Niat untuk Berubah

By , Senin, 2 November 2015 | 13:15 WIB

Hamburg sudah tahu bahwa serang­an bom akan datang, sehingga para tahanan perang dan pekerja paksa hanya diberi waktu setengah tahun untuk membangun bungker perlindungan raksasa. Pembangunan selesai pada Juli 1943. Kubus beton bertulang kokoh tanpa jendela, dengan tembok setebal dua meter dan atap jauh lebih tebal, menjulang bagaikan puri abad pertengahan di atas taman di dekat Sungai Elbe. Moncong-moncong senapan antipesawat yang menyembul dari keempat menaranya akan menyapu pesawat-pesawat pengebom Sekutu dari langit, sementara puluhan ribu penduduk akan ter­lindungi di balik temboknya yang mustahil ditembus.

Pesawat-pesawat pengebom Inggris, yang datang malam hari dari Laut Utara hanya beberapa pekan setelah pembangunan bung­ker selesai, mengincar menara St. Nikolai di pusat kota. Mereka menjatuhkan serpihan kertas timah bagaikan awan untuk mengelabui radar dan operator senapan anti pesawat Jerman. Menyasar wilayah permukiman padat, pesawat-pesawat pengebom itu memicu badai api dahsyat yang meluluhlantakkan Hamburg dan menewaskan lebih dari 34.000 jiwa.

Menara St. Nikolai, yang entah bagaimana tetap utuh, masih tegak hingga kini sebagai mahnmal—monumen untuk mengingatkan bangsa Jerman tentang neraka yang dihadirkan oleh Nazi. Bungker turut menjadi mahnmal. Namun, kini tempat itu memiliki makna baru: Bungker tersebut telah berubah fungsi, dari alat pengingat tentang masa lalu yang memalukan, menjadi visi yang penuh harapan.

Di tengah bungker, sebuah tangki air panas bertingkat enam dan berkapasitas dua juta liter menyalurkan kehangatan dan air panas ke sekitar 800 rumah di lingkungan itu. Air dipanaskan oleh pembakaran gas dari pengolahan limbah, panas yang terbuang dari pabrik di dekatnya, dan panel-panel surya yang menutupi atap bungker. Bungker itu juga mengubah sinar matahari menjadi listrik; perancah berlapis panel fotovoltaik (PV) di sisi selatannya menyalurkan cukup listrik untuk menyuplai seribu rumah. Di pelataran penghubung di bagian utaranya, tempat dahulu para operator senapan menyaksikan api membakar pusat kota, sebuah kafe terbuka menawarkan pemandangan kota yang telah berubah kepada para pelanggannya. Kini, 17 kincir angin berdiri di lanskap tersebut.

Jerman memelopori sebuah transformasi besar-besaran yang disebut energiewende—revolusi energi yang menurut para ilmuwan harus dilakukan oleh semua bangsa untuk menghindari bencana iklim. Di antara negara-negara industri besar lainnya, Jerman berada di tempat terdepan. Tahun lalu sekitar 27 persen listrik di Jerman berasal dari sumber terbarukan seperti angin dan sinar matahari, tiga kali lipat dari yang didapatkan satu dekade silam. Perubahan ini dipercepat setelah terjadi ledakan di pembangkit nuklir Fukushima di Jepang pada 2011, yang mendorong Kanselir Angela Merkel untuk mendeklarasikan penutupan ketujuh belas reaktornya pada 2022. Sembilan reaktor telah ditutup sejauh ini.

Yang menjadikan Jerman sangat penting bagi dunia, bagaimanapun, adalah pertanyaan apakah sumber energi terbarukan dapat ber­angsur-angsur menggantikan bahan bakar fosil. Pada akhir abad ini, menurut para ilmu­wan, emisi karbon yang memanaskan bumi harus jatuh hingga angka nol. Jerman, negara dengan tingkat ekonomi terbesar keempat di dunia, telah menjanjikan beberapa langkah pemotongan emisi paling agresif—pada 2020, penurunan 40 persen dari level yang ada pada 1990, dan pada 2050, setidaknya 80 persen.

