Perempuan Paling Berpengaruh di Dunia

By , Senin, 23 November 2015 | 06:00 WIB

Ini waktunya penampakan: 17.40. Di kapel Katolik Roma kecil di Bosnia dan Herzegovina, di desa Medjugorje, Ivan Dragicevic berlutut di depan altar, menundukkan kepala. Kemudian  sambil tersenyum, ia menengadah ke langit. Dia mulai berbisik, mendengar dengan saksama, berbisik lagi. Percakapan hariannya dengan Perawan Maria telah dimulai.

Dragicevic adalah salah seorang dari enam anak gembala miskin yang melaporkan penampakan Perawan Maria pada 1981. Maria memperkenalkan diri kepada empat anak perempuan dan dua anak lelaki itu sebagai “Ratu Pencinta Damai” dan menurunkan pesan pertama dari ribuan yang mengingatkan orang beriman agar lebih sering berdoa dan meminta pendosa agar bertobat. Kala itu Dragicevic berumur 16 tahun. Sementara Medjugorje, yang masih di bawah Yugoslavia yang dikendalikan komunis, belum muncul sebagai pusat kesembuhan mukjizat dan perpindahan keyakinan spiritual yang memikat 30 juta peziarah selama 30 tahun terakhir.

Kini saya berada di Medjugorje bersama sekelompok orang Amerika, sebagian besar adalah kepala rumah tangga dari daerah Boston, serta dua lelaki dan dua perempuan pengidap kanker stadium empat. Kami dipandu oleh Arthur Boyle, 59 tahun, dan ayah 13 anak, yang pertama kali datang ke sini pada 2000, dengan tubuh digerogoti kanker dan umur diperkirakan tinggal beberapa bulan. Dia sudah patah semangat, berangkat ke sini hanya karena dipaksa dua temannya. Tetapi, pada malam pertama itu, setelah dia mengaku dosa beban psikologisnya segera terangkat.

“Rasa cemas dan depresi lenyap,” katanya kepada saya. “Anda tahu rasanya memanggul orang pada perang air di kolam renang—lalu orang itu turun, dan kita merasa ringan dan bebas?”

Esok paginya, bersama temannya Rob dan Kevin, dia bertemu dengan seorang “visioner” lain, Vicka Ivankovic-Mijatovic. Sambil memegang kepala Arthur dengan satu tangan, Vicka memohon kepada Perawan Maria untuk meminta Tuhan menyembuhkan lelaki itu. Boyle berkata dia mengalami sensasi yang tidak biasa. “Dia mulai mendoakan saya. Rob dan Kevin memegang saya, dan rasa panas yang menjalari tubuh saya dari doa Vicka menyebabkan mereka berkeringat.”

Seminggu kemudian, saat sudah kembali di Boston, pemindaian CT di Rumah Sakit Umum Massachusetts menunjukkan bahwa tumornya telah menciut hingga hampir hilang.

Sejak itu, Boyle sudah 13 kali kembali ke Medjugorje. “Saya orang biasa,” katanya. “Saya senang hoki dan minum bir. Saya suka bermain golf.”  Kini, kata Boyle, dia menjadi “semacam corong tentang kekuatan penyembuhan Yesus Kristus dan tentu saja tentang Bunda Maria dan kekuatan perantaraannya.”

!break!

Berdoa dengan perantaraan Perawan Maria dan berbakti kepadanya adalah fenomena global. Konsep Maria sebagai perantara ke Yesus diawali dengan mukjizat anggur di perkawinan di Kana saat, menurut Injil Yohanes, Maria berkata kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur,” yang membuahkan mukjizat pertama Yesus. Pada tahun 431, di Konsili Ekumenis Ketiga, di Efesus, dia secara resmi dinamai Theotokos, Bunda Tuhan. Sejak itu, tak ada perempuan lain yang diagungkan seperti Maria. Sebagai lambang universal kasih ibu, juga lambang penderitaan dan pengorbanan, Maria adalah jalur ke alam adikodrati yang lebih mudah diakses daripada ajaran gereja formal. Jubahnya menawarkan perlindungan. Paus Fransiskus, ketika suatu kali ditanya apa makna Maria baginya, menjawab, “Dia mamá saya.”

