Seniman Pertama

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 15:24 WIB

Perdebatan selama puluhan tahun mengenai kemampuan manusia Neanderthal untuk melampaui standar para pendahulu mereka berpusat di sebuah situs bernama Grotte du Renne di Prancis, tempat artefak-artefak yang normalnya diasosiasikan dengan manusia modern dari Zaman Paleolitikum Tua. Peranti tulang, kapak perimbas, dan gigi binatang yang telah dilubangi dan dipahat mungkin untuk dijadikan bandul; ditemukan di antara fosil Neanderthal. Beberapa peneliti berpendapat bahwa walaupun manusia Neanderthal mungkin bertanggung jawab atas lahirnya tradisi peralatan ini (yang dikenal dengan nama Châtelperronian), mereka tetaplah spesies yang hanya mampu meniru ketrampilan tetangga modern mereka, bukan menemukan sendiri.

Semakin banyak yang kita ketahui tentang Neanderthal, termasuk kemampuan mereka untuk berkawin silang dengan leluhur langsung kita, penjelasan “penjiplakan” untuk Châtelperronian pun semakin terasa mengada-ada. Catatan mengenai perilaku simbolik Neanderthal mungkin samar-samar, namun bukan tidak ada. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa kerangka-kerangka Neanderthal yang ditemukan di Prancis dan Irak dikubur dengan sengaja.

Bekas potongan yang baru-baru ini ditemukan di tulang-tulang sayap burung menunjukkan bahwa Neanderthal memanfaatkan bulu burung sebagai ornamen hingga 50.000 tahun silam, dan pola silang-menyilang yang diukir di permukaan batu salah satu gua Neanderthal di Gibraltar 39.000 tahun yang lalu menunjukkan bahwa mereka dapat berpikir abstrak. Keping merah yang digambar di dinding Gua El Castillo di Spanyol baru-baru ini disimpulkan berasal dari sekitar 41.000 tahun silam, sangat dekat dengan masa ketika hanya Neanderthal yang diketahui menghuni wilayah barat Eropa. Barangkali merekalah, bukan kita, yang menjadi seniman gua pertama.

Namun sebagian besar lukisan gua di selatan Prancis dan Spanyol dibuat setelah Neanderthal punah. Mengapa di sana? Mengapa saat itu? Salah satu petunjuknya adalah gua-gua itu sendiri—lebih dalam dan luas daripada gua-gua di Lembah Sungai Ach dan Lone di Jerman atau naungan-naungan batu di Afrika. Tito Bustillo di utara Spanyol setidaknya memiliki panjang 700 meter dari ujung ke ujung. El Castillo dan gua-gua lainnya di Monte Castillo menghunjam dan berulir ke dalam tanah bagaikan sekrup raksasa. Lascaux, Grotte du Renne, dan Chauvet di Prancis menembus batuan hingga ratusan meter di bawah tanah, dengan banyak cabang dan bilik-bilik sebesar katedral.

!break!

Mungkin kreativitas di dinding gua-gua ini sebagian terinspirasi oleh kedalaman dan kegelapan di sana—atau lebih tepatnya, perpaduan antara cahaya dan kegelapan. Diterangi kerlip cahaya dari api atau lentera batu yang berbahan bakar lemak hewan, seperti yang ditemukan di Lascaux, tonjolan can cekungan di dinding gua menghadirkan bentuk-bentuk alami. Di Altamira, wilayah utara Spanyol, para pelukis yang tersohor dengan bisonnya memanfaatkan lekukan-lekukan batu untuk memberikan nyawa dan dimensi pada gambar mereka. Di Chauvet terdapat panel lukisan empat kepala kuda di atas lekukan batu yang melandai sedemikian rupa sehingga moncong dan dahi mereka terlihat menonjol.

Sebagaimana penjelasan pemandu kami, binatang-binatang itu seakan-akan sudah ada di dalam batu, menunggu untuk diwujudkan oleh mata arang dan pewarna sang seniman.

Di bukunya La Préhistoire du Cinéma, sutra­dara dan arkeolog Mark Azéma menyampai­kan pendapatnya bahwa sebagian seniman purba itu adalah animator pertama di dunia. Ia juga menulis bahwa gambar-gambar runut yang berpadu dengan kerlip cahaya api di gua yang gelap gulita dapat menciptakan ilusi gambar bergerak. “Mereka ingin menghidupkan gambar-gambar ini,” ujar Azéma.

Dia pernah membuat ulang versi digital dari sebagian lukisan gua yang mengilustrasikan efek tersebut. Panel Singa di bilik terdalam Chauvet menjadi contoh bagus. Panel itu menampilkan kepala sepuluh ekor singa, semuanya tampak memusatkan perhatian pada mangsa mereka. Tetapi di bawah cahaya obor atau lentera batu yang diletakkan secara strategis, kesepuluh singa ini bisa jadi hanya satu, atau mungkin dua atau tiga singa yang bergerak menyampaikan sebuah cerita. Di belakang singa-singa itu berdiri sekawanan badak. Kepala dan cula badak digambar berulang hingga enam kali, saling bertumpukan, seolah-olah tengah menanduk.

Ribuan tahun kemudian kekuatan yang hadir saat kita menyusuri bilik-bilik gua masih terasa. Tarikan napas yang terdengar berat di telinga, tetesan air yang secara teratur jatuh dari dinding dan langit-langit gua.

Di dalam iramanya kita nyaris dapat men­dengar tabuhan musik purba yang rancak, sementara seorang dalang mengarahkan nyala obornya ke sebuah gambar, dan memikat para penonton dengan kisahnya.

---

Buku terbaru Chip Walter berjudul Last Ape Standing. Foto-foto Stephen Alvarez soal bawah tanah Paris dimuat di majalah ini, Februari 2011.

Hibah Society Penelitian tentang kesenian purba di Afrika Selatan dan gua di Spanyol sebagian didanai oleh keanggotaan National Geographic Society Anda.