Belum bisa dipastikan apakah janji itu akan terpenuhi. Revolusi Jerman berasal dari aktivis perorangan: Penduduk perorangan dan genossenschaften—asosiasi penduduk lokal—telah menyumbangkan setengah dari seluruh investasi di bidang sumber energi terbarukan. Tetapi, perusahaan-perusahaan konvensional besar, yang tidak siap mengikuti revolusi, menekan pemerintahan Merkel untuk memperlambat lajunya. Negara ini masih memperoleh jauh lebih banyak listrik dari batu bara daripada sumber energi terbarukan. Dan energiewende harus menempuh jalan yang jauh lebih panjang untuk bisa diterapkan di sektor transportasi dan pemanasan, yang menghasilkan lebih banyak karbon dioksida (CO2) daripada pembangkit listrik.

Para politisi Jerman kadang-kadang mem­bandingkan energiewende dengan pendaratan Apollo di bulan. Namun prestasi itu berhasil diraih dalam waktu kurang dari satu dekade, dan sebagian besar penduduk Amerika hanya menyaksikannya di TV. Energiewende membutuhkan waktu jauh lebih panjang dan akan melibatkan setiap penduduk Jerman—saat ini lebih dari 1,5 juta di antaranya, hampir 2 persen dari seluruh populasi, menjual kelebihan listrik yang dihasilkan di rumah mereka kepada orang lain. “Ini proyek untuk satu generasi; ini akan berlangsung hingga 2040 atau 2050, dan sulit dijalankan,” ujar Gerd Rosenkranz, mantan jurnalis Der Spiegel yang kini bekerja sebagai analis di Agora Energiewende, think thank Berlin. “Proyek ini menjadikan listrik lebih mahal bagi konsumen individu. Namun tetap saja, jika ada pertanyaan dalam jajak pendapat, Apakah Anda menginginkan energiewende? maka 90 persen akan menjawab ya.”

Mengapa masa depan energi terjadi di sini, di negara yang hancur lebur akibat bom 70 tahun silam? Dan bisakah ini terjadi di mana-mana?

Asal mula orang Jerman menurut mitos adalah sebagai berikut: Mereka datang dari jantung hutan yang gelap dan sulit ditembus. Mitos ini berawal dari ahli sejarah Romawi, Tacitus, yang menulis tentang pasukan Teutonik yang membantai legiun Romawi, dan dibumbui oleh gerakan Romantik Jerman pada abad ke-19. Selama gejolak yang melanda pada abad ke-20, menurut etnografer Albrecht Lehmann, mitos itu tetap dianggap penting bagi identitas bangsa Jerman. Hutan menjadi tempat yang dituju oleh orang Jerman untuk memulihkan jiwa—sebuah kebiasaan yang menyebabkan mereka peduli pada lingkungan.

Maka pada akhir 1970-an, ketika emisi bahan bakar fosil dituduh telah memusnahkan hutan-hutan di Jerman dengan hujan asam, amarah menjalar ke seluruh negeri. Ancaman waldsterben, atau kematian hutan, membuat mereka berpikir lebih keras.

Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar mendorong pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir—namun banyak penduduk Jerman menentangnya. Ini merupakan hal baru bagi mereka. Hingga beberapa puluh tahun setelah Perang Dunia II, akibat kesibukan membangun kembali negara yang telah hancur, rakyat Jerman kurang ber­selera mempertanyakan pemerintah atau masa lalu. Namun pada 1970an, setelah pem­bangunan kembali selesai, generasi baru mulai meragukan para pendahulu mereka, yang memulai perang dan kemudian kalah. “Ada jiwa pemberontak yang muncul sebagai hasil dari Perang Dunia Kedua,” ujar Josef Pesch, pria berusia 50-an. “Anda tidak bisa begitu saja percaya pada pemerintah.”

Pesch duduk di sebuah restoran puncak gunung di Schwarzwald atau Hutan Hitam, di luar Freiburg. Di lahan terbuka berselimut salju di dekat situ, berdiri dua turbin angin setinggi 98 meter yang didanai oleh 521 investor perorangan rekrutan Pesch—namun kami belum akan membicarakan tentang turbin-turbin itu. Bersama seorang insinyur bernama Dieter Seifried, kami membahas tentang reaktor nuklir yang tidak akan pernah dibangun, di dekat Desa Wyhl, 30 kilometer dari Sungai Rhine.