Penampakan yang dilaporkan, yang sering dialami anak sangat miskin yang tinggal di dae­rah terpencil atau didera konflik, memperkuat misteri dan auranya. Saat anak-anak bersikukuh dengan cerita mereka—terutama jika disertai “pertanda”, seperti matahari berputar atau mata air menyembur—perbawanya menguat.

Maria ada di mana-mana: Bunga marigold juga berasal dari namanya. Gambar Perawan Maria dari Guadalupe di Meksiko adalah salah satu gambar perempuan yang paling banyak direproduksi sepanjang masa. Maria memikat jutaan orang setiap tahun ke tempat suci seperti Fátima di Portugal, dan Knock di Irlandia, menopang wisata religi yang diperkirakan bernilai miliaran dolar per tahun dan menyediakan ribuan pekerjaan. Dia mengilhami penciptaan banyak karya besar dalam seni dan arsitektur, serta puisi, liturgi, dan musik. Ia tempat mengadu bagi miliaran orang.

Orang Islam, selain orang Kristen, menganggapnya suci di atas semua perempuan lain, dan nama “Maryam” lebih sering muncul di Al Quran daripada “Maria” di Alkitab. Dalam Perjanjian Baru, Maria hanya berbicara empat kali, mula-mula saat Anunsiasi, ketika, menurut Injil Lukas, malaikat Gabriel menampakkan diri dan menyampaikan bahwa Maria akan melahirkan “Anak Tuhan Yang Mahatinggi.” Satu-satunya perkataannya yang panjang, juga dalam Lukas, adalah Kidung Maria yang puitis, diucapkan saat hamil muda:  “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Tuhan, Juru Selamatku, sebab Ia telah memerhatikan kerendahan hamba-Nya.  Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia.”

Memang demikian adanya.

Namun, petunjuk tentang kehidupannya sulit ditemukan. Pakar tentang Maria hanya memperoleh bahan dari kitab suci Ibrani, teks Mediterania abad pertama, Perjanjian Baru, dan penggalian arkeologi.

Menurut Alkitab, Maria tinggal di Nazaret ketika bangsa Romawi menguasai wilayah Yahudi. Setelah Maria mengandung, tunangannya, Yusuf, seorang tukang kayu, mempertimbangkan untuk meninggalkannya sampai malaikat mendatanginya dalam mimpi dan melarangnya. Kelahiran Yesus hanya diceritakan dalam dua Injil, Lukas dan Matius. Markus dan Yohanes menyebut ibu Yesus beberapa kali.

Para Penginjil ini menulis 40-65 tahun setelah kematian Kristus dan bukan biografer, kata Pastor Bertrand Buby, penulis kajian tiga jilid, Mary of Galilee. Dia juga anggota terpandang staf pengajar di International Marian Research Institute di University of Dayton, di Ohio. “Jadi, jangan mengharapkan Injil memuat semua unsur tentang Maria. Kehidupannya diketahui dari kabar angin.”

Beberapa kajian terbaru tentang Maria berfokus pada dirinya sebagai seorang ibu Yahudi. María Enriqueta García, dalam disertasinya, menjelaskan bahwa Maria membawa umat Kristen kepada Yesus, yaitu terang dunia, sebagaimana ibu-ibu Yahudi menyalakan lilin Sabat. “Kita melihat hubungan Maria dengan kita bukan hubungan biasa—ini suci.” Pada milenium pertama, seiring agama Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi dan mulai menyebar ke Eropa, Maria biasanya ditampilkan sebagai sosok bangsawan, setara dengan kaisar, didandani dengan warna ungu ningrat dan emas. Pada milenium kedua, mulai pada abad ke-12, kata sejarawan abad pertengahan Miri Rubin dari Queen Mary University of London, “dia mengalami pergeseran dramatis,” berevolusi menjadi sosok ibu yang lebih lembut, baik hati, dan dekat dengan umat. Dia menjadi pengganti ibu di biara dan susteran, yang menerima banyak anggota baru berusia belia. “Kasih ibu,” kata Rubin, “mencerminkan esensi kisah religi ini.”

Karena begitu sedikit yang diketahui tentang Maria dari Alkitab, “kita dapat memproyeksikan nilai budaya apa pun kepadanya,” kata Amy-Jill Levine, profesor kajian Yahudi dan Perjanjian Baru di Vanderbilt University. “Ciptaan budaya,” menurut Rubin. Levine menambahkan, “Dia bisa menjadi ibu yang berduka, perawan muda, sosok dewi. Sebagaimana Yesus adalah lelaki ideal, Maria adalah perempuan ideal.”

