Seniman Pertama

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 15:24 WIB

Kami seakan-akan berjalan memasuki tenggorokan seekor binatang raksasa. Susuran logam yang kami lewati bagai lidah yang melengkung ke atas, lalu menukik ke kegelapan di bawah.

Langit-langit menghimpit. Di beberapa tempat, dinding gua yang tebal cukup rapat hingga menyentuh bahu saya. Kemudian rongga batu kapur itu terbuka, dan kami memasuki sebuah bilik luas, perut sang binatang.

Di sinilah singa-singa gua bersarang.

Juga badak berbulu, mamut, dan bison, kumpulan fauna purba, berderap, bertarung, membuntuti dalam hening. Di luar gua, mereka semua sudah punah. Di sini mereka tetap hidup di ceruk-ceruk dinding bernaung bayangan.

Sekitar 36.000 tahun silam, seseorang ber­jalan dari mulut gua yang asli ke bilik tempat kami berdiri. Ditemani kerlip api, ia pun mulai melukis di dinding: profil tampak samping singa gua, kawanan badak dan mamut, bison besar di sebelah kanan, dan makhluk se­macam chimeria—setengah bison, setengah perempuan—menjelma dari tonjolan batu besar berbentuk kerucut di langit-langit.

Ada kuda, kambing gunung, dan banteng di bilik-bilik lainnya; seekor burung hantu digambar dari lumpur dengan satu jari di salah satu dinding batu; seekor bison tegap dibentuk dari cap tangan berlumur oker; dan beruang-beruang gua berjalan santai, seolah-olah tengah mencari tempat untuk berhibernasi selama musim dingin. Gambar-gambar itu kebanyakan dibuat hanya dengan satu tarikan garis sempurna.

Jika ditotal, para seniman itu menggambarkan 442 binatang—mungkin selama ribuan tahun—memanfaatkan 36.000 meter persegi permukaan gua sebagai kanvas mereka. Beberapa binatang terlihat sendiri, bahkan tersembunyi. Tetapi, kebanyakan berkumpul dalam mozaik-mozaik besar seperti yang sedang saya lihat saat ini, di bagian terdalam gua.

Tertutup sebongkah batu selama 22.000 tahun, keberadaan gua itu terungkap pada Desember 1994, ketika tiga orang penjelajah gua merayap di celah sempit sebuah tebing dan turun ke mulut gua yang gelap.

Sejak itu, gua yang kini dikenal dengan nama Chauvet-Pont-d’Arc, dilindungi dengan penuh kesiagaan oleh Kementerian Kebudayaan Prancis. Kami termasuk segelintir orang yang diizinkan menapak tilas perjalanan para seniman purba. Setiap goresan arang, setiap cipratan oker terlihat segar, seolah-olah baru dibuat kemarin.

Bagaimana pencapaian sebesar itu diraih manusia, dahulu kala, seolah-olah begitu saja? Hingga baru-baru ini, gambar-gambar yang ditemukan di dinding gua-gua Paleolitikum Tua tersohor di wilayah timur Eropa seperti Altamira, Lascaux, dan Chauvet dianggap sebagai ekspresi manusia superior—kita—yang hadir di benua ini, dan mengusir para manusia Neanderthal yang brutal dan buta seni, yang telah tinggal dan berevolusi di sana selama ratusan ribu tahun.

Ternyata ceritanya jauh lebih rumit, dan lebih menarik. Kisah ini diawali, sebagaimana kisah-kisah lainnya, di Afrika.

!break!

Christopher Henshilwood mengamati Sa­mudra Hindia. Dia berdiri di ujung Afrika, dan selain karang luas yang telah lama didera ombak di bawahnya, tidak ada sesuatu pun memisahkan sepatu botnya dengan Antartika kecuali laut yang membentang sejauh 2.400 kilometer.

“Bukan hari yang buruk,” ujarnya. Henshil­wood, dari University of the Witwatersrand, Afrika Selatan, dan Univerity of Bergen, Norwegia, bersama para koleganya telah meng­gali sepanjang pagi di Klipdrift Shelter. Mereka menambahkan beberapa peranti batu dan temuan-temuan baru lainnya ke timbunan barang bukti, bahwa manusia modern pernah menghuni perbukitan ini dan gua-gua dangkal di sekitarnya selama lebih dari 165.000 tahun. Beberapa temuan terbaiknya berasal dari Gua Blombos, 45 kilometer di timur Klipdrift.