Pemerintah daerah berkeras akan membangun reaktor itu agar listrik di Freiburg tetap menyala. Namun sejak 1975, para petani dan pelajar setempat telah menduduki lokasi pembangunan. Dalam unjuk rasa yang berlangsung selama hampir satu dekade, mereka memaksa pemerintah untuk mengurungkan rencana itu. Untuk pertama kalinya di Jerman, pembangunan sebuah reaktor nuklir dihentikan.

Listrik tidak pernah padam, dan Freiburg menjadi kota surya. Cabang Fraunhofer Institute yang berlokasi di sana menjadi pemuka di dunia dalam riset tenaga surya. Permukiman Surya, yang dirancang oleh arsitek setempat, Rolf Disch, yang turut berperan aktif dalam unjuk rasa Wyhl, melibatkan 50 rumah yang semuanya memproduksi lebih banyak energi daripada yang mereka konsumsi. “Wyhl adalah titik awal,” ujar Seifried. Pada 1980, sebuah lembaga yang turut didirikan oleh Seifried menerbitkan makalah berjudul Energiewende—bakal nama gerakan yang saat itu belum lahir.

Penentangan terhadap pembangkit listrik tenaga nuklir, pada masa ketika hanya ada segelintir orang yang berbicara tentang perubahan iklim, jelas menjadi faktor penentu. Saya mendatangi Jerman dengan anggapan bahwa rakyat Jerman konyol karena meninggalkan sumber energi bebas-karbon yang, hingga peristiwa Fukushima, menghasilkan seperempat dari seluruh kebutuhan listrik mereka. Saya pulang dengan pikiran bahwa energiewende tidak akan pernah ada tanpa sentimen antinuklir—ketakutan akan ledakan jauh lebih dahsyat dan langsung menggerakkan, daripada ketakutan terhadap suhu dan permukaan laut yang perlahan-lahan terus meningkat.

Saya mendengar cerita yang sama di seluruh Jerman. Dari Disch, yang duduk di rumah silindernya sendiri, yang berputar mengikuti arah mentari seperti bunga matahari. Dari Rosenkranz di Berlin, yang pada 1980 meninggalkan kuliahnya di jurusan fisika selama berbulan-bulan untuk menduduki lokasi pembangunan penampungan limbah nuklir. Dan dari Wendelin Einsiedler, peternak sapi Bavaria yang membantu mengubah desanya menjadi dinamo hijau.

Mereka semua berpendapat bahwa Jerman harus meninggalkan pembangkit listrik tenaga nuklir dan bahan bakar fosil secara bersamaan. “Anda tidak akan bisa mengusir iblis dengan Beelzebub,” ujar Hans-Josef Fell, politisi ternama dari Partai Hijau. “Keduanya harus disingkirkan.” Peneliti energi Volker Quaschning menggambarkan: “Pembangkit listrik tenaga nuklir memengaruhi saya secara pribadi. Perubahan iklim memengaruhi anak-anak saya. Itulah perbedaannya.”

Ketika Partai Hijau Jerman dibentuk pada 1980, pasifisme dan oposisi terhadap kekuatan nuklir menjadi prinsip utama partai.

Pada 1983, untuk pertama kalinya perwakilan dari Partai Hijau berhasil memperoleh kursi di Bundestag, parlemen nasional Jerman, dan mulai menyuntikkan gagasan-gagasan hijau ke dalam arus utama politik. Ketika reaktor Soviet di Chernobyl meledak pada 1986, Partai Sosial Demokrat yang condong ke kiri, salah satu dari dua partai terbesar di Jerman, berbelok mendukung paham antinuklir. Walaupun Chernobyl berjarak lebih dari seribu kilometer, awan radioaktifnya melewati Jerman, dan para orangtua diimbau untuk melarang anak-anak mereka keluar rumah. Hingga kini jamur atau babi hutan dari Hutan Hitam belum selalu aman dimakan, ujar Pesch.

Namun dibutuhkan Fukushima, 25 tahun kemudian, untuk meyakinkan Merkel dan Partai Kristen Demokrat bahwa semua reaktor nuklir harus ditutup pada 2022. Pada saat itu energi dari sumber terbarukan semestinya sudah bisa diandalkan. Dan undang-undang yang turut dirancang oleh Hans-Josef Fell pada 2000 merupakan alasan utamanya.

