Saya menepi dari jalan raya, pada sebuah kemah di hutan tempat para peziarah tidur malam hari. Musik mariachi membahana. Seorang relawan bercerita bahwa menjelang Perayaan Guadalupe, mereka memberi makan 5.000 peziarah per hari di sini.
Empat generasi perempuan dari satu keluarga berkata bahwa mereka berjalan sepuluh jam sehari dari kota Papalotla, di negara bagian Tlaxcala, tetapi bermalam di truk keluarga, yang dikemudikan oleh kerabat lelaki. Seorang nenek 77 tahun menempuh perjalanan dari Santa María, di negara bagian Puebla, bersama cucu lelakinya berusia 19 tahun. Seorang sopir truk yang datang dari California setiap tahun berkata begini: “Semua orang wajib menjenguk ibunya.”
Esok paginya saat saya tiba di alun-alun di depan basilika, arus deras orang segala usia. Alejandra Anai Hernán de Romero, ibu 18 tahun yang menggendong bayi tujuh bulan yang sakit, Dieguito, lahir dengan gagal fungsi ginjal. Ia berjalan berlutut melintasi alun-alun, baru berdiri saat masuk ke basilika. Banyak yang pipinya dibasahi air mata. Sebagian besar menyatakan bahwa mereka datang untuk mengucap syukur: Mereka berjanji kepada sang Perawan, dan dia menjawab doa mereka.
Di dalam basilika, di balik altar utama, dilindungi kaca, tergantung gambar kain asli Perawan Maria dari Guadalupe, memusatkan perhatian penuh orang-orang beriman, yang bergerak melewatinya. Menurut legenda yang diterima oleh gereja, pada 1531 sang Perawan dari Guadalupe berbicara dalam bahasa Nahuatl (bahasa bangsa Aztek) kepada Juan Diego, orang Indian yang sudah dibaptis dan dinyatakan sebagai santo pada 2002. Sang Perawan mendesaknya memberi tahu uskup bahwa dia ingin dibangunkan gereja di tempat itu, Bukit Tepeyac, yang pernah menjadi tempat untuk memuja dewi bumi Aztek.
Juan Diego tidak terlalu berhasil membujuk uskup, yang ingin semacam pertanda. Maria menyuruh Juan Diego mendaki bukit itu, memetik beberapa bunga, dan menyerahkannya kepada uskup. Bunga tidak pernah mekar di sana pada bulan Desember, tetapi Juan Diego dapat mengumpulkan satu karangan mawar indah, yang disimpannya di dalam lipatan tilma, yang diyakini dianyam dari serat agave. Saat dia akhirnya berhasil menemui uskup dan membuka jubahnya, mawar itu berjatuhan, menampakkan gambar Maria dari Guadalupe. Hanya sekali inilah Maria konon meninggalkan lukisan dirinya sendiri.
Banyak sejarawan seni memandang ini sebagai gambar Maria bergaya Eropa standar, khas abad ke-16. Namun, dalam beberapa dasawarsa terakhir, beberapa cendekiawan gereja mulai menafsirkan citra visual itu sebagai perpaduan ikonografi Katolik dan hal yang dipandang sebagai ikonografi Aztek. Menurut penafsiran baru ini, orang Indian buta huruf akan langsung mampu membaca simbol-simbolnya sebagai katekismus nonverbal.
Luar biasanya, gambar itu tidak rusak, menurut gereja, meskipun kain itu tergantung di basilika tanpa perlindungan selama lebih dari seabad, rentan terhadap kotoran dan asap. “Dia tercetak seperti foto,” kata Nydia Mirna Rodríguez Alatorre, direktur museum basilika itu. Ia menjelaskan bahwa pada 1785 seorang pekerja yang membersihkan bingkai peraknya tak sengaja menumpahkan asam nitrat pada gambar itu. Gambarnya tetap utuh. Pernyataan legal beberapa dekade kemudian menyebutkan bahwa tumpahan itu hanya menyisakan tanda samar seperti noda air. Pada 1921 Luciano Pérez Carpio, yang bekerja di sebuah kantor presiden Meksiko yang bertugas melemahkan cengkeraman agama, meletakkan bom dalam karangan bunga di bawah gambar itu. Ledakannya menghancurkan altar, membengkokkan salib perunggu dan tempat lilin di dekatnya. Gambar sang Perawan tak tersentuh.
