Dari Balik Bayangan

By , Senin, 23 November 2015 | 06:00 WIB

Pihak keluarga mengajukan beberapa permintaan kecil, dan pejabat kehutanan berkata dia akan mencoba membantu, dan pertemuan itu pun selesai. Enam kilometer dari situ ada rumah lain yang harus dikunjungi dengan kisah yang kurang lebih sama. Ketika serangan macan tutul terjadi, biasanya beruntun. Sai Mandlik merupakan orang ketiga yang diserang di wilayah Junnar hanya dalam waktu dua minggu, dan orang kedua yang tewas.

Ini merupakan sebuah misteri: Biasanya, di Mumbai sekalipun, macan tutul dan manusia hidup berdampingan secara damai. Jadi, mengapa tiba-tiba serangan macan tutul di daerah seperti Junnar meruyak? Keesokan pagi setelah kunjungan ke rumah Mandlik, Vidya Athreya, seorang ahli biologi di Wildlife Conservation Society, duduk di tepi kebun tebu di kota Akole tidak jauh dari situ. Di laptopnya terlihat peta wilayah yang penuh dengan titik pirus besar yang menunjukkan semua tempat yang didatangi oleh macan tutul, selama penelitian lima tahunnya di sini. Baik informasi melalui perangkap kamera maupun kalung radio. Singkat kata, macan tutul terdapat di mana-mana, 11 ekor macan tutul dewasa berkeliaran pada malam hari di Akole dan sekitarnya, daerah tidak berhutan dan tanpa rusa atau mangsa besar alami lain. Di tempat itu, 20.000 orang beraktivitas pada siang harinya.

Pertanyaan pertama adalah, mengapa ada begitu banyak macan tutul? Seperti halnya di tempat lain di India, hal ini dipicu oleh ketergantungan pada tempat pembuangan sampah terbuka dan limbah pasar daging, yang menjadi sumber makanan anjing liar, babi liar, dan hewan kecil lainnya. Hukum federal dan gerakan pendukung hak hewan yang berpengaruh menghalangi penangkapan anjing liar. Jadi anjing dan hewan peliharaan lainnya pada gilirannya menjadi mangsa komunitas macan tutul yang terus berkembang. (Menurut penelitian Athreya, anjing dan hewan peliharaan merupakan 87 persen makanan macan tutul.)

Irigasi yang dibangun sejak 1980-an juga ikut menarik macan tutul. Di antara tanaman pertanian lain, kini tebu menjadi salah satu tanaman umum di daerah yang dahulu gersang seperti Akole dan Junnar, dan tebu yang tinggi dan lebat menjadi tempat persembunyian yang sempurna bagi macan tutul—dekat dengan desa, tumpukan sampah, dan anjing.

Suatu hari saat meneliti, tutur Athreya, dia melewati ladang tempat 15 perempuan memetik tomat, dan singgah untuk mengobrol dengan seorang petani. Oh, ya, kata petani tersebut, ia melihat macan tutul beberapa hari sebelumnya. Athreya tidak memberi tahu sang petani bahwa macan tutul itu sedang beristirahat di balik tebu pada saat itu, hanya 20 meter dari mereka. Para petani tersebut tidak perlu khawatir. “Macan tutul tidak haus darah seperti yang dibayangkan orang,” kata Athreya. “Hewan ini cukup rasional.” Antropolog Sunetro Ghosal, yang juga bekerja di Akole, menjelaskan bahwa “di masa lalu keduanya berbagi tempat” dan bahkan “berkompromi”, macan tutul dan manusia bersama-sama menghindari konfrontasi.

Untuk memahami penyebab gangguan hubungan manusia dan macan tutul, Athreya meneliti rangkaian serangan yang terjadi di wilayah Junnar dari tahun 2001 sampai 2003. Pada saat itu kebetulan departemen kehutanan memerangkap banyak macan tutul, lebih dari seratus, di wilayah bermasalah di Junnar, terutama setelah hewan ini menyerang ternak. Hewan tersebut dilepaskan di hutan rata-rata 30 kilometer dari tempat penangkapan—teknik umum untuk menangani karnivora bermasalah di seluruh dunia. Namun setelah relokasi, Athreya dan timnya menemukan bahwa serangan terhadap manusia di Junnar meningkat 325 persen, dan persentase serangan yang mematikan menjadi dua kali lipat.