Pada masa Reformasi (1517-1648), konsep Maria sebagai perantara tak lagi populer di tengah umat Protestan, yang menganjurkan berdoa langsung kepada Tuhan. Namun, Maria memperoleh jutaan penganut Katolik baru dari penaklukan Dunia Baru oleh Spanyol pada awal 1500-an—dan lebih belakangan, di Afrika seiring tersebarnya agama Kristen di sana.

!break!

Kibeho, kota kecil di Rwanda selatan, diingat sebagai tempat Perawan Maria menampakkan diri kepada tiga anak perempuan. Ia meramalkan darah dan kengerian genosida yang akan mengoyak pada 1994. Inilah saat suku mayoritas Hutu menyerang suku minoritas Tutsi dan lebih dari 800.000 orang dibantai dalam tiga bulan.

Pada Maret 1982 uskup setempat meminta Venant Ntabomvura, seorang dokter, untuk mengunjungi sekolah asrama putri di lereng bukit di Kibeho. Dia diminta menyelidiki tiga murid yang melaporkan penampakan dan percakapan dengan Perawan Maria. Menurut Ntabomvura, yang kini masih praktik pada usia 89 tahun, Alphonsine Mumureke pertama kali bercerita tentang penampakan pada November 1981. Selama penampakan, kata Ntabomvura, “Alphonsine berbicara dengan orang persis seperti sedang berbicara di telepon.”

Maria mula-mula menampakkan diri kepada Alphonsine, lalu kepada Anathalie Mukamazimpaka, disusul kepada Marie Claire Mukangango. Kata anak-anak itu, mereka berbincang berjam-jam dengan sang Perawan, yang menyebut dirinya Nyina wa Jambo, Bunda Sang Firman. Maria sering berbicara kepada mereka, sehingga memanggilnya Mama.

Saya menemui Anathalie suatu petang di rumah yang sederhana di dekat sekolah lamanya, dikelilingi rosario dan patung sang Perawan.

“Pertama kali dia muncul,” kata Anathalie, “saya sedang berdoa rosario, lalu dia memanggil nama saya. Saya mendengar dia berkata, ‘Nathalie, anakku.’  Dia tidak pernah memberitahukan mengapa dia memilih saya. Katanya dia muncul kepada siapa pun yang dia mau, kapan pun dia mau, di mana pun dia mau.”  Dia tidak pernah menyebut agama tertentu, kata Anathalie. “Dia hanya meminta kami mengasihinya sebesar dia mengasihi kami.”

Ramalan mengerikan Maria diturunkan pada suatu hari pada 1982 yang dikira semua orang akan sangat bahagia: 15 Agustus, Perayaan Pengangkatan Maria ke surga. Ntabomvura hadir di sana, juga Gaspard Garuka, yang tinggal di dekat situ. Ketiga anak itu menangis karena kata mereka, sang Perawan juga berlinang air mata, ujar Garuka. Dia ingat bahwa Alphonsine “terjatuh berkali-kali karena yang disaksikannya amat mengerikan. Dia bahkan meminta, ‘Tolong, sembunyikan ini dari mata saya.’”

Menurut Anathalie, ramalan Maria “sama persis dengan yang saya lihat” 12 tahun kemudian. “Orang membunuh dengan tombak, api berkobar, tengkorak dan kepala orang terpenggal. Saya melihat kuburan massal dikelilingi kegelapan pekat, darah mengalir di mana-mana seperti sungai.”  Anathalie berhasil lari dari Rwanda ke Republik Demokratik Kongo, lalu ke Kenya. Alphonsine menjadi suster biara di Italia. Marie Claire terbunuh dalam genosida itu. Pada 2001, Uskup Augustin Misago dari Rwanda dan Vatikan menyatakan bahwa, ya, Perawan Maria pernah muncul di Kibeho.

!break!

Michael O’neill, 39, adalah pengolah data Pera­wan Maria. Di situs webnya, MiracleHunter.com, dia mencatat setiap penampakan Maria yang diketahui sejak tahun 40.  Penyelidikan dan dokumentasi sistematis me­ngenai penampakan adikodrati dimulai dengan Konsili Trente, reaksi ekumenis Gereja Katolik terhadap Reformasi, lebih dari 450 tahun silam. Di antara 2.000 penampakan yang dilaporkan sejak itu, Miracle Hunter menyebutkan, hanya 28 yang disetujui uskup setempat—orang pertama yang memutuskan apakah “peng­lihat” ini bisa dipercaya. Enam belas di antaranya diakui Vatikan.

