Kala <i>Jerebu</i> Menyerbu

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 14:52 WIB

Adapun, kadar oksigen murni semestinya mencapai 20 persen. Saat terjadi pembakaran lahan, kadarnya menurun drastis hingga hanya 1 persen. Kondisi itu akan mengganggu asupan oksigen pada ibu hamil, sehingga berpotensi mengalami anemia fisiologis. Bayinya terancam lahir dengan berat badan rendah atau bahkan mengalami kematian. Bayi yang lahir selamat pun dapat mengalami masalah sel otak. “Kekurangan oksigen dalam waktu lima menit saja mengancam kematian sel otak secara permanen,” jelas Azizman.

Partikel debu atau partikulat yang be­terbangan di udara masuk ke tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Polutan ini dapat terisap sehingga efeknya menimbulkan risiko kerusakan paru. Partikulat juga meng­iritasi bronkus, menyebabkan radang, dan meningkatkan reaktivitas. Efeknya sangat potensial menyebabkan asma, ISPA, bronchitis kronik, dan penyakit paru obstruktif kronik.

Polutan lain yang berbahaya adalah kondensat asap biomassa. Jika masuk ke mata dan terabsorbsi lensa alami pada mata, polutan ini akan menimbulkan perubahan oksidatif yang mengakibatkan katarak. 

Azizman menilai, dalam kondisi berasap, Riau sebenarnya sudah tidak layak huni. Ia juga khawatir, paparan asap yang berlangsung terus-menerus dalam rentang waktu panjang akan menimbulkan dampak kesehatan yang jauh lebih membahayakan. “Bukan tidak mungkin akan menimbulkan kerusakan genetik. Tetapi ini masih harus dibuktikan melalui penelitian mendalam,” ujarnya.

 !break!

Satu-satunya cara mengendalikan ancaman itu adalah menyetop pembakaran lahan. Tetapi, pakar gambut yang juga Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau, Haris Gunawan, menilai bencana ini bukan persoalan praktik pembakaran lahan semata. “Akarnya ada pada salah kelola sumber daya alam,” kata Haris. Ia merujuk pada eksploitasi besar-besaran kawasan gambut Riau sejak 1997.

Riau merupakan wilayah bergambut terbesar di Sumatra. Luas areal gambutnya 5,7 juta hektare, atau 60 kali luas Jakarta. Luas lahan gambut di Riau bahkan lebih dari setengah luas gambut seluruh Sumatra yang mencapai 7,2 juta hektare, sebagai penyerap 18 juta ton karbon.

Sebagian luas rawa gambut Riau, uniknya, berkedalaman lebih dari tiga meter. Terkait Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, ada larangan mengalihfungsikan gambut berkedalaman lebih dari tiga meter. Kenyata­annya, aturan itu dilanggar secara leluasa.

Penebangan besar-besaran terjadi dalam skema izin hak penguasaan hutan (HPH) di masa Orde Baru, berlanjut dengan alih fungsi hutan gambut untuk kepentingan industri perkayuan. Pemberian izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) skala besar dan kecil kemudian meledak di era reformasi. Sebagian izin bisa dikatakan ilegal, karena melangkahi proses konversi hutan yang semestinya.

Pembukaan hutan untuk perkebunan skala kecil pun belakangan marak. Asalkan bermodal besar, siapa pun bebas membuka kebun dengan hanya mengantongi surat keterangan jual beli lahan dari perangkat desa dan daerah. Sejak 1997, luas hutan gambut Sumatra yang beralih menjadi konsesi HTI mencapai 4,5 juta hektare. Provinsi Riau memiliki konsesi HTI terluas dengan total hampir 2,1 juta hektare, sehingga menjadi provinsi yang paling luas kehilangan hutan alam, diikuti Sumatra Selatan (1,3 juta hektare), dan Jambi (663.000 hektare).

Tidak hanya HTI, pembukaan kebun sawit juga begitu masif. Dalam dokumen rencana induk Kementerian Lingkungan Hidup 2010, wilayah budi daya di areal gambut sudah 4 juta hektare, menyisakan hanya 1,7 juta hektare sebagai kawasan lindung kubah gambut.

!break!

Setelah penggundulan hutan, perusakan berikutnya adalah pembangunan saluran air atau kanal besar-besaran untuk tanaman industri dan sawit. Dalam catatan Haris, pem­bangunan jaringan kanal korporasi maupun perorangan di Riau mencapai 13.510 unit. Panjangnya mencapai 28 juta meter. Jika direntangkan, jarak itu setara dengan perjalanan bolak-balik Jakarta-Los Angeles! Jaringan kanal telah me­rusak struktur hidrologis yang telah terbentuk dalam proses akumulatif pembusukan sisa tumbuhan selama ribuan tahun.