Perempuan Paling Berpengaruh di Dunia

By , Senin, 23 November 2015 | 06:00 WIB

Menurut Alkitab, Maria tinggal di Nazaret ketika bangsa Romawi menguasai wilayah Yahudi. Setelah Maria mengandung, tunangannya, Yusuf, seorang tukang kayu, mempertimbangkan untuk meninggalkannya sampai malaikat mendatanginya dalam mimpi dan melarangnya. Kelahiran Yesus hanya diceritakan dalam dua Injil, Lukas dan Matius. Markus dan Yohanes menyebut ibu Yesus beberapa kali.

Para Penginjil ini menulis 40-65 tahun setelah kematian Kristus dan bukan biografer, kata Pastor Bertrand Buby, penulis kajian tiga jilid, Mary of Galilee. Dia juga anggota terpandang staf pengajar di International Marian Research Institute di University of Dayton, di Ohio. “Jadi, jangan mengharapkan Injil memuat semua unsur tentang Maria. Kehidupannya diketahui dari kabar angin.”

Beberapa kajian terbaru tentang Maria berfokus pada dirinya sebagai seorang ibu Yahudi. María Enriqueta García, dalam disertasinya, menjelaskan bahwa Maria membawa umat Kristen kepada Yesus, yaitu terang dunia, sebagaimana ibu-ibu Yahudi menyalakan lilin Sabat. “Kita melihat hubungan Maria dengan kita bukan hubungan biasa—ini suci.” Pada milenium pertama, seiring agama Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi dan mulai menyebar ke Eropa, Maria biasanya ditampilkan sebagai sosok bangsawan, setara dengan kaisar, didandani dengan warna ungu ningrat dan emas. Pada milenium kedua, mulai pada abad ke-12, kata sejarawan abad pertengahan Miri Rubin dari Queen Mary University of London, “dia mengalami pergeseran dramatis,” berevolusi menjadi sosok ibu yang lebih lembut, baik hati, dan dekat dengan umat. Dia menjadi pengganti ibu di biara dan susteran, yang menerima banyak anggota baru berusia belia. “Kasih ibu,” kata Rubin, “mencerminkan esensi kisah religi ini.”

Karena begitu sedikit yang diketahui tentang Maria dari Alkitab, “kita dapat memproyeksikan nilai budaya apa pun kepadanya,” kata Amy-Jill Levine, profesor kajian Yahudi dan Perjanjian Baru di Vanderbilt University. “Ciptaan budaya,” menurut Rubin. Levine menambahkan, “Dia bisa menjadi ibu yang berduka, perawan muda, sosok dewi. Sebagaimana Yesus adalah lelaki ideal, Maria adalah perempuan ideal.”

Pada masa Reformasi (1517-1648), konsep Maria sebagai perantara tak lagi populer di tengah umat Protestan, yang menganjurkan berdoa langsung kepada Tuhan. Namun, Maria memperoleh jutaan penganut Katolik baru dari penaklukan Dunia Baru oleh Spanyol pada awal 1500-an—dan lebih belakangan, di Afrika seiring tersebarnya agama Kristen di sana.

!break!

Kibeho, kota kecil di Rwanda selatan, diingat sebagai tempat Perawan Maria menampakkan diri kepada tiga anak perempuan. Ia meramalkan darah dan kengerian genosida yang akan mengoyak pada 1994. Inilah saat suku mayoritas Hutu menyerang suku minoritas Tutsi dan lebih dari 800.000 orang dibantai dalam tiga bulan.

Pada Maret 1982 uskup setempat meminta Venant Ntabomvura, seorang dokter, untuk mengunjungi sekolah asrama putri di lereng bukit di Kibeho. Dia diminta menyelidiki tiga murid yang melaporkan penampakan dan percakapan dengan Perawan Maria. Menurut Ntabomvura, yang kini masih praktik pada usia 89 tahun, Alphonsine Mumureke pertama kali bercerita tentang penampakan pada November 1981. Selama penampakan, kata Ntabomvura, “Alphonsine berbicara dengan orang persis seperti sedang berbicara di telepon.”

Maria mula-mula menampakkan diri kepada Alphonsine, lalu kepada Anathalie Mukamazimpaka, disusul kepada Marie Claire Mukangango. Kata anak-anak itu, mereka berbincang berjam-jam dengan sang Perawan, yang menyebut dirinya Nyina wa Jambo, Bunda Sang Firman. Maria sering berbicara kepada mereka, sehingga memanggilnya Mama.

Saya menemui Anathalie suatu petang di rumah yang sederhana di dekat sekolah lamanya, dikelilingi rosario dan patung sang Perawan.

“Pertama kali dia muncul,” kata Anathalie, “saya sedang berdoa rosario, lalu dia memanggil nama saya. Saya mendengar dia berkata, ‘Nathalie, anakku.’  Dia tidak pernah memberitahukan mengapa dia memilih saya. Katanya dia muncul kepada siapa pun yang dia mau, kapan pun dia mau, di mana pun dia mau.”  Dia tidak pernah menyebut agama tertentu, kata Anathalie. “Dia hanya meminta kami mengasihinya sebesar dia mengasihi kami.”

Ramalan mengerikan Maria diturunkan pada suatu hari pada 1982 yang dikira semua orang akan sangat bahagia: 15 Agustus, Perayaan Pengangkatan Maria ke surga. Ntabomvura hadir di sana, juga Gaspard Garuka, yang tinggal di dekat situ. Ketiga anak itu menangis karena kata mereka, sang Perawan juga berlinang air mata, ujar Garuka. Dia ingat bahwa Alphonsine “terjatuh berkali-kali karena yang disaksikannya amat mengerikan. Dia bahkan meminta, ‘Tolong, sembunyikan ini dari mata saya.’”

Menurut Anathalie, ramalan Maria “sama persis dengan yang saya lihat” 12 tahun kemudian. “Orang membunuh dengan tombak, api berkobar, tengkorak dan kepala orang terpenggal. Saya melihat kuburan massal dikelilingi kegelapan pekat, darah mengalir di mana-mana seperti sungai.”  Anathalie berhasil lari dari Rwanda ke Republik Demokratik Kongo, lalu ke Kenya. Alphonsine menjadi suster biara di Italia. Marie Claire terbunuh dalam genosida itu. Pada 2001, Uskup Augustin Misago dari Rwanda dan Vatikan menyatakan bahwa, ya, Perawan Maria pernah muncul di Kibeho.