“Ketika devosi kepada Perawan dari Guadalupe lenyap,” kata Rodríguez Alatorre, “akan lenyap pula jati diri Meksiko.”
!break!Sebagai satu-satunya perempuan yang memiliki surat sendiri dalam Al Quran, Maryam dipilih oleh Tuhan “di atas segala wanita di dunia,” karena kesucian dan kepatuhannya. Seperti dalam Alkitab, malaikat memberitahunya soal kehamilannya dalam kitab suci Islam ini. Tetapi, tidak seperti di Alkitab, tidak ada Yusuf.
“Maryam adalah perempuan paling suci murni di antara semua perempuan di alam semesta,” kata Bakr Zaki Awad, dekan fakultas teologi di Universitas Al Azhar, universitas teologi terkemuka di Kairo.
Di Mesir saya berbicara dengan beberapa Muslim taat yang, karena menghormati Perawan Maryam, tidak ragu mengunjungi gereja Kristen dan berdoa kepadanya di gereja maupun di masjid. Suatu hari di Kairo saya bertemu dengan dua gadis Muslim berkerudung yang berdiri di depan gereja Koptik tua Abu Serga, yang dibangun di atas gua yang konon pernah disinggahi oleh Keluarga Suci. Kedua gadis itu mengaku mereka mencintai Maryam setelah mempelajari tentangnya di Al Quran.
“Kisahnya mengungkap banyak hal,” kata Youra, 21 tahun. “Dia mampu menghadapi banyak kesulitan dalam hidupnya berkat imannya, keyakinannya pada Tuhan.”
Saya bertemu dengan Nabila Badr, 53, di sebuah gereja Koptik di Kairo—salah satu dari banyak tempat di Mesir yang konon pernah disinggahi Keluarga Suci. Badr adalah istri dan ibu tiga anak, serta penyelenggara acara untuk gubernur sebuah negara bagian di dekat Kairo. Selain Al Quran, dia membawa medali Kristen Perawan Maria di dalam tas. Di belakang gereja, Badr berbaur dengan orang Kristen Koptik dan berdoa kepada ikon Maria di dinding. Menurut Badr, dia menceritakan kehidupannya kepada Maryam dan bahwa Maryam sudah menjawabnya beberapa kali dengan memberinya mimpi yang menjadi nyata.
Maria sering muncul kepada orang di zona krisis, seperti Kibeho serta Bosnia dan Herzegovina, memberi peringatan bahaya atau menjadi lambang kesembuhan. Setelah penampakannya, terjadi kesembuhan fisik yang konon mukjizat, seperti di Medjugorje, dan kesembuhan spiritual yang tak terhitung lagi jumlahnya. Lourdes, situs ziarah sang Perawan yang paling terkenal, di kaki Pegunungan Pyrenees di Prancis barat daya, adalah pabrik mukjizat Maria, dengan lebih dari 7.000 klaim kesembuhan mukjizat sejak pertengahan 1800-an. Hanya 69 yang diakui secara resmi oleh pihak berwenang gereja.
Luas Lourdes lebih dari 50 hektare dengan enam juta pengunjung setiap tahun. Basilika bawah tanah raksasanya bisa menampung 25.000 jemaat. Basilika ini dibangun pada 1958 untuk memperingati ulang tahun keseratus penampakan pertama Perawan Maria pada 1858 kepada Bernadette, gadis petani berusia 14 tahun. (St. Bernadette dinyatakan sebagai santa pada 8 Desember 1933.) Gua Maria dari Lourdes di dekat situ, adalah tempat sang Perawan konon menyuruh Bernadette meraup lumpur untuk membuat mata air mengalir dari tanah lembap. Air mukjizat itu adalah sumber permandian yang mendatangkan ribuan orang berkursi roda setiap hari. Ribuan lagi berjalan kaki untuk mendoakan kesembuhan. Relawan mendorong les malades, orang sakit, di kursi roda biru dalam antrean panjang mengular di sepanjang jalan sempit Lourdes, yang diapit puluhan toko cendera mata religius.
