Niat untuk Berubah

By , Senin, 2 November 2015 | 13:15 WIB

Mengurangi penggunaan lignit lebih sulit akibat fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar di Jerman menangguk kerugian akhir-akhir ini—gara-gara energiewende, menurut mereka. Gara-gara kegagalan mereka untuk beradaptasi dengan energiewende, menurut para kritikus mereka. E.ON, perusahaan terbesar pemilik Grafenrheinfeld dan pembangkit-pembangkit listrik lainnya, menyatakan kerugian sebesar lebih dari tiga miliar euro atau 49 triliun rupiah tahun lalu.

“Perusahaan-perusahaan di Jerman memiliki satu strategi,” kata Flasbarth, “yakni mempertahankan jalan mereka—nuklir plus fosil. Mereka tidak punya strategi B.” Saat ini mereka sedang mengejar-ngejar kereta energiewende yang sudah meninggalkan stasiun. E.ON terbagi menjadi dua perusahaan, yang satu berfokus pada batu bara, gas, dan nuklir, yang lain pada sumber energi terbarukan. CEO mereka, yang dahulu mengkritik energiewende, mendukung energi terbarukan.

Vattenfall, perusahaan milik Swedia yang menjadi salah satu dari empat perusahaan besar di Jerman, sedang mengupayakan evolusi serupa. “Kami adalah teladan untuk energiewende,” ujar juru bicara Lutz Wiese dengan penuh semangat saat menyapa saya di Welzow-Süd—pertambangan terbuka di perbatasan Polandia yang memproduksi 20 juta ton lignit per tahun.

Saat itu hari yang cerah pada musim semi; satu-satunya awan yang terlihat oleh kami adalah asap yang perlahan-lahan mengepul dari pembangkit listrik berkekuatan 1,6 gigawatt di Schwarze Pumpe, yang membakar sebagian besar lignit yang ditambang di Welzow-Süd. Di ruang rapat, Olaf Adermann, manajer aset operasi lignit Vattenfall, menjelaskan bahwa Vattenfall dan perusahaan-perusahaan lainnya tidak pernah mengira energi terbarukan akan berkembang sepesat itu.

“Kami harus menghadapi semacam pembersihan pasar,” kata Adermann. Tetapi lignit seharusnya tidak disingkirkan, dia berkeras: Lignit adalah “mitra yang fleksibel dan bisa diandalkan” ketika matahari tidak bersinar dan angin tidak bertiup. Adermann meramalkan bahwa mereka akan terus bertahan hingga 2050—mungkin lebih lama.

Vattenfall, bagaimanapun, berencana menjual bisnis lignitnya, jika mereka bisa menemukan pembeli, dan memfokuskan diri pada energi terbarukan. Mereka telah menanamkan modal sebesar milyaran euro di dua taman angin lepas pantai di Laut Utara—karena ada lebih banyak angin di lepas pantai daripada di darat dan karena perusahaan besar membutuhkan proyek besar untuk memperoleh dana. Vattenfall tidak sendirian: Ledakan energi terbarukan telah menjalar ke Laut Utara dan Baltik dan, ke semakin banyak perusahaan besar. Pemerintahan Merkel mendorong pergeseran ini, membatasi pembangunan fasilitas surya dan angin lepas pantai dan mengubah peraturan, dengan akibat tersingkirnya asosiasi perorangan. Para kritikus berpendapat pemerintah membantu perusahaan-perusahaan besar namun mengabaikan gerakan rakyat yang memulai energiewende.

Pada akhir April, Vattenfall secara formal meresmikan taman angin pertamanya di Laut Utara Jerman, sebuah proyek dengan 80 turbin bernama DanTysk yang terletak sekitar 80 kilometer di tengah laut. Upacara di sebuah ruang dansa di Hamburg turut dirayakan di Kota Munich. Perusahaan dari kota itu, Stadtwerke München, memiliki 49 persen dari proyek ini. Sebagai hasilnya, Munich kini memproduksi cukup listrik terbarukan untuk menyuplai rumah tangga, jalur kereta bawah tanah, dan jalur trem. Kota ini berencana memenuhi semua kebutuhan listriknya dengan energi terbarukan pada 2025.

