkan nelayan kecil, di samping akses istimewa terhadap sumber daya laut. Namun, dapatkah hal itu menyelesaikan masalah terlalu banyaknya nelayan dan terlalu sedikitnya ikan?
!break!
Salah satu hal yang diyakini ilmuwan kelautan: Tidak akan ada ikan di masa depan tanpa perlindungan saat ini. Dan masih banyak yang belum dilindungi. Empat puluh persen habitat laut dan pesisir Afrika Selatan belum masuk ke dalam jaringan KKL, dan belum ada KKL yang dibuat di lepas pantai.
“Kita tak bisa bertahan tanpa KKL larangan tangkap,” kata Mann. “Itu senjata pamungkas kita.” Kawasan itu tak hanya menjadi tempat perlindungan ekologi dan cadangan ikan, tapi juga jadi tolok ukur dan acuan keadaan laut yang seharusnya. Dan tempat itu mungkin saja jadi tempat terakhir untuk melihat spesies yang diburu hingga mencapai ambang kepunahan.
Salah satu spesies tersebut adalah steenbras merah, ikan pancing favorit yang dimasukkan ke daftar larangan tangkap pada 2012. Memancing ikan kurisi raksasa ini sudah merupakan tradisi di Afrika Selatan. Dengan panjang hingga dua meter dan berat 70 kilogram, ikan ini mampu memutuskan jari nelayan yang lengah dengan rahangnya, ikan ini menyenangkan untuk ditangkap, lezat rasanya, dan berlimpah. Sekarang, luar biasanya, ikan ini nyaris punah.
Saya mendapat tahu bahwa ada seekor steenbras merah yang hidup di suaka laut Castle Rocks, di samping tanah bengkok Tanjung Peninsula, jadi suatu pagi saya pergi ke sana untuk melihat. Saya berlutut di dasar laut sementara gelombang menggoyang daun rumput laut dan karang lunak seperti angin bawah laut. Ikan di mana-mana. Ikan Oplegnathus dan galjoen melesat di antara kanopi kelp seperti burung di hutan hujan.
Seekor hiu tokek menggeliat di bawah belebas. Pasangan selam saya menepuk bahu saya dan menunjuk, itu dia “Rupert”, yang berenang melewati kawanan itu. Kini steenbras merah begitu langka sehingga penyelam menamai ikan ini. Rupert diberi nama sesuai nama ilmiahnya, Petrus rupestris. Meskipun panjangnya tidak sampai dua meter seperti pada masa lalu, ikan itu mengesankan, dengan sisi perunggu yang kemilau dan moncong yang mirip hidung kereta api kecepatan tinggi.
Andai saja orang bisa melihat hal ini, batin saya. Jika politisi, nelayan, dan manajer perikanan bisa menyaksikan kelimpahan seperti itu, mereka akan memahami bahwa KKL sangat penting bagi laut yang subur. Tanpa dukungan semua pihak, KKL tidak mencapai tujuannya. Tanpa kebijakan yang adil tentang siapa yang boleh menangkap, serta tempat penangkapan, perikanan berkelanjutan hanyalah ilusi. Sebelum nelayan menerima keberadaan KKL itu dan pengambil keputusan menghormati tradisi nelayan, kita tidak akan mampu memecahkan paradoks lama: melestarikan ikan sekaligus tetap dapat memakannya.
---
Kennedy Warne menulis tentang Kepulauan Line Selatan dalam edisi September. Buku Thomas P. Peschak Sharks and People membahas hubungan kita dengan ikan yang paling ditakuti di laut.