Mengenang Lincoln

By , Selasa, 24 Maret 2015 | 11:07 WIB
!break!

Perang Saudara juga terasa sia-sia dan buruk bagi banyak orang Amerika pada musim semi 1865.Tampak jelas bahwa konflik itu tidak se-mestinya terjadi, bukan akibat diserang bangsa asing, tetapi akibat masalah politik dalam negeri yang kacau-balau.Akibatnya, tiga per empat juta orang gugur.Banyak keluarga tidak pernah mendapat jenazah untuk dimakamkan, atau peninggalan untuk dikenang.

Mungkin itu sebabnya bangsa Amerika be-gitu berkabung atas kematian Lincoln yang menjadi martir Jumat Agung. “Saat itu masih ada orang-orang yang menerima pemberitahuan bahwa keluarga mereka gugur,” kata sejarawan Martha Hodes, penulis Mourning Lincoln, buku baru tentang wafatnya sang presiden dan masa setelah itu. Pelayat mengumpulkan peninggalannya seperti milik santo: secarik kain keranda, sepotong kertas berkabung dari kereta jenazah. Dalam beberapa jam setelah kematian Lincoln, secarik kemejanya yang bernoda darah bisa laku sampai lima dolar emas. Tetapi, yang paling menyentuh bagi saya adalah sisa karangan bunga yang masih awet setelah satu setengah abad.

Persinggahan terakhir kereta api sebelum Springfield adalah kota Lincoln, Illinois, 50 kilometer di sebelah utara. Lebih dari sepuluh tahun sebelumnya, ketika sang calon presiden masih menjabat sebagai anggota parlemen negara bagian, kota ini menjadi kota pertama dari banyak kota Amerika yang kelak akan menyandang namanya.

!break!

Saya sendiri singgah di kota Lincoln pada suatu sore. Alun-alun, dengan gedung pengadilan yang besar, tampak sepi kecuali beberapa anak remaja yang berputar-putar naik sepeda.Di sudut gedung besar tua itu, saya melihat tugu marmer putih.

Seratus tahun hujan asam telah mengikis nama-nama lelaki yang gugur dan pertempuran yang menewaskan mereka, menyisakan monu-men yang mirip peninggalan dari zaman Babi-lonia atau Mesir kuno, bukan tugu peringatan bagi kakek buyut dari warga yang kini tinggal di kota ini.

Hanya terlihat kata samar sepotong-se-potong: “TOMLINSO… DAVI… SHILOH.” Prasasti yang lebih baru di dekatnya mengutip artikel koran setempat dari April 1862, se-tahun setelah perang dimulai: “Hanya perlu sedikit tempat di kolom koran kami untuk memberitakan nama orang yang ‘gugur dan cedera’ dari county kita, tetapi oh!… Setiap nama dalam daftar itu adalah sambaran petir bagi hati yang menyayanginya.”

Saat saya berhenti membaca, salah seorang remaja bersepeda itu menghampiri saya.Se-bentar kemudian, dia mulai bercerita segala macam tentang Lincoln. Tim Evans berusia 17 tahun, duduk di kelas 11, memiliki berbagai rencana untuk masa depan. Saya menunjuk tugu marmer dan bertanya apakah dia pernah berpikir masuk militer. “Kadang,” katanya ragu.

Tetapi, dia punya rencana lain. Sama seperti nama-nama pada tugu ini, saya pikir, seperti tiga per empat juta nama lain pada tugu-tugu lain—setiap nama merupakan sisa hidup seseorang yang rumit, ragu, dan optimistis seperti Tim Evans.

!break!

Lincoln akhirnya dimakamkan di Spring-field pada 4 Mei, hampir tiga pekan setelah kematiannya. Pusaranya sendiri terasa mengecewakan bagi saya. Dua kali dipugar sejak 1865—terakhir pada 1930-an, dengan gaya Art Deco yang tidak serasi—perwujudannya saat ini tidak punya karakter sejarah sama sekali, seperti lobi kantor saja.

Beberapa jam kemudian saya mengunjungi permakaman lain yang terletak beberapa kilometer dari situ. Di Taman Makam Nasional Camp Butler ini dimakamkan lebih dari seribu orang yang gugur dalam Perang Saudara.Banyak batu itu tidak bernama, tetapi se-bagian besar bertanggal. Ada sekelompok yang bertanggal 14 dan 15 April, hari terjadinya pembunuhan di Washington yang jauh. Salah satunya adalah nisan tentara dari Pasukan Kulit Berwarna AS. Kalau saya boleh memilih, Lincoln mestinya beristirahat di sini.