Seniman Pertama

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 15:24 WIB

Pada suatu hari pada 2000, timnya menemukan se­buah balok oker merah berukuran sedikit lebih kecil daripada ponsel. Oker telah umum ditemukan di bagian Afrika ini, dan telah diguna­kan selama ribuan tahun untuk beraneka ragam keperluan, dari pewarna badan hingga pengawet makanan. Keping ini, bagaimanapun, berbeda: Sekitar 75.000 tahun silam, beberapa manusia cerdas telah dengan hati-hati membuat pola tanda segi tiga paralel yang saling ber­tumpukan di permukaannya.

Tidak ada yang mengetahui makna tanda itu, yang kemudian ditemukan di 13 keping oker lainnya. Tanda tangan? Hitungan? Daftar belanjaan purba? Apa pun itu, umurnya 35.000 tahun lebih tua daripada bukti tak terbantahkan mengenai perilaku simbolis lainnya yang sudah terungkap saat itu.

Pada awalnya, penemuan ini diliputi kontro­versi. Sebagian ilmuwan mengecam batu kecil itu sebagai perkecualian, sekadar coretan acak. “Mereka menganggapnya tidak bermakna,” kata Henshilwood. “Mereka mengucapkan semua komentar negatif yang bisa Anda pikirkan.” Seiring waktu, sebagian ilmuwan menganggap temuan itu sebuah terobosan.

Tidak lama berselang, berbagai contoh simbol dan ornamen lainnya ditemukan. Tim Henshilwood menemukan cangkang-cangkang siput laut kecil bernama Nassarius yang ber­umur sekitar 75.000 tahun dan berlubang, bukti bahwa seutas tali pernah merangkainya. Temuan-temuan lainnya berusia jauh lebih tua. Manik-manik Nassarius dapat dirunut hingga 82.000 tahun silam di sebuah situs bernama Grotte des Pigeons (Gua Merpati) di Taforalt, Maroko. Di ujung lain Mediterania, manik-manik serupa yang ditemukan di dua gua Israel, Qafzeh dan Skhul, berumur 92.000 dan 100.000 tahun. Di Afrika Selatan pada 2010, tim yang dikepalai oleh Pierre-Jean Texier dari University of Bordeaux dilaporkan menemukan cangkang-cangkang telur burung unta berukir berumur 60.000 tahun di Diepkloof Rock Shelter, sebelah utara Cape Town.

Sementara itu, Blombos terus melahirkan harta karun: peranti-peranti tulang yang berukir halus dan berhias, dan bukti bahwa 100.000 tahun silam para penghuni gua telah dengan sadar menumbuk oker menjadi serbuk halus, dan mencampurnya dengan bahan lain untuk membuat pasta. Tersimpan di cangkang abalon—bentuk wadah tertua—pasta itu mungkin digunakan untuk mewarnai badan, wajah, peralatan, atau pakaian. Pada 2009, Henshilwood melaporkan penemuan oker lebih banyak lagi, juga batu bertanda silang-silang, yang berasal dari 100.000 tahun silam.

Dibandingkan dengan keindahan men­cengangkan yang dibuat di Gua Chauvet 65.000 tahun kemudian, artefak-artefak semacam ini terlihat biasa. Namun, membuat bentuk sederhana yang memiliki makna—sebuah simbol, hasil dari akal seseorang, yang dapat dibagi kepada orang lain—jelas membuktikan sebuah fakta. Lebih penting dari karya seni gua itu sendiri, ekspresi kesadaran konkret pertama ini mencerminkan lonjakan dari sifat hewani menuju hakikat diri kita sekarang—spesies yang bermandikan simbol, dari rambu-rambu yang memandu kita di jalan raya hingga cincin kawin di jari dan ikon-ikon di iPhone kita.

!break!

Ada fakta lain yang terungkap dari ledakan simbolisme awal di Afrika dan Timur Tengah: Mereka datang, kemudian pergi. Manik-manik, pewarna, hiasan di lempeng oker dan telur burung unta—dalam setiap kasus, artefak muncul di catatan arkeologi, terus ada di area terbatas selama beberapa ribu tahun, kemudian lenyap. Hal yang sama juga terjadi pada inovasi teknologi. Mata harpun dari tulang, yang tidak ditemukan selain dari 45.000 tahun silam, terungkap dari dalam lapisan sedimen di Republik Demokratik Kongo dengan usia dua kali lipatnya. Di Afrika Selatan, dua tradisi peranti batu dan tulang yang relatif rumit muncul—di Still Bay 75.000 tahun silam dan Howieson’s Poort 65.000 tahun silam. Namun, yang disebut terakhir hanya ber­tahan selama 6.000 tahun, yang pertama 4.000 tahun.

Tidak pernah ditemukan tradisi yang menyebar melintasi jarak dan waktu, memadukan kekayaan dan keanekaragaman, hingga sesaat sebelum 40.000 tahun silam, ketika seni rupa lebih banyak muncul di Afrika, Eurasia, dan Australasia. Hingga jauh ke timur di Pulau Sulawesi, Indonesia, cap tangan—yang semula dianggap sebagai penemuan dari Zaman Paleolitikum Tua Eropa—baru-baru ini ditemukan, berusia mendekati 40.000 tahun.

Jadi, bagaimanakah kita menjelaskan ledakan kreativitas yang tampak sporadis ini? Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa penyebabnya bukan manusia jenis baru, melainkan kepadatan manusia yang semakin tinggi, dengan lonjakan populasi yang memicu kontak antarkelompok, yang kemudian menciptakan semacam himpunan buah pikiran. Simbol-simbol dapat membantu merekatkan himpunan ini. Ketika populasi turun kembali hingga di bawah titik kritis, kelompok-kelompok pun terisolasi, dan ide-ide baru terbengkalai. Berbagai inovasi yang telah ada pun layu dan mati.

Teori semacam ini sulit dibuktikan. Tetapi, analisis genetika pada populasi manusia modern memang menunjukkan lonjakan populasi di Afrika 100.000 tahun silam. Penelitian pada 2009 memberikan dukungan statistik bagi kekuatan populasi yang lebih besar dalam menggerakkan inovasi. Riset oleh Joseph Henrich, dari University of British Columbia, menyebutkan bahwa seiring menurunnya populasi, manusia semakin kesulitan mempertahankan inovasi yang telah ada. Penduduk Pulau Tasmania telah membuat peranti dari tulang belulang, pakaian musim dingin, dan perlengkapan memancing selama 15.000 tahun sebelum kecanggihan mereka lenyap dari catatan arkeologi 3.000 tahun silam. Henrich berpendapat bahwa ketika permukaan laut naik pada 12.000 hingga 10.000 tahun silam dan mengisolasi Tasmania dari seluruh dunia, populasi pintar yang beranggota sekitar 4.000 manusia itu tidak lagi cukup besar untuk melestarikan tradisi budaya.

Tidak jelas mengapa catatan arkeologi Afrika di bidang seni rupa tampak suram selama 150 abad. Barangkali karena wabah penyakit, bencana alam, atau perubahan iklim yang ekstrem. Tetapi, Francesco d’Errico, arkeolog dari University of Bordeaux, menekankan bahwa meski kondisi sulit dapat membinasakan suatu kebudayaan, beberapa kebudayaan lainnya  mungkin justru diuntungkan.

“Setiap wilayah di dunia ini menghasilkan kebudayaan dengan berbagai macam tolok ukur,” kata d’Errico. “Bisa jadi ada situasi se­macam bencana jangka pendek yang menyapu bersih kebudayaan di satu area, tetapi di area lainnya, manusia mampu mengambil keuntungan dari tantangan itu.”