Warisan Hidup Gandhi

By , Kamis, 25 Juni 2015 | 10:51 WIB

Dia sudah bangun sebelum fajar, seperti yang dilakukannya setiap hari di ashram. Dalam kegelapan, dia memimpin pertemuan doa di sepetak tanah yang menghadap ke Sungai Sabarmati. Dengan mengenakan cawat panjang, atau dhoti, dan menyampirkan selendang di bahunya, dia meraih tongkat bambu dan berjalan melewati pintu gerbang. Dia meninggalkan kampung halaman yang ditempati selama 13 tahun, komunitas yang mengabdi pada ajarannya; hidup sederhana dan pemikiran mulia.

Mohandas Gandhi tidak sendirian. Saat menapaki jalanan tanah di pinggiran kota Ahmadabad, kota terbesar di negara bagian asalnya, Gujarat, 78 orang lelaki, berjalan berdampingan, berpakaian serba putih, membentuk barisan di belakangnya. Kemudian, tampak berkerumun di sisi jalan, bergelantungan di pepohonan, men­condongkan tubuh keluar jendela, puluhan ribu orang—para pendukung dan orang-orang yang penasaran—­berseru, “Gandhi ki jai. Jayalah Gandhi.”

Hari itu tanggal 12 Maret 1930. Gandhi dan para pengikutnya berjalan selama 25 hari dan 388 kilometer menuju Laut Arab untuk menentang undang-undang pemerintah Inggris yang tidak adil yang melarang pe­ngumpulan garam di negeri jajahannya. Sebagai seseorang yang ahli dalam melakukan tindakan dramatis melalui isyarat, Gandhi membungkuk di dekat pantai dan meraup se­genggam lumpur asin. Saat kegiatan terlarang pengumpulan garam itu menyebar ke seluruh penjuru negeri, penangkapan dan pemukulan pun terjadi. Gan­dhi dipenjara selama hampir sembilan bulan.

Tindakan yang dipandang pemerintah sebagai aksi pertunjukan politik yang tidak ada arti­nya itu membengkak men­jadi gerakan nasional untuk menuntut kemerdekaan. Sekian banyak masyarakat India—dari kasta tinggi hingga rendah, pria dan wanita, Hindu dan Muslim—untuk per­tama kalinya bergabung dalam unjuk rasa menentang pemerintahan Inggris. Sekarang, masyarakat India memiliki pemimpin. Sejak hari dia memulai Arak-arak­an Garam atau Salt March sampai wafat 18 tahun kemudian, Gandhi berhasil menanamkan perpaduan semangat politik dan spiritualitas pada setiap warga India. Dia menyebut filosofi berbasis tindakan itu satyagraha, kekuatan kebenaran.

Dampak yang dihasilkan Gandhi tak pernah luntur. Dia memandu India meraih kemerdekaannya. Dia memaksa bangsanya untuk mempertanyakan prasangka terdalam mereka tentang kasta, agama, dan kekerasan.

Beberapa jam setelah Gandhi wafat akibat peluru seorang pembunuh pada 1948, hanya lima setengah bulan setelah lahirnya bangsa baru, Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India pertama, menyatakan bahwa cahaya yang ditinggalkan oleh Bapak Bangsa itu akan bersinar selama seribu tahun.

 !break!

Seberapa terangkah cahaya itu hari ini?

Untuk mengetahui jawabannya, saya me­mutus­kan untuk mengikuti Gandhi. Saya me­lakukan napak tilas rute perjalanannya dalam Arak-arakan Garam. Pidatonya dan sejumlah artikel yang ditulisnya membahas per­masalahan yang masih dihadapi India dewasa ini, dan bangsa India masih mem­per­debatkan warisan lelaki yang dikenal sebagai Mahatma atau Sang Jiwa Agung.

Tidak ada yang mempertanyakan pengaruh Gandhi yang bersinar terang di panggung du­nia; filosofi perlawanan tanpa kekerasan yang dianutnya menginspirasi Martin Luther King, Jr., Nelson Mandela, dan Dalai Lama. Di kampung halamannya, efek Gandhi terasa lebih buram. Gandhi ada di mana-mana, tetapi juga tidak terlihat di mana pun. Wajahnya terlihat pada lembaran uang rupee. Banyak kota memiliki jalan bernama Mahatma Gandhi, patungnya berdiri di ba­nyak tempat.

Namun, ketidakhadiran Gan­dhi pun sama jelasnya. Gandhi membayangkan India sebagai desa mandiri. Kasta dan agama yang menandakan identitas diri se­makin memudar. Pemerintah mengusung kesetaraan, tanpa kekerasan. Coba temukan semua itu hari ini. Kota besar yang kacau-balau (Delhi, Mumbai, Kolkata), demam materialistis yang melanda kelas menengah dan atas yang terus bertambah, pemilihan penganut Hindu nasionalis, Narendra Modi, untuk memimpin negeri ini, gudang senjata nuklir, dan kekerasan terhadap kaum wanita menunjukkan identitas nasional yang sangat berbeda. “India kebingungan dalam memahami Gandhi, melihatnya sebagai sumber dari segala kebaikan atau segala kejahatan,” kata Tridip Suhrud, direktur wali amanat yang mengurus ashram tempat Gandhi memulai perjalanannya. “Anda bisa bertengkar dengannya, Anda bisa menerimanya, tetapi jika Anda ingin me­mahami India, Anda harus menghadapi dia.”

 !break!

Pada hari pertama arak-arakan itu, Gandhi berhenti sekitar 3,5 kilometer dari ashram-nya, tindakan yang sarat makna. dia berhenti di depan sekolah yang didirikannya sepuluh tahun sebelumnya sebagai alternatif untuk pendidikan ala Inggris.