Pemerintah daerah berkeras akan membangun reaktor itu agar listrik di Freiburg tetap menyala. Namun sejak 1975, para petani dan pelajar setempat telah menduduki lokasi pembangunan. Dalam unjuk rasa yang berlangsung selama hampir satu dekade, mereka memaksa pemerintah untuk mengurungkan rencana itu. Untuk pertama kalinya di Jerman, pembangunan sebuah reaktor nuklir dihentikan.
Listrik tidak pernah padam, dan Freiburg menjadi kota surya. Cabang Fraunhofer Institute yang berlokasi di sana menjadi pemuka di dunia dalam riset tenaga surya. Permukiman Surya, yang dirancang oleh arsitek setempat, Rolf Disch, yang turut berperan aktif dalam unjuk rasa Wyhl, melibatkan 50 rumah yang semuanya memproduksi lebih banyak energi daripada yang mereka konsumsi. “Wyhl adalah titik awal,” ujar Seifried. Pada 1980, sebuah lembaga yang turut didirikan oleh Seifried menerbitkan makalah berjudul Energiewende—bakal nama gerakan yang saat itu belum lahir.
Penentangan terhadap pembangkit listrik tenaga nuklir, pada masa ketika hanya ada segelintir orang yang berbicara tentang perubahan iklim, jelas menjadi faktor penentu. Saya mendatangi Jerman dengan anggapan bahwa rakyat Jerman konyol karena meninggalkan sumber energi bebas-karbon yang, hingga peristiwa Fukushima, menghasilkan seperempat dari seluruh kebutuhan listrik mereka. Saya pulang dengan pikiran bahwa energiewende tidak akan pernah ada tanpa sentimen antinuklir—ketakutan akan ledakan jauh lebih dahsyat dan langsung menggerakkan, daripada ketakutan terhadap suhu dan permukaan laut yang perlahan-lahan terus meningkat.
Saya mendengar cerita yang sama di seluruh Jerman. Dari Disch, yang duduk di rumah silindernya sendiri, yang berputar mengikuti arah mentari seperti bunga matahari. Dari Rosenkranz di Berlin, yang pada 1980 meninggalkan kuliahnya di jurusan fisika selama berbulan-bulan untuk menduduki lokasi pembangunan penampungan limbah nuklir. Dan dari Wendelin Einsiedler, peternak sapi Bavaria yang membantu mengubah desanya menjadi dinamo hijau.
Mereka semua berpendapat bahwa Jerman harus meninggalkan pembangkit listrik tenaga nuklir dan bahan bakar fosil secara bersamaan. “Anda tidak akan bisa mengusir iblis dengan Beelzebub,” ujar Hans-Josef Fell, politisi ternama dari Partai Hijau. “Keduanya harus disingkirkan.” Peneliti energi Volker Quaschning menggambarkan: “Pembangkit listrik tenaga nuklir memengaruhi saya secara pribadi. Perubahan iklim memengaruhi anak-anak saya. Itulah perbedaannya.”
Ketika Partai Hijau Jerman dibentuk pada 1980, pasifisme dan oposisi terhadap kekuatan nuklir menjadi prinsip utama partai.
Pada 1983, untuk pertama kalinya perwakilan dari Partai Hijau berhasil memperoleh kursi di Bundestag, parlemen nasional Jerman, dan mulai menyuntikkan gagasan-gagasan hijau ke dalam arus utama politik. Ketika reaktor Soviet di Chernobyl meledak pada 1986, Partai Sosial Demokrat yang condong ke kiri, salah satu dari dua partai terbesar di Jerman, berbelok mendukung paham antinuklir. Walaupun Chernobyl berjarak lebih dari seribu kilometer, awan radioaktifnya melewati Jerman, dan para orangtua diimbau untuk melarang anak-anak mereka keluar rumah. Hingga kini jamur atau babi hutan dari Hutan Hitam belum selalu aman dimakan, ujar Pesch.
Namun dibutuhkan Fukushima, 25 tahun kemudian, untuk meyakinkan Merkel dan Partai Kristen Demokrat bahwa semua reaktor nuklir harus ditutup pada 2022. Pada saat itu energi dari sumber terbarukan semestinya sudah bisa diandalkan. Dan undang-undang yang turut dirancang oleh Hans-Josef Fell pada 2000 merupakan alasan utamanya.
Rumah Fell di Hammelburg, di bagian utara Bavaria tampak mencolok. Rumah itu terbuat dari kayu larch hitam, dengan atap rumput. Di sisi selatannya, menghadap ke halaman belakang, sebagian rumputnya tertutup oleh panel-panel fotovoltaik dan pemanas air tenaga surya. Jika tidak terdapat cukup sinar matahari untuk memproduksi listrik atau panas, sebuah kogenerator di ruang bawah tanah akan membakar minyak biji bunga matahari atau biji rapa untuk memproduksi keduanya. Pada suatu pagi di bulan Maret ketika saya berkunjung ke sana, interior rumah yang terbuat dari kayu bermandikan sinar matahari.
Bertubuh jangkung dalam balutan celana jeans dan sandal Birkenstock, berkepala lonjong dan berjanggut kelabu, Fell bukanlah orang yang percaya bahwa orang harus meninggalkan modernitas demi lingkungan. Pondok di halaman belakangnya, di dekat kolam renang, menaungi sauna, yang memperoleh daya dari listrik hijau yang juga memberikan daya ke rumah dan mobilnya. “Kesalahan terbesar gerakan lingkungan hidup adalah mengatakan, ‘Kurangi kegiatan. Kencangkan ikat pinggang. Kurangi konsumsi,’” kata Fell. ‘Jalankanlah aktivitasmu dengan cara berbeda, dengan listrik murah dari sumber terbarukan’—itulah pesannya.” Fell pun terpilih menjadi anggota dewan kota Hammelburg.
Pada 1990, tahun ketika Jerman secara resmi bersatu kembali—dan selagi seluruh negeri sibuk menjalankan tugas monumental itu, sebuah rancangan undang-undang untuk menggalakkan energiewende disahkan oleh Bundestag tanpa disadari banyak orang. Hanya sepanjang dua halaman, rancangan undang-undang itu menekankan satu prinsip krusial: Produsen listrik dari sumber terbarukan memiliki hak untuk menyalurkan listrik kepada pengguna jaringan listrik negara, dan perusahaan besar harus membayar mereka sesuai “tarif penyaluran.” Turbin-turbin angin mulai bermunculan di wilayah utara yang berangin.
Namun Fell, yang memasang panel-panel PV di atap rumahnya di Hammelburg, menyadari bahwa undang-undang baru tidak akan pernah memicu ledakan di seluruh negeri: Negara membayar rakyat untuk memproduksi energi, namun itu tidak cukup. Pada 1993 dia mendorong dewan kota untuk meloloskan peraturan yang mewajibkan perusahaan listrik setempat memberikan jaminan harga menguntungkan kepada produsen energi terbarukan. Fell segera mengorganisir asosiasi beranggota investor-investor lokal untuk mendirikan pembangkit listrik tenaga surya berkekuatan 15 kilowatt—kecil untuk standar saat ini, namun asosiasi ini menjadi salah satu pelopor. Sekarang terdapat ratusan asosiasi serupa di Jerman.