Warisan Hidup Gandhi

By , Kamis, 25 Juni 2015 | 10:51 WIB

Gandhi mungkin mengajukan ujian yang paling menjengkelkan bagi mereka yang meng­aku mengikutinya. Karena malu, para pejabat memberi isyarat agar Kaum Tak Tersentuh yang menonton dari sebuah bukit untuk bergabung dalam pertemuan itu.

Di Gajera, tidak seorang pun mau memberi tahu di mana saya bisa menemukan kaum Da­lit (nama masa kini, secara harfiah berarti “rusak”). Akhirnya, saya bertanya pada orang yang terlihat paling miskin, wanita dengan kulit terbakar matahari yang membawa kendi air di kepalanya. Dia menunjuk sekelompok rumah bercat biru yang terpisah dari rumah-rumah lainnya. Itu adalah lingkungan rumah­nya. Warga keluar untuk menyambut saya, bersemangat untuk berbicara dengan orang luar. Hidup telah membaik sejak kunjungan Gandhi.

“Dulu kami harus membawa cangkir milik kami sendiri ke warung teh,” kata se­orang wanita. “Dan ketika kami mem­bawa­kan gandum ke rumah orang yang ber­kasta lebih tinggi, mereka memercikkan air di tanah sesudah kami berlalu, untuk memurnikannya.” Namun, status ekonomi mereka nyaris tak berubah: Warga kota berkasta terendah itu tetap miskin, seperti kebanyakan kaum Dalit, yang mencakup satu dari enam orang India.

Di masyarakat penyapu jalan di Delhi, tempat Gandhi sering menetap, beberapa pemuda Dalit mendekati saya untuk me­nyombongkan diri bahwa mereka adalah orang pertama dalam keluarganya yang kuliah di universitas, berkat beasiswa pemerintah.

Gandhi pasti sangat gembira jika bertemu dengan mereka. Dengan memberi teladan—dia mengadopsi seorang anak dari Kaum Tak Tersentuh ini­—dan melalui kampanye tanpa henti, dia terus berjuang menghapus stigma yang disematkan pada Kaum Tak Tersentuh, yang disebutnya sebagai Harijan atau anak-anak Tuhan. Meskipun demikian, dia tidak mampu menghasilkan terobosan berarti. Meskipun dilindungi pemerintah, kaum Dalit masih sering mengalami diskriminasi, yang kerap diiriingi kekerasan, di mana-mana. Mereka adalah bagian dari negara India yang dialami Gandhi di zamannya.

 !break!

Akhirnya mereka bisa mendengar suara laut. Setelah berjalan lebih dari tiga minggu, rombongan mendekati desa pesisir Dandi saat sebagian besar warga India dan dunia Barat mengamati. Semua berkumpul, menunggu untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Pemimpin mereka telah menghabiskan waktu puluhan tahun mempersiapkan saat tersebut.

Gandhi tumbuh menjadi aktivis dan pe­mim­pin bukan di India, tetapi di Afrika Selatan. Dia tiba di sana pada 1893, saat berusia 24, sebagai pengacara provinsi. Di sana pula dia pertama kali mengalami rasisme dan ketidakadilan yang keji. Di penjara di Afrika Selatan, tempatnya ditahan karena memimpin demonstrasi menentang undang-undang berbasis warna kulit, Gandhi mempelajari Alkitab dan Alquran serta tulisan karya Leo Tolstoy, Henry David Thoreau, dan John Ruskin.

Dia mendirikan komunitas eksperimental di Durban dan Johannesburg, yang pada saat itu merupakan bagian dari Koloni Ing­gris. Pada saat kembali ke India pada 1915, Gan­dhi telah melahirkan visi satyagraha-nya, cara mencari kebenaran melalui perlawanan tanpa kekerasan, namun dengan kesabaran dan kasih sayang.

Bagi banyak sejarawan, penulis biografi, dan aktivis, Arak-arakan Garam adalah prestasi Gandhi yang paling murni. Gandhi men­ciptakan pedoman baru bagi gerakan sosial. Di India, penyelenggara kegiatan yang terinspirasi oleh Gandhi telah meng­hasilkan sejumlah kampanye tanpa ke­kerasan, terutama mengenai persoalan ling­kungan hidup seperti perusakan hutan dan pembangunan bendungan. “Jika Anda pengikut Gandhi, Anda tidak hanya berkhotbah, tetapi juga turut beraksi,” kata P.V. Rajagopal, seorang aktivis.