Rumah Fell di Hammelburg, di bagian utara Bavaria tampak mencolok. Rumah itu terbuat dari kayu larch hitam, dengan atap rumput. Di sisi selatannya, menghadap ke halaman belakang, sebagian rumputnya tertutup oleh panel-panel fotovoltaik dan pemanas air tenaga surya. Jika tidak terdapat cukup sinar matahari untuk memproduksi listrik atau panas, sebuah kogenerator di ruang bawah tanah akan membakar minyak biji bunga matahari atau biji rapa untuk memproduksi keduanya. Pada suatu pagi di bulan Maret ketika saya berkunjung ke sana, interior rumah yang terbuat dari kayu bermandikan sinar matahari.

Bertubuh jangkung dalam balutan celana jeans dan sandal Birkenstock, berkepala lonjong dan berjanggut kelabu, Fell bukanlah orang yang percaya bahwa orang harus meninggalkan modernitas demi lingkungan. Pondok di halaman belakangnya, di dekat kolam renang, menaungi sauna, yang memperoleh daya dari listrik hijau yang juga memberikan daya ke rumah dan mobilnya. “Kesalahan terbesar gerakan lingkungan hidup adalah mengatakan, ‘Kurangi kegiatan. Kencangkan ikat pinggang. Kurangi konsumsi,’” kata Fell. ‘Jalankanlah aktivitasmu dengan cara berbeda, dengan listrik murah dari sumber terbarukan’—itulah pesannya.” Fell pun terpilih menjadi anggota dewan kota Hammelburg.

Pada 1990, tahun ketika Jerman secara resmi bersatu kembali—dan selagi seluruh negeri sibuk menjalankan tugas monumental itu, sebuah rancangan undang-undang untuk menggalakkan energiewende disahkan oleh Bundestag tanpa disadari banyak orang. Hanya sepanjang dua halaman, rancangan undang-undang itu menekankan satu prinsip krusial: Produsen listrik dari sumber terbarukan memiliki hak untuk menyalurkan listrik kepada pengguna jaringan listrik negara, dan perusahaan besar harus membayar mereka sesuai “tarif penyaluran.” Turbin-turbin angin mulai bermunculan di wilayah utara yang berangin.

Namun Fell, yang memasang panel-panel PV di atap rumahnya di Hammelburg, menyadari bahwa undang-undang baru tidak akan pernah memicu ledakan di seluruh negeri: Negara membayar rakyat untuk memproduksi energi, namun itu tidak cukup. Pada 1993 dia mendorong dewan kota untuk meloloskan peraturan yang mewajibkan perusahaan listrik setempat memberikan jaminan harga menguntungkan kepada produsen energi terbarukan. Fell segera mengorganisir asosiasi beranggota investor-investor lokal untuk mendirikan pembangkit listrik tenaga surya berkekuatan 15 kilowatt—kecil untuk standar saat ini, namun asosiasi ini menjadi salah satu pelopor. Sekarang terdapat ratusan asosiasi serupa di Jerman.

Pada 1998, Fell membawa kesuksesannya di Hammelburg ke Bundestag. Partai Hijau membentuk koalisi pemerintahan dengan Sosial Demokrat (SPD). Fell bekerja sama dengan Hermann Scheer, advokat ternama di bidang energi surya dari SPD, untuk merancang undang-undang yang pada 2000 membawa eksperimen Hammelburg ke seluruh negeri dan ditiru di seluruh dunia. Tarif penyaluran listrik dijamin hingga 20 tahun, dengan nominal tinggi.

“Prinsip dasar saya,” kata Fell, “adalah bayaran harus sangat tinggi agar investor mendapatkan untung. Bagaimanapun, kita hidup di pasar ekonomi. Ini logis.”

“Bahwa akibatnya bisa sebesar ini—saya tidak percaya ketika itu,” ujar peternak sapi Wendelin Einsiedler. Di luar ruang berjemurnya, yang menghadap ke Pegunungan Alpen, sembilan turbin angin berputar lambat di punggungan gunung, di belakang kandang sapi.

