Mengenang Lincoln

By , Selasa, 24 Maret 2015 | 11:07 WIB

Kotak hitam itu tersimpan jauh di bawah Gedung Capitol AS, terlindung di balik kaca tebal, terkurung kisi-kisi logam, seolah-olah benda berbahaya, bom berdetak yang siap meledak. Mungkin, dalam satu segi, memang demikian adanya. Pada bulan April 1865 tukang kayu membuat keranda berselimut

Beludru ini, yang disebut keranda Lincoln, untuk menampilkan peti mati presiden yang dibunuh itu di Rotunda gedung itu. Kain hitam-nya menyembunyikan papan pinus kasar yang dipaku dengan terburu-buru. Sejak masa itu, keranda ini dikeluarkan setiap kali seorang martir atau pahlawan nasional disemayamkan: James Garfield, William McKinley, John F. Kennedy, Douglas MacArthur. Saat tidak di-guna-kan, keranda itu diletakkan di relung di Pusat Pengunjung Capitol, dilewati tanpa dilirik oleh sebagian besar rombongan wisatawan sambil menanti kematian orang penting Amerika berikutnya.

Pembunuhan Abraham Lincoln, yang terjadi 150 tahun silam bulan ini, sudah berulang kali dikisahkan dan dipentaskan: Perjalanan me-nuju petaka ke teater, tembakan pistol di balkon presiden, lompatan melodramatis si aktor-pembunuh ke panggung, dan maut yang akhir-nya menjemput di kamar belakang losmen murah. Jauh lebih sedikit yang diketahui tentang kisah setelahnya.Bangsa Amerika ber-kabung atas kematian Lincoln dengan duka yang demikian besar. Dalam prosesnya, peristiwa ini tidak hanya mendefinisikan waris-an seorang pahlawan Amerika, tetapi juga membentuk ritual baru dalam masyarakat Amerika: kebersamaan dalam tragedi nasional.

!break!

Selama beberapa pekan setelah wafatnya Lincoln, ketika kereta jenazahnya menempuh perjalanan memutar dari Washington, D.C., kembali ke kota kelahirannya di Springfield, Illinois, sekitar sejuta warga Amerika melayat peti mati terbuka untuk memandang wajah pemimpin mereka yang gugur.

Sejarah ini belum terlalu lama berselang. Dan zaman sekarang pun, sebagaimana yang baru-baru ini saya temukan, mengikuti rute kereta jenazah Lincoln berarti mendapati betapa semangat sang presiden masih tersebar di negeri yang dicintai dan diselamatkannya.

Pada hari pertama dalam perjalanan terakhir Lincoln, 19 April, barisan tentara, pejabat, dan warga yang mengikuti kereta jenazah dari Gedung Putih ke Gedung Parlemen merentang sepanjang dua kilometer—“iring-iringan ter-besar yang pernah terlihat di benua ini,” kata seorang wartawan. Pada hari-hari sebelum pem-bunuhan itu, kota itu—dan setengah negara itu—merayakan peristiwa menyerahnya pihak Konfederasi di Appomattox. Bendera yang waktu itu digantung untuk merayakan ke-menangan kini dilapisi kertas hitam.

Dua hari kemudian, kereta api sembilan ger-bong berangkat dari stasiun kereta api utama Washington. Kereta itu menuju utara, tetapi setelah hanya beberapa menit, kereta itu memasuki wilayah yang baru-baru ini me-rupakan wilayah perbudakan.

!break!

Dari desa Freeland ke desa New Freedom, rel kereta tua menanjak perlahan keluar dari negara bagian Maryland ke arah perbukitan negara bagian Pennsylvania.Salah satu desa ini terletak persis di selatan Garis Mason-Dixon yang memisahkan kedua negara bagian itu, satu desa lagi persis di utaranya. Sampai Maryland memberlakukan emansipasi hanya lima bulan sebelum kematian Lincoln, garis batas ini bagaikan pagar listrik yang berdiri di antara empat juta orang dan kemerdekaan.

Kini jalur rel lama yang dilewati kereta Lincoln menjadi jalur lintas alam.Hanya ada tiang kayu, bangku, dan beberapa meja piknik yang menandai Garis Mason-Dixon itu sendiri.Saya duduk di bangku itu, dengan tubuh kiri saya di Selatan dan tubuh kanan saya di Utara, terheran-heran soal betapa tak terlihatnya garis perbatasan ini.

Rintangan yang paling sulit ditembus di bumi—seperti yang diketahui oleh Lincoln si pengacara, oleh Lincoln si penulis—biasanya bukanlah yang dibentuk oleh tembok dan parit, atau bahkan gunung dan laut, tetapi oleh hukum dan kata.Di antara semua tempat bersejarah yang pernah saya kunjungi, di sini saya paling merasakan betapa sewenang-wenang-nya praktik perbudakan. Namun, Lincoln juga tahu bahwa garis yang terbuat dari hukum dan kata, setangguh apa pun, dapat dihapus dengan hukum dan kata baru. Dia pun melenyapkan garis ini.Tak heran bahwa orang Amerika-Afrika yang baru merdeka kemudian berbaris di kedua sisi rel ini pada sepanjang hari pertama perjalanan kereta jenazahnya.

!break!

Di masa kini, garis tak terlihat masih ter-bentang di tanah Amerika, tentu saja—jika bukan antara perbudakan dan emansipasi, setidaknya antara pemahaman yang berbeda-beda tentang kemerdekaan.Lincoln dan Perang Saudara AS masih merupakan batu ujian bagi banyak orang. Beberapa kilometer di sebelah utara New Freedom, kini kembali di mobil, saya melihat mobil Chevy Tahoe yang memasang stiker bumper bergambar bendera Konfederasi, dan membuntutinya ke lapangan parkir di seberang Restoran Mason-Dixon. Pengemudinya hendak ke toko miras, tetapi dia mau diajak mengobrol.

Keith Goettner adalah pensiunan polisi negara bagian. Dia memiliki 13 leluhur yang bertempur di pihak Union, katanya, dan tiga di pihak Konfederasi—tetapi dia membela kelompok terakhir ini, pihak Pemberontak. Mereka mendukung kemerdekaan juga, kata-nya: “Ini soal hak untuk memilih melakukan hal yang kita inginkan, asalkan tidak melanggar hukum. Kalau kita benar-benar menyelami ke-yakinan Konfederasi, mereka sangat patriotik. Mereka tidak ingin perang—mereka hanya ingin tidak diganggu.”

Sungguh ironis, menyamakan Konfederasi pemilik budak dengan kemerdekaan personal. Tetapi, banyak orang di wilayah konservatif negara bagian Pennsylvania pedesaan ber-pandangan sama dengan Goettner tentang ke-merdeka-an. Saya singgah di lapangan tembak dan toko senjata api Freedom, dan menemui pemiliknya, bernama Scott Morris.