O’Neill, dalam bukunya yang baru terbit, Exploring the Miraculous, menjabarkan proses Vatikan yang ketat saat memutuskan akan tidaknya mendukung suatu penampakan sebagai mukjizat—“benar-benar luar biasa.”  “Autentisitas” dan kestabilan mental si penglihat merupakan faktor utama, dan siapa pun yang dicurigai berniat meraih ketenaran dan kekayaan, diabaikan atau dikecam.

Medjugorje adalah salah satu dari dua puluhan tempat yang sedang menanti persetujuan Vatikan. Para uskup setempat yang berwenang atas Medjugorje tak pernah memercayai penampakan itu dan berselisih paham dengan para pastor Fransiskan yang memimpin paroki itu dan sangat meyakini penampakan itu. Untuk memecahkan kebuntuan, ditunjuk komite Vatikan. Komite ini menyelesaikan tugasnya pada 2014.

Orang beriman tidak diwajibkan meyakini penampakan. Banyak orang, termasuk pastor, tidak percaya. “Hal yang benar-benar berasal dari Maria, sulit dibedakan dengan hal yang ditangkap dan ditafsirkan oleh si penglihat,” kata Pastor Johann Roten. Ia adalah direktur proyek khusus dan penelitian di Marian Library di University of Dayton, yang memiliki lebih dari seratus ribu buku tentang Maria. Pada akhirnya, keputusan itu didasarkan pada iman.

“Mukjizat melampaui alam fisik dan hukum fisika,” kata Robert Spitzer. Pastor Jesuit ini mengepalai Magis Center di California, yang menurut situs webnya ditujukan untuk menjelaskan iman, fisika, dan filsafat. “Sains mencari hukum fisika di alam, jadi kita menghadapi paradoks. Mungkinkah ada uji ilmiah untuk mukjizat? Tidak. Sains hanya bisa menguji hukum fisika atau hasil fisika.”

Selama bertahun-tahun, sebagai bagian proses penyelidikan gereja, si pelihat diberi serangkaian ujian. Pernah ada upaya agar visioner di Medjugorje berkedip atau bereaksi terhadap bunyi keras saat mereka mengalami penampakan. Pada 2001 Journal of Scientific Exploration, yang menerapkan tinjauan-sejawat, melaporkan terjadinya “keterputusan parsial dan bervariasi dari dunia luar selama mengalami penampakan.”  Sensasi bunyi dan cahaya ekstrem menjalar normal ke otak mereka, tetapi “korteks otak besar tidak menangkap transmisi rangsangan saraf pendengaran atau penglihatan.” Sejauh ini, sains tidak dapat menjelaskan hal ini.

Dalam profesi kedokteran, hal yang mungkin disebut orang awam sebagai mukjizat sering disebut sebagai “remisi spontan”.  Frank McGovern, dokter bedah urologi Boston bagi Arthur Boyle, berkata bahwa menyusutnya kanker hingga hampir hilang adalah kejadian yang “langka” tetapi secara statistik bisa terjadi.

Apakah panas dahsyat yang dialami Boyle ketika Vicka Ivankovic-Mijatovic memegang kepalanya berperan dalam kesembuhannya? Menurut buku Hyperthermia in Cancer Treatment: A Primer tahun 2006, “Regresi spontan sebagian kasus kanker, telah diperagakan terkait [dengan] induksi demam dan pengaktifan kekebalan tubuh.”

Menurut Boyle, “berkat imanlah saya mampu mencapai keadaan damai sehingga sistem imun saya aktif kembali dan membunuh kanker itu—itu semua dilakukan melalui Tuhan.”

Gambar dan cerita tertentu tentang Perawan Maria amat dahsyat sehingga turut mendefinisikan suatu negara. Itulah yang terjadi dengan Bunda Maria dari Guadalupe, yang gambarnya pada tilma, atau jubah seorang lelaki Indian mis­kin, membangkitkan identitas Meksiko pada 1531. Siapa pun yang menyaksikan limpahan kasih, juga pengabdian yang ditampakkan peziarah bagi Madre terkasih mereka di hari-hari menjelang Perayaan Maria dari Guadalupe—disiarkan langsung di negara itu pada 12 Desember—bisa melihat bahwa Perawan Maria tertanam dalam-dalam di hati dan jiwa Meksiko.