Sejak masa Gandhi, orang miskin di India terus kehilangan tanahnya demi pem­bangunan oleh pemerintah, tuan tanah yang korup, dan bencana alam, tanpa atau hanya sedikit menerima kompensasi. Untuk Rajagopal dan organisasinya, Ekta Parishad, Arak-arakan Garam modern perlu dilakukan. Rajagopal dan pendukungnya menghabiskan hampir satu tahun mengunjungi 26 dari 29 negara bagian India, mengunjungi desa seperti Chhatapur, di Bihar, salah satu negara bagian termiskin.

Di halaman sekolah pada hari yang terik, dia berbicara di depan ratusan orang, sebagian besar kaum wanita Dalit. “Kita meminta lahan untuk rumah agar kita dapat menanam bahan pangan. Kita sudah menunggu cukup lama. Siapa yang akan bergabung dengan saya dalam arak-arakan ke Delhi?” Sejumlah orang mengacungkan tangan. Rajagopal menunduk­kan kepala sebagai tanda terima kasih.

Saat SUV-nya melintasi jalan tanah sempit di antara desa, Rajagopal menjelaskan, dia mengamalkan sifat terbaik Gandhi. “Saya memilih sisi radikal, bukan Gandhi yang berdoa dan bermeditasi, tetapi Gandhi yang berjuang. Menghidupkan kembali Gandhi yang berjuang melawan ketidak­adilan dan penindasan.” Rajagopal ingin membangkitkan kembali padyatra atau gerak­an berjalan kaki. “Berjalan kaki menyiratkan pesan,” katanya. “Kita menantang diri, kenyamanan kita, tubuh kita. Dan itu tindakan spiritual.”

Enam bulan kemudian, pesannya mem­bentang berkilo-kilometer di sebuah jalan menuju Delhi. Peserta arak-arakan yang disiplin mulai berjalan saat matahari terbit. Menjelang sore, setelah berjalan sekitar 16 kilometer, mereka berhenti untuk melahap makanan mereka, kacang-kacangan dan nasi.

!break!

Mohandas Gandhi melanggar hukum pada pagi hari 6 April 1930. Di Dandi, dekat laut, lelaki yang dipanggil Bapu, atau ‘ayah’, oleh teman-teman dan orang asing, membungkuk dan meraup segenggam lumpur. Pada peng­hujung hari itu, ratusan pendukungnya melakukan hal yang sama. Di seluruh India selama beberapa bulan setelah itu, semakin banyak orang bergabung dengannya, secara ilegal memproduksi garam dari laut lebih cepat dari yang bisa disita polisi. Arak-arakan Garam itu tidak mampu menggulingkan pemerintah Inggris—kemerdekaan baru tercapai 17 tahun kemudian—tetapi gerakan­nya telah merapuhkan fondasinya.

Saat saya mencari sosok Gandhi, mencari­nya di tengah ingar-bingar dan kompleksitas kehidupan perkotaan dan pedesaan, saya me­nemukannya. Berjiwa pembangkang, me­megang teguh prinsip dan sifat yang gigih, menjiwai kampanye melawan korupsi, perkosaan, kekerasan kasta, dan pem­bersihan daerah kumuh. Rasa percaya diri dan prestasi kaum wanita yang terus tumbuh mampu mewujudkan tuntutan Gandhi untuk menyertakan mereka dalam kehidupan masyarakat India. Di ashram yang dahulu ditempatinya, saya merasakan kekuatan teladannya untuk hi­dup sederhana.

Bagi beberapa orang, Gan­dhi meng­alami kegagalan tragis, misalnya bagaimana dia tak mampu mencegah konflik Hindu-Muslim atau pemisahan diri mayoritas Muslim Pakistan. Namun, di pantai di Dandi, pemandangan keluarga Muslim dan Hindu yang mengarungi ombak, keliman sari yang terangkat, jilbab yang didorong ke belakang, menjadi saksi daya tahan demokrasi sekuler toleran yang dilihat Gandhi sebagai pusaka India.

---

Rena Effendi lahir di Azerbaijan, dibesarkan di Uni Soviet—tempatnya belajar fotografi. Dia meraih beberapa penghargaan untuk karyanya. Ini adalah kisah fitur keduanya untuk National Geographic.

Tom O’Neill senang duduk di bawah pohon tempat Gandhi berceramah. “Saya sering memberi tahu warga, saya sedang bertemu Gandhi,” katanya. “Mereka tersenyum dan pergi, yakin orang gila datang ke kotanya.”