Hamburg sudah tahu bahwa serangan bom akan datang, sehingga para tahanan perang dan pekerja paksa hanya diberi waktu setengah tahun untuk membangun bungker perlindungan raksasa. Pembangunan selesai pada Juli 1943. Kubus beton bertulang kokoh tanpa jendela, dengan tembok setebal dua meter dan atap jauh lebih tebal, menjulang bagaikan puri abad pertengahan di atas taman di dekat Sungai Elbe. Moncong-moncong senapan antipesawat yang menyembul dari keempat menaranya akan menyapu pesawat-pesawat pengebom Sekutu dari langit, sementara puluhan ribu penduduk akan terlindungi di balik temboknya yang mustahil ditembus.
Pesawat-pesawat pengebom Inggris, yang datang malam hari dari Laut Utara hanya beberapa pekan setelah pembangunan bungker selesai, mengincar menara St. Nikolai di pusat kota. Mereka menjatuhkan serpihan kertas timah bagaikan awan untuk mengelabui radar dan operator senapan anti pesawat Jerman. Menyasar wilayah permukiman padat, pesawat-pesawat pengebom itu memicu badai api dahsyat yang meluluhlantakkan Hamburg dan menewaskan lebih dari 34.000 jiwa.
Menara St. Nikolai, yang entah bagaimana tetap utuh, masih tegak hingga kini sebagai mahnmal—monumen untuk mengingatkan bangsa Jerman tentang neraka yang dihadirkan oleh Nazi. Bungker turut menjadi mahnmal. Namun, kini tempat itu memiliki makna baru: Bungker tersebut telah berubah fungsi, dari alat pengingat tentang masa lalu yang memalukan, menjadi visi yang penuh harapan.
Di tengah bungker, sebuah tangki air panas bertingkat enam dan berkapasitas dua juta liter menyalurkan kehangatan dan air panas ke sekitar 800 rumah di lingkungan itu. Air dipanaskan oleh pembakaran gas dari pengolahan limbah, panas yang terbuang dari pabrik di dekatnya, dan panel-panel surya yang menutupi atap bungker. Bungker itu juga mengubah sinar matahari menjadi listrik; perancah berlapis panel fotovoltaik (PV) di sisi selatannya menyalurkan cukup listrik untuk menyuplai seribu rumah. Di pelataran penghubung di bagian utaranya, tempat dahulu para operator senapan menyaksikan api membakar pusat kota, sebuah kafe terbuka menawarkan pemandangan kota yang telah berubah kepada para pelanggannya. Kini, 17 kincir angin berdiri di lanskap tersebut.
Jerman memelopori sebuah transformasi besar-besaran yang disebut energiewende—revolusi energi yang menurut para ilmuwan harus dilakukan oleh semua bangsa untuk menghindari bencana iklim. Di antara negara-negara industri besar lainnya, Jerman berada di tempat terdepan. Tahun lalu sekitar 27 persen listrik di Jerman berasal dari sumber terbarukan seperti angin dan sinar matahari, tiga kali lipat dari yang didapatkan satu dekade silam. Perubahan ini dipercepat setelah terjadi ledakan di pembangkit nuklir Fukushima di Jepang pada 2011, yang mendorong Kanselir Angela Merkel untuk mendeklarasikan penutupan ketujuh belas reaktornya pada 2022. Sembilan reaktor telah ditutup sejauh ini.
Yang menjadikan Jerman sangat penting bagi dunia, bagaimanapun, adalah pertanyaan apakah sumber energi terbarukan dapat berangsur-angsur menggantikan bahan bakar fosil. Pada akhir abad ini, menurut para ilmuwan, emisi karbon yang memanaskan bumi harus jatuh hingga angka nol. Jerman, negara dengan tingkat ekonomi terbesar keempat di dunia, telah menjanjikan beberapa langkah pemotongan emisi paling agresif—pada 2020, penurunan 40 persen dari level yang ada pada 1990, dan pada 2050, setidaknya 80 persen.