Gambar Maria-lah yang dibawa orang Meksiko ke perang kemerdekaan melawan Spanyol pada 1810 dan revolusi internal pada 1910. Maria dari Guadalupe mengangkat derajat anak-anak mestizo—campuran Spanyol dan Indian—yang dulu dibenci. Dia adalah, definisi jati diri Meksiko. Berkat Maria dari Guadalupe, orang Meksiko meyakini mereka istimewa.

Pada subuh 11 Desember, hari sebelum Perayaan Maria dari Guadalupe, saya berkendara ke tenggara dari Kota Meksiko menuju Puebla. Peziarah berduyun-duyun ke arah berlawanan, menuju Basilika Maria dari Guadalupe, gereja besar di jantung ibu kota.

!break!

Saya menepi dari jalan raya, pada sebuah kemah di hutan tempat para peziarah tidur malam hari. Musik mariachi membahana. Seorang relawan bercerita bahwa menjelang Perayaan Guadalupe, mereka memberi makan 5.000 peziarah per hari di sini.

Empat generasi perempuan dari satu keluarga berkata bahwa mereka berjalan sepuluh jam sehari dari kota Papalotla, di negara bagian Tlaxcala, tetapi bermalam di truk keluarga, yang dikemudikan oleh kerabat lelaki. Seorang nenek 77 tahun menempuh perjalanan dari Santa María, di negara bagian Puebla, bersama cucu lelakinya berusia 19 tahun. Seorang sopir truk yang datang dari California setiap tahun berkata begini: “Semua orang wajib menjenguk ibunya.”

Esok paginya saat saya tiba di alun-alun di depan basilika, arus deras orang segala usia. Alejandra Anai Hernán de Romero, ibu 18 tahun yang menggendong bayi tujuh bulan yang sakit, Dieguito, lahir dengan gagal fungsi ginjal. Ia berjalan berlutut melintasi alun-alun, baru berdiri saat masuk ke basilika. Banyak yang pipinya dibasahi air mata. Sebagian besar menyatakan bahwa mereka datang untuk mengucap syukur:  Mereka berjanji kepada sang Perawan, dan dia menjawab doa mereka.

Di dalam basilika, di balik altar utama, dilindungi kaca, tergantung gambar kain asli Perawan Maria dari Guadalupe, memusatkan perhatian penuh orang-orang beriman, yang bergerak melewatinya. Menurut legenda yang diterima oleh gereja, pada 1531 sang Perawan dari Guadalupe berbicara dalam bahasa Nahuatl (bahasa bangsa Aztek) kepada Juan Diego, orang Indian yang sudah dibaptis dan dinyatakan sebagai santo pada 2002. Sang Perawan mendesaknya memberi tahu uskup bahwa dia ingin dibangunkan gereja di tempat itu, Bukit Tepeyac, yang pernah menjadi tempat untuk memuja dewi bumi Aztek.

Juan Diego tidak terlalu berhasil membujuk uskup, yang ingin semacam pertanda. Maria menyuruh Juan Diego mendaki bukit itu, memetik beberapa bunga, dan menyerahkannya kepada uskup. Bunga tidak pernah mekar di sana pada bulan Desember, tetapi Juan Diego dapat mengumpulkan satu karangan mawar indah, yang disimpannya di dalam lipatan tilma, yang diyakini dianyam dari serat agave. Saat dia akhirnya berhasil menemui uskup dan membuka jubahnya, mawar itu berjatuhan, menampakkan gambar Maria dari Guadalupe. Hanya sekali inilah Maria konon meninggalkan lukisan dirinya sendiri.

Banyak sejarawan seni memandang ini sebagai gambar Maria bergaya Eropa standar, khas abad ke-16. Namun, dalam beberapa dasawarsa terakhir, beberapa cendekiawan gereja mulai menafsirkan citra visual itu sebagai perpaduan ikonografi Katolik dan hal yang dipandang sebagai ikonografi Aztek. Menurut penafsiran baru ini, orang Indian buta huruf akan langsung mampu membaca simbol-simbolnya sebagai katekismus nonverbal.

