Seniman Pertama

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 15:24 WIB

 !break!

“Izinkan saya menunjukkan sesuatu kepada Anda.” Nicholas Conard dengan hati-hati memutar kunci brankas besar di kantornya, yang berlokasi di puri Jerman abad ke-16 di Tübingen University. Dari brankas itu, dia mengeluarkan empat kotak kayu pinus kecil dan meletakkannya perlahan-lahan di meja di depan saya. Di dalam setiap kotak tersimpan sebuah ukiran kecil: masing-masing seekor kuda, mamut, bison, dan singa. Semuanya berasal dari sebuah gua bernama Vogelherd di Jerman. Karya seni itu menunjukkan ke­anggunan, kecantikan, dan kejenakaan yang dapat membuat seniman modern bangga. Tetapi, karya seni itu berumur 40.000 tahun—lebih tua 4.000 tahun dari lukisan di Chauvet.

“Menakjubkan,” ujar Conard, direktur sains prasejarah di universitasnya. “Masing-masing karya terlihat berbeda. Tetapi jika Anda mencermatinya, jelas bahwa semuanya membentuk suatu keutuhan.”

Para manusia yang membuat karya-karya ini merupakan bagian dari populasi yang me­ninggalkan kampung halaman Afrika sekitar 60.000 tahun silam. Mereka mengambil rute melewati Timur Tengah dan wilayah yang kini bernama Turki, menyusuri pesisir barat Laut Hitam, dan mendaki Lembah Sungai Danube. Sejauh pengetahuan kami, di sepanjang rute itu mereka sama sekali tidak meninggalkan jejak berupa tanda-tanda ketertarikan artistik. Tetapi, begitu mereka menetap sekitar 43.000 tahun silam di Lembah Sungai Lone dan Ach di selatan Jerman, mereka tiba-tiba mulai mencipta—bukan lagi hiasan kasar, melainkan sosok-sosok binatang realistis yang diukir di gading mamut.

Sumber sebagian besar karya-karya itu adalah empat gua: Hohle Fels dan Geissenklösterle di Lembah Ach, dan Hohlenstein-Stadel dan Vogelherd di Lone. Gua-gua itu bisa diabaikan begitu saja oleh seseorang yang bermobil di wilayah pegunungan di barat daya Jerman. Walaupun kini subur dan hijau, Lembah Ach dan Lone 40.000 tahun yang lalu, pada awal periode yang dikenal dengan nama Aurignacian, merupakan hamparan padang gundul. Meskipun kondisi di sana buruk, kekayaan situs-situs arkeologi menunjukkan bahwa populasi pada Zaman Aurignacian tengah tumbuh. Perkembangan itu dapat membantu menjelaskan ledakan kreativitas yang ada. Mungkin kesulitan yang dihadapi oleh mereka di Eropa, kata Conrad, mendorong mereka untuk membagi kebiasaan. Pada masa-masa sulit, ukiran dan peranti yang bagus dapat memperlancar jalan menuju pernikahan, perdagangan, pertemanan antarsuku, dan membantu menyebarkan teknik-teknik baru di bidang perburuan, pembangunan tempat berteduh, dan pembuatan pakaian.

Di Hohle Fels, tim Conrad baru-baru ini menemukan beberapa benda dengan pesan seksual. Salah satunya adalah ukiran seorang wanita dengan payudara dan alat kelamin sangat besar yang ditemukan pada 2008. Setidaknya berumur 35.000 tahun, Venus dari Hohle Fels menjadi figur terkuno berwujud manusia yang pernah ditemukan. Sebelumnya, tim yang sama pernah menemukan sebatang tongkat batu lanau mulus, memiliki panjang sekitar 20 sentimeter dan diameter tiga sentimeter, dengan cincin terpasang di ujungnya—kemungkinan simbol kejantanan. Sekitar satu meter dari fi­gur Venus, tim Conrad menggali sebuah seru­ling yang diukir dari selongsong tulang burung bangkai, dan di Gua Geissenklösterle ditemukan tiga seruling lainnya, salah satunya terbuat dari gading dan lainnya dari tulang sayap angsa. Seruling-seru­ling itu merupakan alat musik tertua di dunia. Kami tidak tahu apakah orang-orang itu me­ngonsumsi obat-obatan terlarang. Tetapi, yang jelas, mereka menggemari seks dan rock and roll.

!break!

Dari semua temuan dari periode ini di Jerman, tidak ada yang lebih menarik dari Löwenmensch (Manusia Singa) dari Gua Hohlenstein Stadel, sebuah patung fantastis berumur hampir 40.000 tahun. Fragmen-fragmen Löwenmensch pada mulanya—berjumlah sekitar 200—ditemu­kan pada 1939, sebelum Perang Dunia II pecah, oleh Robert Wetzel, profesor anatomi dari Tübingen University, dan seorang ahli geologi bernama Otto Völzing. Namun kepingan-kepingan itu tetap teronggok di kotak selama 30 tahun. Kemudian, pada 1969, arkeolog Joachim Hahn mengeluarkannya dan mulai merekatkannya.

Perlahan-lahan, sebuah karya seni luar biasa mewujud. Dengan tinggi 29,6 sentimeter, Löwenmensch menjulang melampaui ukiran-ukiran lainnya yang telah ditemukan di lembah-lembah Jerman hingga saat itu. Ialah yang pertama menggambarkan makhluk yang sepenuhnya imajiner, setengah manusia dan setengah singa. Karya seperti ini tidak hanya membutuhkan akal yang luar biasa tajam, tetapi juga keahlian teknis yang mengesankan dan waktu yang lama—kira-kira 400 jam.

Anda dapat merasakan kekuatan figur itu saat menatapnya, perpaduan mulus dari sosok manusia tegap dan binatang buas. Apakah patung ini mencerminkan harapan untuk mengha­dirkan kekuatan singa pada manusia? Hohlenstein-Stadel adalah satu-satunya gua di wilayah itu tempat para arkeolog menemukan peralatan hidup, tulang-belulang, atau sampah. Gua itu juga lebih dalam dari gua lainnya. Mudah untuk membayangkan bahwa di dalam bilik-biliknya para pemburu purba memuja Manusia Singa dan bahwa gua tersebut merupakan titik awal perkembangan agama prasejarah.

Conrad menduga orang-orang ini memiliki pikiran semodern kita dan, seperti kita, menggunakan ritual dan mitos untuk menjawab misteri-misteri kehidupan, terutama di hadapan dunia yang penuh ketidakpastian. Siapakah yang mengatur migrasi satwa, menumbuhkan pepohonan, membentuk bulan, menyalakan bintang-bintang? Mengapa kita harus mati, dan ke mana kita akan pergi sesudahnya? “Mereka menginginkan jawaban,” katanya, “tetapi tidak memiliki penjelasan berlandaskan ilmu pengetahuan untuk dunia di sekitar mereka.”

 !break!

Segera setelah manusia modern tiba di Eropa, penduduk jangka panjang benua itu mulai punah. Manusia Neanderthal muncul di Eurasia sekitar 200.000 tahun sebelumnya. Hanya ada sangat sedikit bukti yang menunjukkan bahwa mereka pernah berperilaku simbolik. Tetapi, pandangan tradisional yang menganggap manusia Neanderthal sebagai makhluk brutal perlahan-lahan sirna. Karena tidak pernah mencapai kepadatan populasi yang mungkin memicu kelahiran simbolisme di Afrika, manusia Neanderthal mungkin tidak pernah membutuhkannya, atau mengungkapkannya dengan cara yang belum kita pahami.