Dari Balik Bayangan

By , Senin, 23 November 2015 | 06:00 WIB

Kami duduk dalam kegelapan, menunggu macan tutul di tepi jalan setapak di pinggir Taman Nasional Sanjay Gandhi di India, dunia hijau seluas 104 kilometer persegi di tengah luasnya metropolis Mumbai nan kelabu.

Gedung apartemen tinggi berjajar di seberangnya. Sekarang pukul 10 malam, dan dari jendela yang terbuka terdengar suara orang mencuci piring dan meninabobokan anak. Musik puja mengalun dari sebuah kuil di kejauhan. Tawa remaja, deru sepeda motor. Laksana mesin raksasa, 21 juta orang mengeluarkan bunyi. Di suatu tempat di semak sekitar kami, macan tutul memasang telinga, menunggu kebisingan itu mereda. Mengawasi.

Ada sekitar 35 macan tutul yang hidup di dalam taman ini dan di sekitarnya. Berarti luas habitatnya rata-rata empat kilometer persegi masing-masing, untuk hewan yang dapat dengan mudah menjelajah hingga 15 kilometer sehari. Macan tutul itu juga dikepung lingkungan perkotaan paling padat di dunia, dihuni sekitar 30.000 jiwa per kilometer persegi.

Namun, macan tutul berkembang biak di sini. Sebagian makanannya berasal dari rusa tutul dan hewan liar lain di dalam taman. Namun, banyak juga macan tutul yang melintasi batas tak berpagar antara taman dan permukiman. Sementara kota tertidur, hewan ini menyelinap ke jalan dan gang, tempat dia memangsa anjing, kucing, babi, tikus, ayam, dan kambing. Macan tutul juga memangsa manusia, meskipun jarang.

Hewan ini takut pada manusia, dan hal itu beralasan. Manusia adalah makhluk yang mudah berubah pendirian, kadang mengagumi, menyelamatkan, bahkan memuja macan tutul. Namun, manusia sering pula menzaliminya—menembak, memerangkap, meracuni, menggantung. Pegiat konservasi menyebut macan tutul sebagai kucing besar paling teraniaya di dunia.

Padahal macan tutul merupakan bayangan kita, hewan ini tidak ubahnya seperti teman kita. Macan tutul tidak punya pilihan. Dua pusat populasi macan tutul, Afrika sub-Sahara dan anak benua India, merupakan daerah berpopulasi terpadat di dunia. Diperkirakan ekspansi manusia menyebabkan macan tutul kehilangan 66 persen area jelajahnya di Afrika dan 85 persen di Eurasia. Sebagian besar terjadi selama lima dekade terakhir. Di banyak daerah, satu-satunya tempat untuk bertahan hidup adalah berdampingan dengan manusia.

Tidak seperti kebanyakan kucing besar lainnya, macan tutul mampu beradaptasi, hingga batas tertentu. Contohnya, dia dapat memangsa kumbang tahi dan landak hingga eland seberat 900 kilogram. Hewan ini dapat hidup dalam suhu 43 derajat Celsius di Gurun Kalahari atau minus 25 derajat di Rusia. Satwa ini bisa berkembang biak di rawa bakau tepi laut di pesisir India atau di ketinggian 5.200 meter di Himalaya. Dengan kemampuan adaptasi itu, serta ditunjang keahlian bersembunyinya, macan tutul sepenuhnya mampu hidup bersama manusia, seperti di Mumbai. Pertanyaannya adalah mampukah manusia belajar untuk hidup bersama dengan macan tutul.

Manusia dan macan tutul memiliki hubungan yang panjang dan rumit, dan seperti banyak hal lainnya, hal itu dimulai di Afrika. Macan tutul merupakan spesies baru: Hewan ini muncul dalam bentuk modernnya 500.000 tahun yang lalu. Sebagaimana halnya manusia, hewan ini menyebar dan mengisi sebagian besar dunia, dari ujung selatan Afrika hingga Timur Jauh Rusia, dari Senegal di barat hingga Indonesia di tenggara. Spesies ini mungkin mengikuti manusia purba, untuk memanfaatkan kemampuan kita mengusir singa dan pesaing lainnya atau, di kemudian hari, mencuri ternak kita. Mungkin pula manusia mengikuti macan tutul yang bermigrasi untuk mendapatkan sisa buruannya. (Hasil buruan hewan ini lebih mudah dicuri daripada buruan karnivora lain, karena dia biasa menyembunyikan hasil buruannya di semak atau di atas pohon, lalu pergi beristirahat, kemudian kembali untuk makan.)

