Kala <i>Jerebu</i> Menyerbu

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 14:52 WIB

Asap putih menyeruak di antara semak belukar kering, pada pembuka Agustus lalu. Hari masih pagi, tetapi gemeretak dedaunan dan ranting tanaman yang habis terbakar itu terdengar gaduh. Batang-batang pohon ikut tumbang, menampakkan jari-jari akar yang lebih dulu hangus.

Seketika napas saya sesak dan berat. Mata terasa perih. Trauma menghantui, karena saya memiliki riwayat penyakit paru. Untunglah, tak lama kemudian belasan anggota pemadam Manggala Agni turun dari kendaraan bak terbuka. Dua mesin penyedot air diletakkan pada tepi kanal. Padahal, air kanal itu surut dan berwarna pekat ke­hitaman. Namun, dari sumber air itu­lah tim berharap dapat mengendalikan api.

Upaya pemadaman telah berlangsung sejak menyebarnya api pada awal Juli lalu; mulai dari penyemprotan di permukaan hamparan hingga penyuntikan ke dalam gambut dengan air bertekanan tinggi. Bukannya menjinak, api makin menjalar lebih dari 50 hektare areal pertanian, semak, dan permukiman di Kelurahan Air Hitam, Kecamatan Payung Sekaki, Pekanbaru, Provinsi Riau.

Hanya berjarak 50 meter dari sebaran api, Patiyah Ramadani lelap di pelukan sang ibu, Nurfiani (36), dalam pondok kayu berukuran 3 x 4 meter. Bayi itu belum lagi berusia sebulan. Kulitnya masih kemerahan. Matanya pun belum jelas melihat dunia. 

Sejak hari pertama kelahirannya, belum sekalipun Patiyah merasakan hangat mentari dan udara luar. Nurfiani selalu menutup pintu pondok miliknya itu. Ia khawatir bayinya menghirup semakin banyak asap. Ia sendiri merasakan tenggorokan dan matanya perih akibat asap. Dua putranya yang lain pun terserang batuk. 

Nurfiani ingin kembali ke tempat asalnya di Medan, namun dirinya tak memiliki cukup uang. Sedangkan untuk mengungsikan anak-anak ke tempat orang tuanya di kampung sebelah, kondisinya sama: terkepung asap. “Ke mana kami bisa mengungsi? Jerebu sudah di mana-mana,” keluhnya.

Orang-orang Melayu menyebutnya bencana jerebu; satu kondisi udara saat diliputi pekatnya asap, abu, atau debu akibat kebakaran lahan. Kerap kali, kepekatannya sampai menyelubungi pandangan. Bencana itulah yang dialami masyarakat Riau dan sekitarnya pada setiap musim kemarau, selama 18 tahun terakhir.

 !break!

Meski berada jauh dari Tanah Air, Agrina gelisah mengikuti berita maraknya kebakaran lahan. Agrina adalah peneliti dari Universitas Riau yang sedang menyelesaikan disertasi di Kanazawa University, Jepang, mengenai kesehatan balita. Dengan rasa waswas, dia langsung menelepon ke rumah. Sang suami, Syahrul, mengatakan anak-anak mereka baik-baik saja. Namun, naluri keibuannya bersuara lain. Agrina memutuskan segera pulang.

Setiba di Pekanbaru, kegelisahan Agrina akhirnya terjawab. Putri ketiganya, Wafa Fakhruna yang berusia 8 tahun, terbaring lemah dalam kondisi sesak napas. Infeksi saluran pernapasan akut dan asmanya kambuh. Ini sudah terjadi untuk kedua kalinya. Tahun lalu, ketika asap menyeruak di kota itu, Wafa dirawat intensif selama sepekan lebih. Kali ini, Wafa kembali menginap di Rumah Sakit Awal Bros. Selama masa perawatan, Wafa mendapat bantuan pernapasan dengan oksigen tambahan, serta menjalani terapi nebuliser selama satu jam penuh, rutin setiap empat jam sekali, termasuk pada tengah malam. “Dia sering menangis saat menjalani terapinya. Bagi anak-anak, ini terasa menyiksa,” ucap Agrina.

Tekad Agrina sudah bulat untuk meng­ungsikan seluruh keluarga ke Jepang. Ia tidak tahan lagi melihat mereka menjadi korban atas kejahatan lingkungan yang dilakukan orang lain di hutan dan perkebunan. “Mereka yang membakar, tetapi kami yang jadi korban. Kalau kota ini sudah berasap, mereka punya banyak uang lari ke luar negeri, tetapi bagai­mana nasib masyarakat kecil?”

Di tengah Kota Pekanbaru saja, api sudah meluas hingga lebih dari 100 hektare. Selain di Payung Sekaki, kebakaran terjadi di Bukit Raya, Rumbai, dan Tampan. Kebakaran juga sempat merusak sejumlah fasilitas negara dan publik. Di kompleks Batalyon Infanteri 132/Bima Sakti di Salo, api memasuki lapangan tembak dan mendekati gudang amunisi.

Kebakaran juga menghabisi sebagian area tangkapan air PLTA Kotopanjang, serta melalap 50 hektare koridor akses PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), di luar konsesi, di Pangkalan Kerinci.