Kala <i>Jerebu</i> Menyerbu

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 14:52 WIB

Sebagai penyimpan karbon, pengatur iklim, dan pelindung keragaman hayati, gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman mati. Pembentukan kubah gambut dimulai dari adanya cekungan permukaan yang secara perlahan ditumbuhi tanaman air dan vegetasi lahan basah. Sisa tanaman melapuk ini secara bertahap membentuk lapisan transisi antara gambut dan substratum atau lapisan di bawahnya, berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian tengah danau dangkal, dan terus membentuk lapisan-lapisan hingga mencapai bentuk kubah gambut yang permukaannya cembung. Di sinilah cadangan air tersimpan dengan aman.

Dengan membuka kanal, cadangan air dalam gambut akan tersedot. Kelebihan air yang tertampung di kanal akan langsung terbuang ke laut. Gambut menjadi kering di musim kemarau, sehingga mudah terbakar karena mengandung bahan-bahan organik. “Dalam kondisi kering, gambut mudah ter­sulut api. Dan ketika sudah tersulut, bakaran­nya akan cepat meluas dan bertahan di balik permukaan,” Haris menjelaskan.

Berbeda dari kebakaran biasa, kebakaran pada gambut sulit terduga. Api yang tum­buh dari semak, serasah, dan belukar, me­nyebar tak menentu di bawah permukaan, mem­bakar bahan organik melalui pori-pori gambut, dan melalui akar semak belukar yang bagian atasnya terbakar. Api terus men­­jalar dengan membentuk kantong asap, sehingga pembakarannya tidak menyala-nyala. Cenderung hanya tampak asap ber­warna putih di atas permukaan. Namun, karena kebakaran meluas di dalam gambut, pe­madamannya menjadi sulit.

!break!

Itulah sebabnya dalam berbagai kasus ke­bakaran gambut, upaya penyemprotan atau pengeboman dengan air tidak pernah benar-benar berhasil mematikan api hingga di lapisan bawah, kecuali setelah diguyur hujan selama berhari-hari.

Celah itulah yang dimanfaatkan para pemodal dalam mengelola konsesi dan per­kebunan sawit. Pembakaran sangat efektif dan menghemat biaya produksi. Pembersihan lahan dengan cara membakar hanya meng­habiskan Rp1 juta hingga Rp 1,5 juta per hektare. Bandingkan dengan cara tanpa bakar, dibutuhkan biaya hingga enam kali lipatnya. 

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, menemukan unsur kesengajaan dengan ber­bagai modus operandi pada sebagian besar peristiwa kebakaran di wilayah kor­porasi. Selain untuk menghemat biaya dan memperoleh pemupukan dari hasil abu bakaran kaya mineral, pemilik lahan meraup keuntungan berkali lipat dengan memanipulasi pinjaman sindikasi bank. Ada pula yang bertujuan memperoleh klaim asuransi bernilai miliaran rupiah, atau membiarkan lahan terbakar sehingga terkesan lalai, padahal ada agenda lain di balik kebakaran yang terjadi. Modus-modus ini dilakukan termasuk oleh kalangan kor­porasi besar yang telah bersertifikat ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Temuan lain adalah pemanfaatan ilegal kawasan hutan untuk pembangunan kebun sawit. Ada perusahaan yang melaksanakan pembangunan tanaman tanpa izin usaha perkebunan yang sah dan/atau beralas hak (HGU), serta tanpa menggunakan dokumen analisis dampak lingkungan pada daerah dilindungi atau dikonservasi, bahkan me­lakukan penimbunan sungai untuk perluasan lahan yang akan dibangun.

!break!

Lemahnya koordinasi antar aparat serta rumusan delik dan sanksi kerap gagal memberi efek jera pelaku. Hanya sedikit penegak hukum yang mengerti penanganan masalah penegakan hukum lingkungan, khususnya dalam kasus kebakaran. “Bagaimana mungkin mereka dapat memahami pokok persoalan yang terjadi bila mereka tidak memahami ilmu tentang kebakaran hutan dan lahan, prosesnya, dan dampaknya?” kata Bambang. Akibatnya, sering terjadi beda pendapat yang berujung pada pelemahan substansi perkara.

Bambang menemukan, ada perusahaan perkebunan sawit yang membakar 1.000 hektare lahan dengan kerugian lingkungan hidup Rp366 miliar, namun vonis peng­adilannya tiga tahun atau setara dengan vonis kepada masyarakat yang membakar lahan satu hektare. Ada juga perusahaan asing yang diduga membakar 3.000 hektare, justru hanya didenda Rp2 miliar. Padahal, ke­rugian lingkungannya lebih dari Rp1 triliun. Itu belum termasuk kerugian yang dialami masyarakat akibat kabut asap.

Saya menanyakan hal ini kepada salah satu perusahaan besar yang beroperasi di Riau, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Lewat pernyataan resmi melalui surat elektronik, direktur perusahaan, Rudi Fajar, me­nyatakan bahwa RAPP tidak pernah melakukan praktik bakar untuk membuka lahan (no-burn policy).

“Perusahaan telah menerapkan Mana­jemen Kebakaran Lahan yang mengandung langkah-langkah deteksi dini, pencegahan, penanggulangan, serta sosialisasi kepada masyarakat,” jelas Rudi. Akan tetapi, pen­jelasan tersebut belum menjawab per­tanyaan saya soal bagaimana api bisa menjalar di wilayah mereka.

!break!

Dari lima usaha perkebunan yang diaudit tim Bambang bersama Kementerian Ling­kung­an Hidup dan Kehutanan, tak satu pun yang dinyata­kan patuh. Dari 12 usaha kehutanan, seluruh­nya tergolong sangat tidak patuh, tidak patuh, dan kurang patuh. Sementara dari enam pemerintah kabupaten dan kota, empat di antaranya kurang patuh.