Perilaku predator macan tutul tercetak dalam genom sesama primata: Monyet yang belum pernah melihat macan tutul sekali pun langsung menunjukkan perhatian dan kewaspadaan saat melihatnya. Demikian pula manusia, dengan campuran rasa takut dan penasaran.

Di Provinsi Limpopo Afrika Selatan saya mengunjungi seorang peternak sapi. Di mejanya terletak alkitab versi Raja James yang penuh coretan stabilo, serta tengkorak macan tutul yang dipajang di ujung meja. Di tengkorak itu terdapat lubang kecil bekas peluru.

“Kami sangat menyukai hewan ini,” dia mulai bicara. “Hewan ini sungguh cantik! Namun, sulit hidup bersama dengannya. Ada banyak mangsa alaminya—warthog, babun, babi hutan.” Namun, macan tutul malah memangsa pedetnya.

Dia membuka buku silsilah tempat ia mencatat kelahiran dan kematian sapi brahmannya, jenis sapi mahal, dan mulai menyebutkan pembunuhan yang terjadi—sekitar satu setiap enam minggu selama 18 bulan sebelumnya. Peternak itu memperkirakan kerugiannya untuk setiap pedet hampir 30 juta rupiah. “Kami memiliki pencari jejak yang amat berpengalaman, dan menurut mereka macan tutul itu betina muda atau jantan tua. Biasanya macan tutul datang kembali dua hari kemudian.”

Penggunaan pencari jejak—serta tengkorak yang ada di atas mejanya—menyiratkan bahwa macan tutul itu akhirnya tewas terkena peluru. Namun, peternak itu hanya berucap, “Kami hidup bersama macan tutul, jadi ada beberapa hal yang sebaiknya tak dibahas secara terbuka, karena jika melakukan sesuatu pada hewan ini, kami bisa ditangkap dan masuk penjara.” (Menurut hukum Afrika Selatan, kejahatan ini bisa dihukum dengan penjara dan denda, tetapi biasanya ringan.) Orang lain membunuh “ratusan setiap tahun”, katanya. “Hewan ini ditembak, diperangkap ke dalam lubang, disiram dengan bensin dan dibakar, beres.”

Sebagian kulit macan tutul juga dijual untuk memenuhi kebutuhan peribadatan pada Tuhan.

Pada hari minggu yang cerah di bulan Juli, di provinsi timur KwaZulu-Natal, ribuan jemaat berziarah tanpa alas kaki ke puncak bukit keramat, diiringi tiupan terompet dan dentum tambur. Para gadis berbaris telanjang dada, hanya mengenakan kalung manik-manik. Perempuan yang telah bersuami, berpakaian hitam, mengangkat payung hitamnya seiring bunyi terompet. Namun, kaum lelakilah yang berpenampilan paling menarik. Sekitar 1.200 orang berjalan dengan kulit macan tutul disampirkan di bahu, melingkari kening, otot biseps, pinggang, dan pergelangan kaki.

Di lapangan rumput kaum lelaki mulai menari bersama-sama seiring musik. Bagi Gereja Baptis Nazareth (atau “Shembe”), kelompok keagamaan Kristen berusia seabad yang berdasarkan tradisi Zulu, tarian merupakan bentuk ibadah dan meditasi. Kostum juga penting. Di masa lalu, bangsawan Zulu mengenakan kulit macan tutul untuk melambangkan kekuasaan dan memukau rakyatnya. Jemaat Shembe—akuntan, pengacara, birokrat, dan pedagang—mengatakan bahwa kulit macan tutul mendekatkan mereka kepada Tuhan dan nenek moyang.

Sebaliknya, pelestari macan terperanjat ketika mengetahui festival ini beberapa tahun lalu. Salah satunya menyebut peristiwa ini “pameran terbesar barang terlarang dari margasatwa langka di bumi”. Banyaknya kulit itu saja sudah cukup menampakkan keburukan di negara dengan populasi macan tutul yang menyusut, diperkirakan kurang dari 7.000 ekor. Sementara kulit itu juga perlu diganti secara berkala, setiap lima atau enam tahun, karena menjadi rapuh dan kisut setelah digunakan. Seiring bertambahnya jemaat gereja yang menghadiri beberapa acara setiap tahun, kepunahan spesies ini akan menjadi satu-satunya batas bagi permintaan kulitnya.