Luar biasanya, gambar itu tidak rusak, menurut gereja, meskipun kain itu tergantung di basilika tanpa perlindungan selama lebih dari seabad, rentan terhadap kotoran dan asap. “Dia tercetak seperti foto,” kata Nydia Mirna Rodríguez Alatorre, direktur museum basilika itu. Ia menjelaskan bahwa pada 1785 seorang pekerja yang membersihkan bingkai peraknya tak se­ngaja menumpahkan asam nitrat pada gambar itu. Gambarnya tetap utuh. Pernyataan legal beberapa dekade kemudian menyebutkan bahwa tumpahan itu hanya menyisakan tanda samar seperti noda air. Pada 1921 Luciano Pérez Carpio, yang bekerja di sebuah kantor presiden Meksiko yang bertugas melemahkan cengkeram­an agama, meletakkan bom dalam karangan bunga di bawah gambar itu. Ledakannya menghancurkan altar, membengkokkan salib perunggu dan tempat lilin di dekatnya. Gambar sang Perawan tak tersentuh.

“Ketika devosi kepada Perawan dari Guadalupe lenyap,” kata Rodríguez Alatorre, “akan lenyap pula jati diri Meksiko.”

!break!

Sebagai satu-satunya perempuan yang memiliki surat sendiri dalam Al Quran, Maryam dipilih oleh Tuhan “di atas segala wanita di dunia,” karena kesucian dan kepatuhannya. Seperti dalam Alkitab, malaikat memberitahunya soal kehamilannya dalam kitab suci Islam ini. Tetapi, tidak seperti di Alkitab, tidak ada Yusuf.

“Maryam adalah perempuan paling suci murni di antara semua perempuan di alam semesta,” kata Bakr Zaki Awad, dekan fakultas teologi di Universitas Al Azhar, universitas teologi terkemuka di Kairo.

Di Mesir saya berbicara dengan beberapa Muslim taat yang, karena menghormati Perawan Maryam, tidak ragu mengunjungi gereja Kristen dan berdoa kepadanya di gereja maupun di masjid. Suatu hari di Kairo saya bertemu dengan dua gadis Muslim berkerudung yang berdiri di depan gereja Koptik tua Abu Serga, yang dibangun di atas gua yang konon pernah disinggahi oleh Keluarga Suci. Kedua gadis itu mengaku mereka mencintai Maryam setelah mempelajari tentangnya di Al Quran.

“Kisahnya mengungkap banyak hal,” kata Youra, 21 tahun. “Dia mampu menghadapi banyak kesulitan dalam hidupnya berkat imannya, keyakinannya pada Tuhan.” 

Saya bertemu dengan Nabila Badr, 53, di sebuah gereja Koptik di Kairo—salah satu dari banyak tempat di Mesir yang konon pernah disinggahi Keluarga Suci. Badr adalah istri dan ibu tiga anak, serta penyelenggara acara untuk gubernur sebuah negara bagian di dekat Kairo. Selain Al Quran, dia membawa medali Kristen Perawan Maria di dalam tas. Di belakang gereja, Badr berbaur dengan orang Kristen Koptik dan berdoa kepada ikon Maria di dinding. Menurut Badr, dia menceritakan kehidupannya kepada Maryam dan bahwa Maryam sudah menjawabnya beberapa kali dengan memberinya mimpi yang menjadi nyata.

Maria sering muncul kepada orang di zona krisis, seperti Kibeho serta Bosnia dan Herzegovina, memberi peringatan bahaya atau menjadi lambang kesembuhan. Setelah penampakannya, terjadi kesembuhan fisik yang konon mukjizat, seperti di Medjugorje, dan kesembuhan spiritual yang tak terhitung lagi jumlahnya. Lourdes, situs ziarah sang Perawan yang paling terkenal, di kaki Pegunungan Pyrenees di Prancis barat daya, adalah pabrik mukjizat Maria, dengan lebih dari 7.000 klaim kesembuhan mukjizat sejak pertengahan 1800-an. Hanya 69 yang diakui secara resmi oleh pihak berwenang gereja.