Einsiedler memulai energiewende pribadinya pada 1990an dengan satu turbin dan mesin fermentasi untuk menghasilkan gas metana dari kotoran ternak. Dia dan saudaranya, Ignaz, membakar metana di dalam kogenerator berkekuatan 28 kilowatt, menghasilkan panas dan listrik untuk peternakan mereka.

Saat ini mereka memiliki lima mesin fermentasi, yang memproses silase jagung selain kotoran ternak dari delapan peternakan sapi, dan menyalurkan biogas yang dihasilkan sejauh lima kilometer ke Desa Wildpoldsried. “Ini prinsip luar biasa, dan ini menghemat CO2 dalam jumlah besar,” kata Wali Kota Arno Zengerle menjelaskan.

Biogas, panel surya yang melapisi banyak atap, dan terutama turbin angin memungkinkan Wildpoldsried memproduksi listrik hampir lima kali lipat daripada yang dibutuhkan. Einsiedler mengelola turbin. Turbin angin menjadi tambahan dramatis dan terkadang kontroversial di lanskap Jerman. Namun, saat orang-orang bisa mendapatkan uang, kata Einsiedler, sikap mereka berubah.

Tidak sulit untuk membujuk para peternak dan pemilik rumah untuk memasang panel surya di atap mereka; tarif penyaluran listrik, yakni 50 sen per satu kilowatt-jam ketika proyek ini dimulai pada 2000, adalah harga yang bagus. Di puncak ledakan, pada 2012, panel PV berkekuatan 7,6 gigawatt dipasang di Jerman hanya dalam setahun—setara, jika matahari bersinar, dengan tujuh pembangkit listrik tenaga nuklir.

Undang-undang hasil pemikiran Fell, ketika itu, membantu menurunkan biaya tenaga surya dan angin, menjadikan harganya kompetitif dengan bahan bakar fosil di banyak wilayah. Salah satu tandanya: tarif fasilitas tenaga surya berskala besar baru di Jerman telah jatuh dari harga 50 sen euro per kilowatt-jam menjadi kurang dari 10. “Kami telah menciptakan situasi yang benar-benar baru dalam waktu 15 tahun—ini kesuksesan luar biasa undang-undang energi terbarukan,” kata Fell.

Pada pemilu 2013 Fell kehilangan kursi di Bundestag. Dia sudah kembali ke Hammelburg, namun dia tidak harus melihat asap yang mengepul dari Grafenrheinfeld lagi: Juni lalu, reaktor itu menjadi yang terakhir ditutup. Tidak seorang pun, bahkan para pelaku industri, berpikir nuklir akan kembali digunakan.

Jerman memperoleh 44 persen listriknya dari batu bara tahun lalu—18 persen dari batu bara keras, yang sebagian besar merupakan hasil impor, dan sekitar 26 persen dari lignit, atau batu bara muda. Penggunaan batu bara keras telah jauh berkurang sejak dua dekade silam, namun lain halnya dengan penggunaan lignit. Itulah alasan utama mengapa Jerman belum siap memenuhi target emisi gas rumah kacanya pada 2020.

Jerman adalah produsen lignit terdepan di dunia. Lignit mengeluarkan emisi CO2 jauh lebih banyak daripada batu bara keras, namun harganya paling murah di antara bahan bakar fosil lainnya—lebih murah dari batu bara keras, yang lebih murah dari gas alam. Idealnya, untuk mengurangi emisi, Jerman seharusnya menggantikan lignit dengan gas. Namun sementara energi terbarukan membanjiri jaringan listrik, hal lain terjadi: Di pasar grosir, tempat kontrak jual beli listrik dijalankan, harga listrik anjlok, sehingga pembangkit listrik tenaga gas dan terkadang bahkan pembangkit listrik yang membakar batu bara keras terlempar dari pasar. Pembangkit-pembangkit listrik tua yang menggunakan lignit terus bekerja dengan kekuatan penuh, 24/7, sementara pembangkit-pembangkit listrik modern yang menggunakan gas, dengan emisi yang hanya setengahnya, justru menganggur.