Bagi peneliti macan tutul Tristan Dickerson dari kelompok konservasi Panthera, satu hal yang menggembirakan pada ziarah yang pertama kali dikunjunginya adalah adanya jemaat yang mengenakan kulit macan tutul palsu, biasanya kulit impala yang dicat tutul secara serampangan. Ini memberinya ide untuk membuat kulit imitasi yang lebih baik. Dia mengembangkan desain menggunakan dasar vinil dan lapisan kain berbulu, dengan warna yang serupa dengan kulit macan tutul asli.

Pemimpin Shembe mendukung rencana tersebut, dan kini sanggar lokal membuat kulit imitasi dengan merek “Furs for Life”. Panthera telah mendistribusikan 9.000 kulit secara gratis kepada jemaat gereja dan nyaris tidak dapat memenuhi permintaan.

Pada hari Minggu saat saya berkunjung, hanya ada satu kulit asli yang dijual secara terbuka. Harganya sekitar 5,2 juta rupiah untuk jubah dari kulit bagian depan macan tutul, dan 5,7 juta rupiah untuk kulit punggungnya, cukup mahal untuk ukuran negara dengan pendapatan per kapita kurang dari 176 juta rupiah. Ada yang mengeluh bahwa kulit imitasi adalah cara orang kulit putih merusak tradisi Zulu. Orang yang lain menceletuk bahwa kulit palsu dari impala atau binatang lain pasti lebih diterima nenek moyang daripada vinil. Kendati demikian, sebagian besar tampaknya ingin mendapatkan kulit macan tutul imitasi. Dickerson menghitung bahwa 30 sampai 40 persen kulit macan tutul di pertemuan Shembe kini adalah kulit imitasi buatan Panthera naik dari lima, menjadi 10 persen dua tahun lalu. Itu belum tentu merupakan bukti cinta, atau bahkan toleransi, terhadap macan tutul. Namun, setidaknya berkurang satu alasan untuk membunuhnya.

India mungkin merupakan ujian sebenarnya bagi kemampuan bertahan hidup di dalam dunia yang padat. Selain itu, mungkin menjadi model untuk kondisi ini—karena macan tutul hidup di sana dalam jumlah yang besar. Mereka ada di luar kawasan lindung, dan sangat dekat dengan permukiman. Toleransi terhadap macan tutul umumnya tinggi.

Serangan terhadap manusia relatif jarang terjadi. Di India jauh lebih mudah mati akibat peradaban daripada akibat margasatwa: Di negara itu, setiap hari 381 orang tewas akibat kecelakaan jalan raya, 80 lebih di rel kereta, dan 24 mati tersetrum. Namun, pembunuhan oleh macan tutul selalu menjadi berita utama,  karena jarang terjadi dan juga karena menyentuh sesuatu yang primitif dalam jiwa manusia.

Menjelang siang hari pada suatu Sabtu bulan Mei, di pedesaan Junnar, 150 kilometer di timur Mumbai, sebuah mobil dinas pemerintah berhenti di rumah pertanian kecil. Pertemuan ini menyangkut kejadian tragis, tetapi semua pihak berlaku sopan. Di beranda depan yang besar, berdinding beton setinggi pinggang dan beratap seng, masyarakat menunggu petugas dari departemen kehutanan.

Enam hari sebelumnya, sekitar pukul 22.30 Minggu malam, anak berusia dua tahun bernama Sai Mandlik berlutut di bangku di beranda ini dan bermain mobil-mobilan di atas tembok. Neneknya bersantai di sofa di sampingnya. Di balik rumput setinggi 20 atau 30 meter dari situ, macan tutul melihat sesuatu: ada kepala yang bergerak maju mundur, tidak lebih besar daripada beruk yang menjadi salah satu mangsa alaminya. Dia mulai mengendap-endap. Jika beruntung, anak itu tidak pernah melihat macan tutul yang menyambarnya dari atas dinding dan membawanya pergi melintasi ladang. Neneknya menjerit. Seluruh keluarganya berhamburan keluar. Terlambat.

Sekarang tragedi itu tinggal menjadi ritual. Para perempuan duduk diam di lantai di ujung beranda. Pejabat lokal, beberapa orang tua, duduk di tengah beranda, dan di ujung lainnya, sang ayah duduk di tempat anaknya disergap macan, sementara karib kerabat dan handai tolannya duduk mengitarinya. Pejabat kehutanan memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa uang santunan tersebut, sekitar 167 juta rupiah, tidak dimaksudkan sebagai ganti rugi tetapi merupakan tanda bela sungkawa dari pemerintah, yang bertanggung jawab atas macan tutul.