Pada hari saya mengunjungi permandian, saat itu hujan. Ada peraturan ketat bagaimana melepaskan pakaian, lalu mengikatkan kain linen ringan pada tubuh, mencelup sebentar sendirian, kecuali relawan yang memegangi ketiak. “Nyatakan niat Anda, buat tanda salib, lalu kami antar Anda turun,” kata seorang perempuan Irlandia yang baik hati. Kemudian, tiba saat mencelup ke air yang dingin membekukan—detik damai yang menyegarkan.
Tak lama setelah Perang Dunia II, anggota militer Prancis dan Jerman bertemu di Lourdes untuk rekonsiliasi dan menyembuhkan luka perang; sekarang setiap musim semi kelompok veteran hadir di antara kerumunan peziarah. Pada 14 Mei 2015 saya bergabung dengan 184 pejuang cedera—veteran perang AS yang pernah ditugaskan di Irak dan Afganistan—dan keluarga mereka. Mereka datang untuk ziarah militer tahunan (dari 35 negara tahun ini) untuk merayakan perdamaian. Selama sisa hidup mereka, semua lelaki dan perempuan pemberani serta para pendamping mereka harus menghadapi cedera melumpuhkan ini.
Ada yang wira-wiri di tengah kami, salah seorang perempuan terhebat yang pernah saya lihat: Pensiunan Kolonel Tentara Dorothy A. Perkins, 60, atlet dan ibu dua anak yang ramah, yang memimpin batalion beranggotakan 480 tentara di Fort Hood, Texas, saat AS diserang pada 11 September 2001. Saat terjadi peristiwa 11 September, Perkins sudah pernah ke Irak dua kali bersama Komisi Khusus PBB sebagai pemimpin tim inspektur senjata, dan lebih dari sepuluh tahun di operasi khusus Tentara. Pada 2006-07 dia menjadi penasihat utama duta besar AS untuk urusan sandera di Irak.
“Sejak dulu iman saya adalah inti diri saya,” kata Perkins. “Itu pilihan saya sejak muda.” Perawan Maria menjadi jangkar baginya. “Dia mengasihi kita sebanyak yang kita mau. Melalui Maria kepada Yesus, dia memfokuskan saya agar lebih dekat dengan Yesus.”
Bagi Perkins, “Lourdes benar-benar memaksa setiap orang untuk memandang diri secara spiritual. Segala sesuatu selalu berlalu begitu cepat. Kita kewalahan oleh media dan terhanyut dalam kegiatan sehari-hari. Orang jarang memaksa diri untuk melihat apa yang terpenting—keutuhan jiwa.”
Pada upacara penutupan Misa raksasa di basilika, salah seorang uskup Eropa, yang berbicara dalam bahasa Prancis, berkata, “Perang Dunia III sudah berlangsung di Timur Tengah dan Afrika.” Dia memuji militer di sana karena berfokus “pada perdamaian, keadilan, dan HAM. Semoga pengalaman ini menjadikan Anda saksi tentang harapan.”
Saya teringat pada pemandangan tak terlupakan, iring-iringan cahaya lilin pada malam sebelumnya—ribuan peziarah, yang berasal dari Argentina hingga Zaire, mengangkat lilin tanpa suara untuk berdoa. Iring-iringan itu diakhiri puluhan veteran berkursi roda berderet di depan, di sebelah Gua Maria dari Lourdes, untuk bernyanyi dan berdoa. Begitu banyak jiwa yang mendambakan menjadi saksi harapan, begitu banyak jiwa yang menyimpan keyakinan bahwa Perawan Maria menerangi jalan mereka.