Belum bisa dipastikan apakah janji itu akan terpenuhi. Revolusi Jerman berasal dari aktivis perorangan: Penduduk perorangan dan genossenschaften—asosiasi penduduk lokal—telah menyumbangkan setengah dari seluruh investasi di bidang sumber energi terbarukan. Tetapi, perusahaan-perusahaan konvensional besar, yang tidak siap mengikuti revolusi, menekan pemerintahan Merkel untuk memperlambat lajunya. Negara ini masih memperoleh jauh lebih banyak listrik dari batu bara daripada sumber energi terbarukan. Dan energiewende harus menempuh jalan yang jauh lebih panjang untuk bisa diterapkan di sektor transportasi dan pemanasan, yang menghasilkan lebih banyak karbon dioksida (CO2) daripada pembangkit listrik.
Para politisi Jerman kadang-kadang membandingkan energiewende dengan pendaratan Apollo di bulan. Namun prestasi itu berhasil diraih dalam waktu kurang dari satu dekade, dan sebagian besar penduduk Amerika hanya menyaksikannya di TV. Energiewende membutuhkan waktu jauh lebih panjang dan akan melibatkan setiap penduduk Jerman—saat ini lebih dari 1,5 juta di antaranya, hampir 2 persen dari seluruh populasi, menjual kelebihan listrik yang dihasilkan di rumah mereka kepada orang lain. “Ini proyek untuk satu generasi; ini akan berlangsung hingga 2040 atau 2050, dan sulit dijalankan,” ujar Gerd Rosenkranz, mantan jurnalis Der Spiegel yang kini bekerja sebagai analis di Agora Energiewende, think thank Berlin. “Proyek ini menjadikan listrik lebih mahal bagi konsumen individu. Namun tetap saja, jika ada pertanyaan dalam jajak pendapat, Apakah Anda menginginkan energiewende? maka 90 persen akan menjawab ya.”
Mengapa masa depan energi terjadi di sini, di negara yang hancur lebur akibat bom 70 tahun silam? Dan bisakah ini terjadi di mana-mana?
Asal mula orang Jerman menurut mitos adalah sebagai berikut: Mereka datang dari jantung hutan yang gelap dan sulit ditembus. Mitos ini berawal dari ahli sejarah Romawi, Tacitus, yang menulis tentang pasukan Teutonik yang membantai legiun Romawi, dan dibumbui oleh gerakan Romantik Jerman pada abad ke-19. Selama gejolak yang melanda pada abad ke-20, menurut etnografer Albrecht Lehmann, mitos itu tetap dianggap penting bagi identitas bangsa Jerman. Hutan menjadi tempat yang dituju oleh orang Jerman untuk memulihkan jiwa—sebuah kebiasaan yang menyebabkan mereka peduli pada lingkungan.
Maka pada akhir 1970-an, ketika emisi bahan bakar fosil dituduh telah memusnahkan hutan-hutan di Jerman dengan hujan asam, amarah menjalar ke seluruh negeri. Ancaman waldsterben, atau kematian hutan, membuat mereka berpikir lebih keras.
Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar mendorong pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir—namun banyak penduduk Jerman menentangnya. Ini merupakan hal baru bagi mereka. Hingga beberapa puluh tahun setelah Perang Dunia II, akibat kesibukan membangun kembali negara yang telah hancur, rakyat Jerman kurang berselera mempertanyakan pemerintah atau masa lalu. Namun pada 1970an, setelah pembangunan kembali selesai, generasi baru mulai meragukan para pendahulu mereka, yang memulai perang dan kemudian kalah. “Ada jiwa pemberontak yang muncul sebagai hasil dari Perang Dunia Kedua,” ujar Josef Pesch, pria berusia 50-an. “Anda tidak bisa begitu saja percaya pada pemerintah.”
Pesch duduk di sebuah restoran puncak gunung di Schwarzwald atau Hutan Hitam, di luar Freiburg. Di lahan terbuka berselimut salju di dekat situ, berdiri dua turbin angin setinggi 98 meter yang didanai oleh 521 investor perorangan rekrutan Pesch—namun kami belum akan membicarakan tentang turbin-turbin itu. Bersama seorang insinyur bernama Dieter Seifried, kami membahas tentang reaktor nuklir yang tidak akan pernah dibangun, di dekat Desa Wyhl, 30 kilometer dari Sungai Rhine.