“Saya mengabdi di militer di Berlin pada Perang Dingin, 180 kilometer di balik Tirai Besi,” Morris bercerita. “Saya tahu apa ke-bebasan itu. Tanpa hak menyandang senjata, kita tidak punya kebebasan.”
!break!Saya menanyakan pendapat Morris tentang Lincoln dan warisannya. “Saya menghargai banyak hal yang dia lakukan,” katanya. “Tetapi saya tidak yakin apakah keadaan kita sekarang lebih baik atau lebih buruk. Sebaiknya hak negara bagian diperbesar.”
Pada masa Lincoln pun, wilayah ini di-kenal berpihak kepada Selatan. Tetapi Phila-delphia, yang dicapai kereta jenazah pada 22 April, adalah pusat abolisionisme. Presiden di-semayamkan di Independence Hall di samping Liberty Bell yang terselubung kain hitam, yang menjadi simbol pergerakan antiperbudakan.Siang-malam, sekitar 100.000 pelayat melewati ruangan tempat Deklarasi Kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar AS ditandatangani.
Empat tahun sebelumnya, Lincoln ber-kunjung kemari, kunjungan yang mengesankan dan seakan meramalkan masa depan. Pada Februari 1861, dalam perjalanan ke pelantikan pertamanya dan dengan perang di ambang pintu, saat fajar dia mengerek bendera Amerika di gedung terhormat ini.Lincoln berbicara dengan hebat tentang makna deklarasi itu.
Dokumen itu bukan hanya soal me-merdeka-kan orang Amerika dari negara Inggris, kata-nya. Sesungguhnya, ada “sesuatu dalam De-kla-rasi itu yang memberi kemerdekaan, tidak hanya kepada warga di negara ini, tetapi mem-beri harapan kepada dunia untuk seluruh masa depan. Sesuatu yang menjanjikan bahwa pada saatnya nanti beban akan diangkat dari bahu semua manusia, dan bahwa semua akan memiliki kesempatan yang sama.” Sejenak kemudian dia menambahkan: “Jika negara ini tidak dapat diselamatkan tanpa melepaskan prinsip itu—saya hendak berkata bahwa saya lebih suka dibunuh di tempat ini daripada melepaskan prinsip itu.”
Perkataan Lincoln masih dirasakan makna-nya oleh Ada Bello, yang menemui saya di Independence Hall.Mulai 1950-an, dia dan aktivis lainnya berkumpul di sini untuk beberapa unjuk rasa hak homoseksual yang pertama dalam sejarah Amerika.Pada masa itu, puluhan pengunjuk rasa biasanya kalah banyak dengan jumlah polisi.Sekarang ada prasasti resmi yang memperingati para pengunjuk rasa itu—dan hanya beberapa minggu se-belum saya berkunjung, Pennsylvania mulai mem-perbolehkan pernikahan sesama jenis.
Kisah dari Bello yang berusia 81 tahun itu hampir seperti kisah Jalur Pelarian Budak.Pada masa awal pergerakan ini, hak homo-seksual itu sendiri dianggap sebagian besar orang Amerika sebagai menggelikan atau ber-bahaya. Polisi secara rutin meng-gerebek bar homoseksual di kota itu. Rahasia identitas homoseksual yang terbongkar dapat mengakhiri karier dan men-dorong orang bunuh diri. “Pernikahan resmi bahkan tidak pernah terbayangkan.”
Meskipun hak homoseksual tentu lebih asing lagi pada zaman Lincoln, Bello tidak ragu menganggap lelaki itu sebagai sahabat sejiwa.Di gedung ini, para pendiri Amerika pada abad ke-18 membingkai ide-ide besar tetapi tidak sempurna, kata Bello.
!break!Ia mati demi saya! Dia mati demi saya! Tuhan memberkatinya!”
Kata-kata itu, yang diucapkan dengan ber-urai air mata oleh seorang nenek saat menyaksikan peti mati Lincoln berlalu di jalan-jalan Manhattan pusat, menangkap perasaannya dan banyak orang Amerika-Afrika lain tentang kematian sang presiden. Semua orang—kulit putih dan hitam—tahu bahwa peran Lincoln dalam mengakhiri per-budakan telah melahirkan kebencian maut yang merenggut nyawanya. Bisa dipahami, orang Amerika-Afrika ingin berada di jajaran depan pelayat; lebih dari 5.000 orang berencana berjalan kaki di Kota New York. Tetapi, banyak orang Amerika berkulit putih berpikiran lain.
Beberapa hari sebelum kereta jenazah tiba, pihak berwenang kota menetapkan bahwa pelayat kulit hitam tidak diperbolehkan mengikuti iring-iringan. Edwin Stanton, men-teri perang, mengirim telegram marah dari Washington yang membatalkan larangan itu, tetapi intimidasi tersebut berhasil. Pawai besar yang menyusuri Broadway pada 24 April diikuti ribuan petugas damkar Irlandia, marching band Jerman, klub sosial Italia, pastor Katolik Roma, rabi Yahudi, juga delegasi khusus karyawan toko kue, pembuat cerutu, anggota organisasi Freemason, dan anggota klub menyanyi.
Saat menapak tilas rute perjalanan jenazah Lincoln, kita sering diingatkan tentang pelajaran pahit itu. Di Buffalo saya mengunjungi tengaran abad ke-19 kota itu: tidak hanya ujung Terusan Erie, yang dulu merupakan gerbang ke wilayah Barat, tetapi juga peninggalan seperti Gereja Baptis Michigan Street, yang dibangun pada 1840-an sebagai pusat komunitas kulit hitam dengan kegiatan intelektual yang semarak dan kegiatan politik yang aktif.