Luas Lourdes lebih dari 50 hektare dengan enam juta pengunjung setiap tahun. Basilika bawah tanah raksasanya bisa menampung 25.000 jemaat. Basilika ini dibangun pada 1958 untuk memperingati ulang tahun kese­ratus penampakan pertama Perawan Maria pada 1858 kepada Bernadette, gadis petani berusia 14 tahun. (St. Bernadette dinyatakan sebagai santa pada 8 Desember 1933.) Gua Maria dari Lourdes di dekat situ, adalah tempat sang Pera­wan konon menyuruh Bernadette meraup lumpur untuk membuat mata air mengalir dari tanah lembap. Air mukjizat itu adalah sumber permandian yang mendatangkan ribuan orang berkursi roda setiap hari. Ribuan lagi berjalan kaki untuk mendoakan kesembuhan. Relawan mendorong les malades, orang sakit, di kursi roda biru dalam antrean panjang mengular di sepanjang jalan sempit Lourdes, yang diapit puluhan toko cendera mata religius.

Pada hari saya mengunjungi permandian, saat itu hujan. Ada peraturan ketat bagaimana melepaskan pakaian, lalu mengikatkan kain linen ringan pada tubuh, mencelup sebentar sendirian, kecuali relawan yang memegangi ketiak. “Nyatakan niat Anda, buat tanda salib, lalu kami antar Anda turun,” kata seorang perempuan Irlandia yang baik hati. Kemudian, tiba saat mencelup ke air yang dingin membekukan—detik damai yang menyegarkan.

Tak lama setelah Perang Dunia II, anggota militer Prancis dan Jerman bertemu di Lourdes untuk rekonsiliasi dan menyembuhkan luka perang; sekarang setiap musim semi kelompok veteran hadir di antara kerumunan peziarah. Pada 14 Mei 2015 saya bergabung dengan 184 pejuang cedera—veteran perang AS yang pernah ditugaskan di Irak dan Afganistan—dan keluarga mereka. Mereka datang untuk ziarah militer tahunan (dari 35 negara tahun ini) untuk merayakan perdamaian. Selama sisa hidup mereka, semua lelaki dan perempuan pemberani serta para pendamping mereka harus menghadapi cedera melumpuhkan ini.

Ada yang wira-wiri di tengah kami, salah seorang perempuan terhebat yang pernah saya lihat: Pensiunan Kolonel Tentara Dorothy A. Perkins, 60, atlet dan ibu dua anak yang ramah, yang memimpin batalion beranggotakan 480 tentara di Fort Hood, Texas, saat AS diserang pada 11 September 2001. Saat terjadi peristiwa 11 September, Perkins sudah pernah ke Irak dua kali bersama Komisi Khusus PBB sebagai pemimpin tim inspektur senjata, dan lebih dari sepuluh tahun di operasi khusus Tentara. Pada 2006-07 dia menjadi penasihat utama duta besar AS untuk urusan sandera di Irak.

“Sejak dulu iman saya adalah inti diri saya,” kata Perkins. “Itu pilihan saya sejak muda.”  Perawan Maria menjadi jangkar baginya. “Dia mengasihi kita sebanyak yang kita mau. Melalui Maria kepada Yesus, dia memfokuskan saya agar lebih dekat dengan Yesus.”

Bagi Perkins, “Lourdes benar-benar memaksa setiap orang untuk memandang diri secara spiritual. Segala sesuatu selalu berlalu begitu cepat. Kita kewalahan oleh media dan terhanyut dalam kegiatan sehari-hari. Orang jarang memaksa diri untuk melihat apa yang terpenting—keutuhan jiwa.”

Pada upacara penutupan Misa raksasa di basilika, salah seorang uskup Eropa, yang berbicara dalam bahasa Prancis, berkata, “Perang Dunia III sudah berlangsung di Timur Tengah dan Afrika.”  Dia memuji militer di sana karena berfokus “pada perdamaian, keadilan, dan HAM. Semoga pengalaman ini menjadikan Anda saksi tentang harapan.”

Saya teringat pada pemandangan tak terlupakan, iring-iringan cahaya lilin pada malam sebelumnya—ribuan peziarah, yang berasal dari Argentina hingga Zaire, mengangkat lilin tanpa suara untuk berdoa. Iring-iringan itu diakhiri puluhan veteran berkursi roda berderet di depan, di sebelah Gua Maria dari Lourdes, untuk bernyanyi dan berdoa. Begitu banyak jiwa yang mendambakan menjadi saksi harapan, begitu banyak jiwa yang menyimpan keyakinan bahwa Perawan Maria menerangi jalan mereka.