“Tentu saja kami harus mencari jalan untuk menyingkirkan batu bara—ini sangat jelas,” kata Jochen Flasbarth, sekretaris negara  di kementrian lingkungan hidup. “Namun ini cukup sulit. Kami bukan negara yang sangat kaya sumber daya, dan satu-satunya sumber daya yang kami miliki adalah lignit.”

Mengurangi penggunaan lignit lebih sulit akibat fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar di Jerman menangguk kerugian akhir-akhir ini—gara-gara energiewende, menurut mereka. Gara-gara kegagalan mereka untuk beradaptasi dengan energiewende, menurut para kritikus mereka. E.ON, perusahaan terbesar pemilik Grafenrheinfeld dan pembangkit-pembangkit listrik lainnya, menyatakan kerugian sebesar lebih dari tiga miliar euro atau 49 triliun rupiah tahun lalu.

“Perusahaan-perusahaan di Jerman memiliki satu strategi,” kata Flasbarth, “yakni mempertahankan jalan mereka—nuklir plus fosil. Mereka tidak punya strategi B.” Saat ini mereka sedang mengejar-ngejar kereta energiewende yang sudah meninggalkan stasiun. E.ON terbagi menjadi dua perusahaan, yang satu berfokus pada batu bara, gas, dan nuklir, yang lain pada sumber energi terbarukan. CEO mereka, yang dahulu mengkritik energiewende, mendukung energi terbarukan.

Vattenfall, perusahaan milik Swedia yang menjadi salah satu dari empat perusahaan besar di Jerman, sedang mengupayakan evolusi serupa. “Kami adalah teladan untuk energiewende,” ujar juru bicara Lutz Wiese dengan penuh semangat saat menyapa saya di Welzow-Süd—pertambangan terbuka di perbatasan Polandia yang memproduksi 20 juta ton lignit per tahun.

Saat itu hari yang cerah pada musim semi; satu-satunya awan yang terlihat oleh kami adalah asap yang perlahan-lahan mengepul dari pembangkit listrik berkekuatan 1,6 gigawatt di Schwarze Pumpe, yang membakar sebagian besar lignit yang ditambang di Welzow-Süd. Di ruang rapat, Olaf Adermann, manajer aset operasi lignit Vattenfall, menjelaskan bahwa Vattenfall dan perusahaan-perusahaan lainnya tidak pernah mengira energi terbarukan akan berkembang sepesat itu.

“Kami harus menghadapi semacam pembersihan pasar,” kata Adermann. Tetapi lignit seharusnya tidak disingkirkan, dia berkeras: Lignit adalah “mitra yang fleksibel dan bisa diandalkan” ketika matahari tidak bersinar dan angin tidak bertiup. Adermann meramalkan bahwa mereka akan terus bertahan hingga 2050—mungkin lebih lama.

Vattenfall, bagaimanapun, berencana menjual bisnis lignitnya, jika mereka bisa menemukan pembeli, dan memfokuskan diri pada energi terbarukan. Mereka telah menanamkan modal sebesar milyaran euro di dua taman angin lepas pantai di Laut Utara—karena ada lebih banyak angin di lepas pantai daripada di darat dan karena perusahaan besar membutuhkan proyek besar untuk memperoleh dana. Vattenfall tidak sendirian: Ledakan energi terbarukan telah menjalar ke Laut Utara dan Baltik dan, ke semakin banyak perusahaan besar. Pemerintahan Merkel mendorong pergeseran ini, membatasi pembangunan fasilitas surya dan angin lepas pantai dan mengubah peraturan, dengan akibat tersingkirnya asosiasi perorangan. Para kritikus berpendapat pemerintah membantu perusahaan-perusahaan besar namun mengabaikan gerakan rakyat yang memulai energiewende.

Pada akhir April, Vattenfall secara formal meresmikan taman angin pertamanya di Laut Utara Jerman, sebuah proyek dengan 80 turbin bernama DanTysk yang terletak sekitar 80 kilometer di tengah laut. Upacara di sebuah ruang dansa di Hamburg turut dirayakan di Kota Munich. Perusahaan dari kota itu, Stadtwerke München, memiliki 49 persen dari proyek ini. Sebagai hasilnya, Munich kini memproduksi cukup listrik terbarukan untuk menyuplai rumah tangga, jalur kereta bawah tanah, dan jalur trem. Kota ini berencana memenuhi semua kebutuhan listriknya dengan energi terbarukan pada 2025.

