Warisan Hidup Gandhi

By , Kamis, 25 Juni 2015 | 10:51 WIB

Saat ini, struktur melengkung dari batu pasir menjadi pintu masuk ke dalam kampus Gujarat Vidyapith yang teduh, yang jalanannya sesak oleh mahasiswa. Mereka me­ngenakan kemeja longgar dan celana dari khadi, kain buatan sendiri yang menjadi lambang revolusi Gandhi, lambang penolakan barang produksi Inggris dan kebangkitan industri tradisional.

Sudarshan Iyengar, wali universitas dan ekonom terkemuka, tidak menyangkal aturan dan harapan sekolah yang sudah ketinggalan zaman tersebut. “Di sini kami melatih siswa dalam hati, tangan, dan kepala, sesuai dengan urutan itu,” katanya sambil duduk di lantai, mengenakan khadi putih. “Seperti Gandhi, kami membangun karakter melalui kehidupan bermasyarakat dan bekerja.”

Apa yang akan dilakukan Gandhi? Itu per­tanyaan utama di kampus ini. Mahasiswa yang saya temui berkata dengan tulus tentang Gandhi sebagai panutan. Namun, mereka tidak berniat mengikutinya secara kaku.

Pembicaraan kami terputus oleh suara lonceng. Waktu memintal telah tiba. Untuk mempersiapkan bangsa India meraih ke­merdeka­annya dengan menanamkan disiplin dan kemandirian, Gandhi mendorong kaum wanita dan lelaki, termasuk para pejabat tertinggi, untuk menghasilkan setidaknya 25 meter benang dalam satu tahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan satu orang. “Setiap perputaran roda ibarat memintal perdamaian, niat baik, dan cinta,” khotbahnya. Dengan mematuhi tradisi itu, sekitar 500 mahasiswa memenuhi auditorium sambil membawa kotak berisi roda pemintal portabel. Sambil duduk bersila, mereka mengambil sejumput kapas dan mulai memintal.

 !break!

Gandhi  adalah pejalan kaki yang cepat. Kecepatannya menakjubkan bagi lelaki 61 tahun yang merupakan orang tertua dalam rombongan, yang sendinya sakit akibat rematik. Setiap hari, dengan berjalan rata-rata 16 sampai 19 kilometer dalam cuaca panas yang terik, rombongan itu berhenti di sejumlah permukiman untuk berdoa, isti­rahat, makan, dan mendengarkan pemimpin mereka berbicara di hadapan penonton yang mendengar penuh perhatian. Gandhi adalah tokoh nasional pertama yang mau berhubungan dengan warga desa India. Baginya, desa adalah jiwa India.

Jika Gandhi mengunjungi tempat yang sama sekarang, dia akan melihat, mungkin dengan perasaan kecewa, bahwa pedesaan India kurang lebih tetap sama seperti di zamannya. Di Vasana, sebuah desa ladang kapas tempat rombongannya berhenti di bawah pohon mangga yang masih tegak hingga sekarang, saya menemukan patung Gandhi, lengkap dengan tongkatnya.

Tumpuk­an sampah menggunduk di dasar patung itu. Saat kerumunan orang mulai ber­kumpul di sekitar saya, seorang lelaki ber­celana jins melangkah maju untuk me­minta maaf atas tugu peringatan yang tidak terawat itu. Saya bertanya apakah ada yang mengenakan khadi. Tidak lagi, katanya. Setelah menjawab bebe­rapa pertanyaan, orang itu kehilangan kesabaran. “Orang berdatangan ke sini dan berbi­cara tentang Gandhi, Gandhi, Gandhi, tetapi tidak ada yang mereka lakukan untuk kami,” keluhnya. “Kami memerlukan jembatan di atas sungai dan atap di atas kepala patung ini.”

Visi Gandhi tentang pedesaan sebagai tempat yang paling subur untuk menopang kemajuan India kini tampaknya seperti mimpi indah semata. Sekarang kota menjadi pusat pekerjaan, sekolah, dan kehidupan sosial. Namun, hampir 70 persen dari popu­lasi India yang berjumlah lebih dari 1,2 miliar masih tinggal di pedesaan. Bagi Gandhi, peng­anut Hindu yang sangat dipengaruhi oleh kehidupan Yesus Kristus, panggilan tertinggi adalah menyatu dengan kaum miskin dan “memberi mereka makan sebelum memberi makan diri sendiri.”

Sebagian orang masih mendengar panggilan itu. Lima tahun sebelum saya bertemu dengan­nya, Thalkar Pelkar, pemuda pendiam yang selalu mengenakan khadi, pindah ke Pedhamali. Di kawasan itu, rumah berdinding lumpur menyebar di sepanjang bantaran sungai kering di barat daya India. Sebagai lulusan Gujarat Vidyapith, dia berkomitmen mengabdikan dua tahun kehidupannya mem­bangun desa tanpa bayaran.

Pelkar tinggal di sebuah kamar tanpa air atau listrik. Dia memotong rambutnya dan mempelajari dialek lokal. Dia menggantung foto Gandhi yang sudah pudar di kamarnya. Apa yang akan dilakukan Gandhi? Pertanyaan itu membebaninya seperti sekarung batu.

Sekarang potret itu digantung di rumah baru Pelkar, rumah yang ditelantarkan dan telah diperbaikinya. Sambil duduk di lantai ber­sama istrinya, Snehan, dan putranya, Ajay, Pelkar, setelah dibujuk dan dirayu akhir­nya memaparkan prestasinya. Dia berhasil meng­hidupkan kembali peternakan sehingga kaum wanita tidak lagi harus berjalan sejauh 19 kilometer untuk membeli susu.