Karena banyaknya industri besar di sana, Jerman memiliki emisi karbon per kapita tertinggi di Eropa bagian barat. (Sedikit lebih tinggi dari setengah emisi A.S.) Target pada 2020 adalah memotong 40 persen angka emisi pada 1990. Tahun lalu, Jerman telah berhasil mencapai 27 persen.

Walaupun Jerman belum siap untuk memenuhi targetnya pada 2020, mereka telah mendahului jadwal Uni Eropa. Jerman bisa saja mengikuti jadwal EU—dan banyak rekan sejawat Merkel di CDU yang memintanya melakukan itu. Tetapi Merkel dan Menteri Ekonomi Sigmar Gabriel, ketua SPD, menegaskan kembali komitmen 40 persen mereka musim gugur lalu.

Bagaimanapun, belum ada bukti bahwa mereka akan bisa memenuhi target itu. Pemerintah mengalah, dan membayar perusahaan-perusahaan itu untuk menutup beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara—memenuhi setengah target pemotongan emisi. Agar energiewende berhasil, Jerman harus berbuat jauh lebih banyak.

Mereka juga harus meninggalkan bensin dan diesel. Sektor transportasi memproduksi sekitar 17 persen emisi di Jerman. Sebagaimana perusahaan-perusahaan listrik, pabrik-pabrik mobil ternama—Mercedes-Benz, BMW, Volkswagen, dan Audi—terlambat menerapkan energiewende. Namun saat ini mereka telah menawarkan lebih dari dua puluh model mobil listrik. Pemerintah menargetkan satu juta mobil listrik di jalan pada 2020; sejauh ini telah ada sekitar 40.000. Masalah mendasarnya, mobil listrik masih terlalu mahal untuk rata-rata penduduk Jerman, dan pemerintah belum secara serius menawarkan insentif bagi warga yang membelinya.

Keadaan yang kurang lebih sama terjadi di sektor bangunan, yang sistem pemanasnya mengemisi 30 persen gas rumah kaca Jerman.

Di seluruh Jerman, bangunan-bangunan tua dilapisi busa insulasi setebal 15 cm dan jendela-jendelanya diganti dengan yang bergaya modern. Kendati begitu hanya satu persen bangunan tua direnovasi setiap tahun. Agar semua bangunan mendekati kondisi netral iklim atau 100 persen menggunakan energi terbarukan pada 2050—target pemerintah—kecepatan pemugaran paling tidak harus dilipatgandakan.

“Setelah fukushima, untuk waktu singkat terdapat aufbruchstimmung—euforia nyata selama sekitar setengah tahun,” kata Gerd Rosenkranz. Aufbruchstimmung kira-kira bermakna “kegembiraan di awal perjalanan”; itulah yang dirasakan seorang jerman ketika hendak berjalan-jalan di hutan, misalnya, bersama teman-teman. Setelah semua partai di Jerman sepakat, kata Rosenkranz, energiewende terasa seperti itu. Namun perasaan itu tidak bertahan lama. Kepentingan ekonomi saling bertabrakan saat ini.

Tetapi ada satu hal tentang orang Jerman: Mereka menyadari bahwa energiewende tidak akan menyerupai jalan-jalan di hutan, namun mereka tetap melakukannya. Apakah yang bisa kita pelajari dari mereka?  Kita bisa terinspirasi untuk berpikir bahwa energiewende mungkin diterapkan di negara-negara lain.

Dalam esai barunya, William Nordhaus, ahli ekonomi dari Yale yang telah berpuluh-puluh tahun meneliti masalah penanganan perubahan iklim, mengidentifikasi apa yang dianggapnya sebagai inti permasalahan: orang-orang yang menolak perubahan. Karena ini telah menjadi masalah global, dan setiap tindakan membutuhkan biaya mahal, negara mana pun bisa saja memilih untuk tidak berbuat apa-apa dan hanya mengandalkan aksi dari negara lain. Meskipun kebanyakan negara memilih untuk mengambil sikap itu, Jerman bersikap lain: Mereka telah berada jauh di depan. Dan dengan begitu, mereka menjadikan perjalanan ini lebih mudah bagi kita semua.