“Ini kasus umum macan yang terguncang jiwanya,” kata Athreya. Hewan itu terguncang akibat trauma terperangkap di kotak, ditangani oleh manusia, lalu dibuang ke tempat asing dan di wilayah yang sudah dikuasai oleh macan tutul lainnya. Banyaknya serangan itu bukanlah akibat watak ganas macan tutul. Menurut Athreya dan rekan penelitinya: “Translokasi menyebabkan serangan terhadap manusia.”

Jajaran departemen kehutanan memahami hal itu ketika Athreya pertama kali mempresentasikan penelitiannya satu dekade lalu. Taman Nasional Sanjay Gandhi di Mumbai tidak lagi menerima macan tutul yang direlokasi. (Seperti halnya Junnar, di sana juga terjadi banyak serangan mematikan terhadap manusia.) Media di kota ikut membahas bahwa memindahkan macan tutul lebih berbahaya daripada membiarkannya di tempat semula. Lokakarya di sekitar taman, mulai menyebarluaskan gagasan yang lebih besar bahwa kehadiran macan tutul di lingkungan mereka belum tentu berarti “konflik”. Menyingkirkan macan tutul—hal pertama yang biasanya dituntut oleh penduduk kota—mengganggu sistem sosial dan membuka wilayah itu bagi macan tutul baru yang mungkin kurang berpengalaman dalam urusan “kompromi”. Lokakarya itu juga menekankan sisi manusia dalam kompromi tersebut, termasuk tindakan pencegahan dasar seperti menjaga anak-anak di dalam ruangan pada malam hari.  Pesan yang terus disampaikan adalah bahwa macan tutul di Mumbai, Akole, dan daerah lainnya bukanlah “penyusup”. Hewan itu adalah sesama penghuni.

Akan tetapi, hidup dengan cara ini tidak selalu mudah. Terutama bagi jagawana departemen kehutanan yang harus mendatangi korban serangan, serta sering kali dikepung dan bahkan dipukuli oleh warga marah yang menuntut tindakan pemerintah. Mereka juga mendapat tekanan dari politisi lokal. Jadi perangkap masih tetap dipasang, agar orang melihat ada tindakan untuk mengamankan mereka, meskipun sebenarnya hal itu justru meningkatkan bahaya terhadap manusia. Beberapa macan tutul “bermasalah” dikurung di fasilitas “penyelamatan” yang sesak di seantero negeri, sekalipun sesungguhnya tak ada cara untuk menentukan hewan mana yang bermasalah, selain tertangkap basah bersama korban.

Jadi, tidak lama setelah pembunuhan terakhir di Junnar, seorang jagawana mengirimi saya surel: “Dengan gembira kami kabarkan bahwa kami telah menangkap seekor macan tutul jantan.” Dia menyatakan bahwa hewan itu “macan tutul yang menyerang anak lelaki bulan lalu.” Jantan itu akan menghabiskan sisa hidupnya di fasilitas “penyelamatan macan tutul” di Junnar, yang sudah hampir penuh kapasitasnya, ditempati oleh 28 macan tutul. Kebanyakan macan tutul yang terjebak dalam perangkap biasanya dibebaskan, meskipun untuk alasan yang jelas departemen kehutanan tidak bersedia mengungkapkan jumlah macan tutul yang dilepaskan di Junnar, atau lokasi pelepasannya. Dua minggu setelah itu, macan tutul lain membunuh dan mencabik-cabik seorang wanita 60 tahun di kebun beberapa kilometer dari tempat Sai Mandlik meninggal.

Saya meninggalkan India dengan anggapan bahwa masalah macan tutul di sana itu sulit dan semrawut, sangat berbeda dengan kehidupan di negara yang lebih maju. Setiba di rumah saya mendapat laporan bahwa ada puma yang terlihat enam kilometer dari rumah saya di pesisir Connecticut, diikuti oleh berita kehadiran beruang hitam di Kota New Haven tidak jauh dari situ. Puma sekarang berkeliaran di Los Angeles, coyote di Chicago, serigala di pinggiran Roma, hiu putih besar di lepas pantai Cape Cod. Seiring bertambahnya populasi manusia dan urbanisasi, tampaknya karnivora lain juga beradaptasi dan belajar untuk hidup di tengah manusia. Hal ini memang menakutkan, tetapi belum tentu selalu buruk: Penelitian berulang kali menunjukkan bahwa populasi predator yang sehat sangat penting bagi kesehatan hampir semua hal lainnya. Sekalipun bukan dewa, hewan ini setidaknya dapat mengendalikan ekosistem.

Perlahan-lahan, pengalaman macan tutul di India tidak lagi terlihat seperti keajaiban dari dunia lain tetapi lebih seperti gambaran cara hidup yang harus dipelajari oleh kita semua.