Pihak keluarga mengajukan beberapa permintaan kecil, dan pejabat kehutanan berkata dia akan mencoba membantu, dan pertemuan itu pun selesai. Enam kilometer dari situ ada rumah lain yang harus dikunjungi dengan kisah yang kurang lebih sama. Ketika serangan macan tutul terjadi, biasanya beruntun. Sai Mandlik merupakan orang ketiga yang diserang di wilayah Junnar hanya dalam waktu dua minggu, dan orang kedua yang tewas.

Ini merupakan sebuah misteri: Biasanya, di Mumbai sekalipun, macan tutul dan manusia hidup berdampingan secara damai. Jadi, mengapa tiba-tiba serangan macan tutul di daerah seperti Junnar meruyak? Keesokan pagi setelah kunjungan ke rumah Mandlik, Vidya Athreya, seorang ahli biologi di Wildlife Conservation Society, duduk di tepi kebun tebu di kota Akole tidak jauh dari situ. Di laptopnya terlihat peta wilayah yang penuh dengan titik pirus besar yang menunjukkan semua tempat yang didatangi oleh macan tutul, selama penelitian lima tahunnya di sini. Baik informasi melalui perangkap kamera maupun kalung radio. Singkat kata, macan tutul terdapat di mana-mana, 11 ekor macan tutul dewasa berkeliaran pada malam hari di Akole dan sekitarnya, daerah tidak berhutan dan tanpa rusa atau mangsa besar alami lain. Di tempat itu, 20.000 orang beraktivitas pada siang harinya.

Pertanyaan pertama adalah, mengapa ada begitu banyak macan tutul? Seperti halnya di tempat lain di India, hal ini dipicu oleh ketergantungan pada tempat pembuangan sampah terbuka dan limbah pasar daging, yang menjadi sumber makanan anjing liar, babi liar, dan hewan kecil lainnya. Hukum federal dan gerakan pendukung hak hewan yang berpengaruh menghalangi penangkapan anjing liar. Jadi anjing dan hewan peliharaan lainnya pada gilirannya menjadi mangsa komunitas macan tutul yang terus berkembang. (Menurut penelitian Athreya, anjing dan hewan peliharaan merupakan 87 persen makanan macan tutul.)

Irigasi yang dibangun sejak 1980-an juga ikut menarik macan tutul. Di antara tanaman pertanian lain, kini tebu menjadi salah satu tanaman umum di daerah yang dahulu gersang seperti Akole dan Junnar, dan tebu yang tinggi dan lebat menjadi tempat persembunyian yang sempurna bagi macan tutul—dekat dengan desa, tumpukan sampah, dan anjing.

Suatu hari saat meneliti, tutur Athreya, dia melewati ladang tempat 15 perempuan memetik tomat, dan singgah untuk mengobrol dengan seorang petani. Oh, ya, kata petani tersebut, ia melihat macan tutul beberapa hari sebelumnya. Athreya tidak memberi tahu sang petani bahwa macan tutul itu sedang beristirahat di balik tebu pada saat itu, hanya 20 meter dari mereka. Para petani tersebut tidak perlu khawatir. “Macan tutul tidak haus darah seperti yang dibayangkan orang,” kata Athreya. “Hewan ini cukup rasional.” Antropolog Sunetro Ghosal, yang juga bekerja di Akole, menjelaskan bahwa “di masa lalu keduanya berbagi tempat” dan bahkan “berkompromi”, macan tutul dan manusia bersama-sama menghindari konfrontasi.

Untuk memahami penyebab gangguan hubungan manusia dan macan tutul, Athreya meneliti rangkaian serangan yang terjadi di wilayah Junnar dari tahun 2001 sampai 2003. Pada saat itu kebetulan departemen kehutanan memerangkap banyak macan tutul, lebih dari seratus, di wilayah bermasalah di Junnar, terutama setelah hewan ini menyerang ternak. Hewan tersebut dilepaskan di hutan rata-rata 30 kilometer dari tempat penangkapan—teknik umum untuk menangani karnivora bermasalah di seluruh dunia. Namun setelah relokasi, Athreya dan timnya menemukan bahwa serangan terhadap manusia di Junnar meningkat 325 persen, dan persentase serangan yang mematikan menjadi dua kali lipat.

“Ini kasus umum macan yang terguncang jiwanya,” kata Athreya. Hewan itu terguncang akibat trauma terperangkap di kotak, ditangani oleh manusia, lalu dibuang ke tempat asing dan di wilayah yang sudah dikuasai oleh macan tutul lainnya. Banyaknya serangan itu bukanlah akibat watak ganas macan tutul. Menurut Athreya dan rekan penelitinya: “Translokasi menyebabkan serangan terhadap manusia.”