Karena banyaknya industri besar di sana, Jerman memiliki emisi karbon per kapita tertinggi di Eropa bagian barat. (Sedikit lebih tinggi dari setengah emisi A.S.) Target pada 2020 adalah memotong 40 persen angka emisi pada 1990. Tahun lalu, Jerman telah berhasil mencapai 27 persen.

Walaupun Jerman belum siap untuk memenuhi targetnya pada 2020, mereka telah mendahului jadwal Uni Eropa. Jerman bisa saja mengikuti jadwal EU—dan banyak rekan sejawat Merkel di CDU yang memintanya melakukan itu. Tetapi Merkel dan Menteri Ekonomi Sigmar Gabriel, ketua SPD, menegaskan kembali komitmen 40 persen mereka musim gugur lalu.

Bagaimanapun, belum ada bukti bahwa mereka akan bisa memenuhi target itu. Pemerintah mengalah, dan membayar perusahaan-perusahaan itu untuk menutup beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara—memenuhi setengah target pemotongan emisi. Agar energiewende berhasil, Jerman harus berbuat jauh lebih banyak.

Mereka juga harus meninggalkan bensin dan diesel. Sektor transportasi memproduksi sekitar 17 persen emisi di Jerman. Sebagaimana perusahaan-perusahaan listrik, pabrik-pabrik mobil ternama—Mercedes-Benz, BMW, Volkswagen, dan Audi—terlambat menerapkan energiewende. Namun saat ini mereka telah menawarkan lebih dari dua puluh model mobil listrik. Pemerintah menargetkan satu juta mobil listrik di jalan pada 2020; sejauh ini telah ada sekitar 40.000. Masalah mendasarnya, mobil listrik masih terlalu mahal untuk rata-rata penduduk Jerman, dan pemerintah belum secara serius menawarkan insentif bagi warga yang membelinya.

Keadaan yang kurang lebih sama terjadi di sektor bangunan, yang sistem pemanasnya mengemisi 30 persen gas rumah kaca Jerman.

Di seluruh Jerman, bangunan-bangunan tua dilapisi busa insulasi setebal 15 cm dan jendela-jendelanya diganti dengan yang bergaya modern. Kendati begitu hanya satu persen bangunan tua direnovasi setiap tahun. Agar semua bangunan mendekati kondisi netral iklim atau 100 persen menggunakan energi terbarukan pada 2050—target pemerintah—kecepatan pemugaran paling tidak harus dilipatgandakan.

“Setelah fukushima, untuk waktu singkat terdapat aufbruchstimmung—euforia nyata selama sekitar setengah tahun,” kata Gerd Rosenkranz. Aufbruchstimmung kira-kira bermakna “kegembiraan di awal perjalanan”; itulah yang dirasakan seorang jerman ketika hendak berjalan-jalan di hutan, misalnya, bersama teman-teman. Setelah semua partai di Jerman sepakat, kata Rosenkranz, energiewende terasa seperti itu. Namun perasaan itu tidak bertahan lama. Kepentingan ekonomi saling bertabrakan saat ini.

Tetapi ada satu hal tentang orang Jerman: Mereka menyadari bahwa energiewende tidak akan menyerupai jalan-jalan di hutan, namun mereka tetap melakukannya. Apakah yang bisa kita pelajari dari mereka?  Kita bisa terinspirasi untuk berpikir bahwa energiewende mungkin diterapkan di negara-negara lain.

Dalam esai barunya, William Nordhaus, ahli ekonomi dari Yale yang telah berpuluh-puluh tahun meneliti masalah penanganan perubahan iklim, mengidentifikasi apa yang dianggapnya sebagai inti permasalahan: orang-orang yang menolak perubahan. Karena ini telah menjadi masalah global, dan setiap tindakan membutuhkan biaya mahal, negara mana pun bisa saja memilih untuk tidak berbuat apa-apa dan hanya mengandalkan aksi dari negara lain. Meskipun kebanyakan negara memilih untuk mengambil sikap itu, Jerman bersikap lain: Mereka telah berada jauh di depan. Dan dengan begitu, mereka menjadikan perjalanan ini lebih mudah bagi kita semua.