Warisan Hidup Gandhi

By , Kamis, 25 Juni 2015 | 10:51 WIB

Dia me­merca­yakan pembukuan dan pengujian pada kaum wanita. Dia mendorong orang tua me­nyekolahkan anak mereka; pendaftaran sekolah meningkat tiga kali lipat menjadi lebih dari 150 anak, sehingga dibutuhkan lebih banyak ruang kelas dan guru. Tiga musim dingin yang lalu, saat melihat Ajay yang berusia enam tahun ditelantarkan di jalanan, dia mengadopsinya.

Apakah pekerjaan Anda di sini sudah selesai? tanya saya. Pelkar mendesah. “Pada awalnya,” katanya, “Saya mengira dua tahun sudah cukup untuk menyelesaikan proyek saya. Sekarang, saya rasa proyek itu akan menghabiskan seumur hidup saya.”

 !break!

Dulu, ratusan wanita berdatangan untuk men­dengar Gandhi berbicara. Mereka mem­banjiri jalanan untuk menemani rombongan itu melalui sejumlah kota. Karena khawatir akan kekerasan, Gandhi hanya memilih kaum lelaki untuk turut bersamanya, tetapi dia menganggap kaum wanita sebagai sekutu alami. “Saya merasa mereka akan menjadi penafsir kegiatan tanpa kekerasan yang lebih baik daripada kaum lelaki,” katanya, “bukan karena lemah seperti yang diyakini lelaki dalam kesombongannya, tetapi karena memiliki keberanian lebih besar.”

Seperti halnya sekian banyak perjuangan moralnya, kampanye Gandhi untuk kesetara­an jenis kelamin masih terlalu dini. Pada dasarnya, India tetap merupakan masyarakat patriarkat yang konservatif. Ujaran Gandhi menentang pernikahan anak kecil, kekerasan terhadap kaum wanita, sistem mas kawin, dan kurangnya pendidikan bagi kaum wa­nita. Namun, semua tetap tertanam dalam kehidupan sehari-hari, meskipun ada secercah kemajuan. Meski demikian, perlawanan versi Gandhi masih tetap bertahan.

“Kekuatan saya adalah teman-teman pe­rempuan saya,” kata Ela Bhatt, sambil berayun di ayunan di rumahnya yang sederhana di Ahmad­abad. Dia adalah pendiri Perhimpunan Wanita Swakarya (Self-Employed Women’s Association, SEWA), sebuah serikat buruh dan koperasi yang anggotanya lebih dari 1,8 juta orang. Bhatt, yang lahir tiga tahun setelah Arak-arakan Garam, terlihat seperti nenek yang manis. Namun, cerita yang disampaikannya dipenuhi tekad baja.

Bhatt berhenti dari pekerjaannya sebagai pengacara serikat tekstil, dan pada 1972 mendirikan SEWA, yang mencerminkan keyakinan Gandhi mengenai martabat pekerjaan. Dengan hanya membayar sedikit uang, kaum wanita bisa mengikuti pelatihan, men­dapat­kan pinjaman bank, asuransi kesehatan, dan perawatan anak. “Kaum wanita di India selalu diperlakukan sebagai warga negara kelas dua,” katanya. “Padahal, mereka adalah pemimpin keluarga. Aset lebih aman di tangan mereka.”

Meneladani Gandhi menjadi sesuatu yang alami bagi Bhatt. Kakeknya, seorang dokter, dipukuli dan dipenjara selama Arak-arakan Garam. Orang tuanya bergabung dengan gera­kan kemerdekaan. “Saya berutang banyak pada suasana masa itu,” katanya. “Masa-masa itu sarat idealisme.” Organisasi Bhatt memulai sebuah revolusi tersendiri, memupuk kelompok kerja berbasis perempuan di seluruh Asia selatan.

Desa dengan SEWA yang aktif pasti ber­beda. Kaum wanitanya tampak lebih berani, lebih percaya diri. Di Sihol, dekat kota Anand yang dilalui Pawai Garam, di dalam gedung yang diperbaiki seadanya dan diterangi cahaya dari beberapa jendela kecil, terdengar suara derakan saat sejumlah perempuan di balik alat tenun kayu sibuk menenun sari dan handuk. Dulu, kata Gauriben Vankar, satu-satunya pekerjaan yang ada hanyalah di ladang tembakau dengan bayaran beberapa sen sehari. Sekarang dia mendapatkan bayaran beberapa kali lipat untuk setiap sari.

 !break!

Gandhi adalah provokator, sering me­nantang para pendengarnya. Di Gajera, se­puluh hari setelah pawai dimulai, dia duduk di atas panggung di hadapan kerumunan orang yang menunggu ceramahnya, dan dia tidak berkata sepatah kata pun. Penonton mulai gelisah. Ketika Gandhi akhirnya berbicara, dia berkata bahwa dia tidak akan menyampaikan ceramahnya, kecuali jika para pemimpin desa mengundang Kaum Tak Tersentuh untuk duduk di tengah-tengah mereka.

Orang Hindu mengasingkan anggota kasta terendah. Warga berkasta rendah melakukan pekerjaan terkotor. Mereka tinggal terpisah. Mereka dilarang masuk candi atau menimba air dari sumur desa. Bahkan bayang­annya tak boleh menyentuh orang Hindu lainnya.