Jajaran departemen kehutanan memahami hal itu ketika Athreya pertama kali mempresentasikan penelitiannya satu dekade lalu. Taman Nasional Sanjay Gandhi di Mumbai tidak lagi menerima macan tutul yang direlokasi. (Seperti halnya Junnar, di sana juga terjadi banyak serangan mematikan terhadap manusia.) Media di kota ikut membahas bahwa memindahkan macan tutul lebih berbahaya daripada membiarkannya di tempat semula. Lokakarya di sekitar taman, mulai menyebarluaskan gagasan yang lebih besar bahwa kehadiran macan tutul di lingkungan mereka belum tentu berarti “konflik”. Menyingkirkan macan tutul—hal pertama yang biasanya dituntut oleh penduduk kota—mengganggu sistem sosial dan membuka wilayah itu bagi macan tutul baru yang mungkin kurang berpengalaman dalam urusan “kompromi”. Lokakarya itu juga menekankan sisi manusia dalam kompromi tersebut, termasuk tindakan pencegahan dasar seperti menjaga anak-anak di dalam ruangan pada malam hari.  Pesan yang terus disampaikan adalah bahwa macan tutul di Mumbai, Akole, dan daerah lainnya bukanlah “penyusup”. Hewan itu adalah sesama penghuni.

Akan tetapi, hidup dengan cara ini tidak selalu mudah. Terutama bagi jagawana departemen kehutanan yang harus mendatangi korban serangan, serta sering kali dikepung dan bahkan dipukuli oleh warga marah yang menuntut tindakan pemerintah. Mereka juga mendapat tekanan dari politisi lokal. Jadi perangkap masih tetap dipasang, agar orang melihat ada tindakan untuk mengamankan mereka, meskipun sebenarnya hal itu justru meningkatkan bahaya terhadap manusia. Beberapa macan tutul “bermasalah” dikurung di fasilitas “penyelamatan” yang sesak di seantero negeri, sekalipun sesungguhnya tak ada cara untuk menentukan hewan mana yang bermasalah, selain tertangkap basah bersama korban.

Jadi, tidak lama setelah pembunuhan terakhir di Junnar, seorang jagawana mengirimi saya surel: “Dengan gembira kami kabarkan bahwa kami telah menangkap seekor macan tutul jantan.” Dia menyatakan bahwa hewan itu “macan tutul yang menyerang anak lelaki bulan lalu.” Jantan itu akan menghabiskan sisa hidupnya di fasilitas “penyelamatan macan tutul” di Junnar, yang sudah hampir penuh kapasitasnya, ditempati oleh 28 macan tutul. Kebanyakan macan tutul yang terjebak dalam perangkap biasanya dibebaskan, meskipun untuk alasan yang jelas departemen kehutanan tidak bersedia mengungkapkan jumlah macan tutul yang dilepaskan di Junnar, atau lokasi pelepasannya. Dua minggu setelah itu, macan tutul lain membunuh dan mencabik-cabik seorang wanita 60 tahun di kebun beberapa kilometer dari tempat Sai Mandlik meninggal.

Saya meninggalkan India dengan anggapan bahwa masalah macan tutul di sana itu sulit dan semrawut, sangat berbeda dengan kehidupan di negara yang lebih maju. Setiba di rumah saya mendapat laporan bahwa ada puma yang terlihat enam kilometer dari rumah saya di pesisir Connecticut, diikuti oleh berita kehadiran beruang hitam di Kota New Haven tidak jauh dari situ. Puma sekarang berkeliaran di Los Angeles, coyote di Chicago, serigala di pinggiran Roma, hiu putih besar di lepas pantai Cape Cod. Seiring bertambahnya populasi manusia dan urbanisasi, tampaknya karnivora lain juga beradaptasi dan belajar untuk hidup di tengah manusia. Hal ini memang menakutkan, tetapi belum tentu selalu buruk: Penelitian berulang kali menunjukkan bahwa populasi predator yang sehat sangat penting bagi kesehatan hampir semua hal lainnya. Sekalipun bukan dewa, hewan ini setidaknya dapat mengendalikan ekosistem.

Perlahan-lahan, pengalaman macan tutul di India tidak lagi terlihat seperti keajaiban dari dunia lain tetapi lebih seperti gambaran cara hidup yang harus dipelajari oleh kita semua.