Mengenang Lincoln

By , Selasa, 24 Maret 2015 | 11:07 WIB

Para aktivis dan pendeta yang terkenal di seluruh negeri berbicara di tempat aman yang asri dan berlimpah matahari itu; budak pelarian bernaung di ruang bawah tanah. Selama abad berikutnya, lingkungan pertokoan, restoran, dan klub berkembang dan makmur di blok-blok sekelilingnya.

!break!

Kini, Buffalo adalah salah satu kota termiskin di AS dan termasuk yang paling terkotak-kotak secara ras. Gereja lama terkurung dalam pemandangan kota yang suram. Pastornya saat ini, Uskup Clarence Montgomery, bercerita bahwa hanya setengah pemuda Amerika-Afrika di kota ini tamat SMA. Sebagian besar blok di sekelilingnya didominasi oleh etalase kosong, perumahan rakyat, dan rumah petak.

Saya terkejut ketika kebusukan kota berganti menjadi dunia lain: barisan gedung kantor dan rumah sakit berkilauan, ditambah gedung-gedung baru yang sedang dibangun di dekatnya. Inilah koridor medis baru kota ini, tanda kepulihan ekonomi yang menjanjikan—kecuali bahwa hampir semua orang yang saya lihat, dari pasien hingga pekerja medis hingga buruh bangunan, berkulit putih. “Michigan Avenue kini menjadi Garis Mason-Dixon kami,” kata George Arthur, mantan kepala dewan kota dan pemimpin lama warga Amerika-Afrika. “Koridor medis membawa kemakmuran bagi komunitas kulit putih, tetapi hampir tidak ada yang sampai ke komunitas kulit hitam, yang memiliki salah satu tingkat pengangguran tertinggi di negara ini.”

!break!

Alam perjalanannya ke hulu Sungai Hudson, melintasi Empire State, dan menuruni pesisir Danau Erie, kereta jenazah Lincoln menyusuri koridor rel yang sama dengan yang kini digunakan perusahaan kereta api Amtrak.

Di Amerika 1860-an, rel kereta api bukan se-kadar teknologi—tetapi semacam kultus nasional. Beberapa bulan sebelum akhir Pe-rang Saudara, pemimpin abolisionis William Lloyd Garrison menulis panjang lebar tentang revolusi yang dipicu oleh kereta api, yang tidak hanya memupuk kemakmuran ekonomi, tetapi juga hubungan manusia pada skala besar: “Semoga modus komunikasi dan pertalian hidup terus berlipat ganda, hingga semua bangsa merasakan simpati yang sama dan ber-ibadah di tempat yang sama!”

Tidak banyak sisa jaringan rel kereta era Perang Saudara yang ditempuh kereta jenazah antara Columbus, Ohio, dan Chicago, Illinois.Tetapi, Lincoln juga melewati tempat ini.

Bahkan di desa-desa terpencil ini, orang tahu tentang kejahatan John Wilkes Booth, hanya beberapa jam setelah peluru pembunuh tersebut bersarang di sasarannya. Dua minggu kemudian, ketika kereta datang, mereka sudah menunggu untuk bertemu dengan sang mendiang presiden.

!break!

Kereta itu melaju malam hari di antara kota-kota besar—tetapi tidak dalam gelap, karena pada hampir setiap persimpangan desa, api unggun berkobar. Pada jam tiga-empat pagi, hingga sepuluh ribu orang berkumpul di stasiun kereta desa, hal yang tak terbayangkan pada masa dan tempat ketika sebagian besar kehidupan masih dijalani dari matahari terbit hingga terbenam. Kelompok musik me-mainkan lagu pemakaman, sementara petani dan keluarga mereka menunggu kedinginan. Di Greenfield, Indiana, kabar datang melalui telegraf bahwa kereta tinggal berjarak beberapa kilometer lagi. Seorang veteran muda, untuk mengisi menit-menit terakhir, membacakan Pidato Pelantikan Kedua Lincoln kepada kerumunan. Ketika lokomotif hitam mendekat, pendeta kota memimpin doa.

Lalu cahaya api berkelap-kelip sekilas pada gerbong jenazah itu sendiri, cat berkilat dan kain duka bertepi perak, jendela-jendela kecil tidak menampakkan apa-apa kecuali penumpang yang memilukan di dalam. Hampir semua orang menangis se-karang.Akhirnya peluit berbunyi, dan lokomotif, dan sejarah, berlalu.

!break!

Pada Minggu sore yang hangat, di danau buatan di pinggir kota Chicago, orang-orang mendayung sebuah perahu. Setelah mereka kembali ke pantai, barulah saya memperhatikan bahwa salah seorang dari mereka pincang.Dia muda dan atletis, tetapi bersandar pada tongkat seperti orang tua.

Veteran muda itu adalah Brad Schwarz. Seumur hidup, ia menanggung konsekuensi dari peristiwa yang menimpanya pada suatu pagi di Irak, pada musim gugur 2008. Pada saat itu, Humvee yang dinaikinya menabrak bom hasil improvisasi.Dia selamat, tetapi tubuh dan jiwanya terluka parah. Saat kembali ke AS, dia tidur ditemani pistol berpeluru di balik bantal dan pistol lain di rak di samping tempat tidur.

Schwarz bercerita bahwa sejak dulu dia tertarik pada sejarah dan saat dia pertama kali mengabdi di Irak secara sukarela, dia merasa seperti sedang berpartisipasi dalam salah satu peristiwa besar pada zamannya, seperti tentara dalam Perang Saudara atau Perang Dunia II. Namun, itu segera berubah. “Selagi berada di sana, saya tidak merasa sedang berpartisipasi dalam sejarah—saya hanya menjalankan tugas,” katanya. “Dan saya tidak merasa kita memperbaiki situasi. Begitu banyak teman yang gugur. Saya sendiri menumpahkan darah, air mata, dan keringat di sana, dan kadang saya merasa bahwa itu sia-sia.”