Wajah Wanita Saudi Kini

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 09:00 WIB

Di ruang duduk keluarganya, Noof Hassan cepat-cepat duduk di sofa dan menuangkan kopi arabika untuk kami. Dia mencoba mengucapkan kata “headhunted” (direkrut untuk bekerja). Dia belum pernah mempelajari kata ini di kelas bahasa Inggris di sekolah, dan ketika mendengar saya menggunakan kata itu, dia meminta saya mengulanginya karena sangat menyukainya. “Ya!” serunya. “Saya pernah direkrut untuk bekerja. Saya menerima banyak tawaran kerja. Namun, kali ini bahkan bos saya sendiri yang berkata, ‘Kami tidak ingin Anda pergi—namun, ini memang tawaran bagus.’”

Noof berusia 32 tahun, rambutnya cokelat dan tebal, kulitnya cokelat muda, dan matanya lonjong berbinar. Apartemen tempatnya tinggal bersama suaminya, Sami, dan dua putra yang masih kecil adalah satu lantai bangunan berlantai tiga di lingkungan padat di Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Dua tahun silam, ketika saya baru mengenalnya, dia bekerja sebagai manajer di pabrik pengolahan makanan, mengawasi dua belas orang pekerja di sayap gedung yang khusus ditempati pekerja wanita. Ini adalah eksperimen yang merupakan bagian dari kampanye nasional untuk menarik kaum wanita Saudi melakukan pekerjaan berbayar. Sekarang, di pabrik perakitan bola lampu yang baru saja merekrutnya, Noof bertanggung jawab mengawasi pegawai berjumlah sepuluh kali lipat. Gajinya pun jauh lebih besar.

“Mereka memberi saya julukan,” katanya. Para wanita yang diawasi Noof bekerja di daerah yang terlarang bagi kaum pria, tetapi kantor para manajer di perusahaan ini sifatnya “campuran” kata warga Saudi: yaitu pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan darah atau perkawinan, bekerja berdekatan setiap hari. Arab Saudi adalah negara di Bumi yang paling ketat melakukan pemisahan berdasarkan gender. Perubahan yang menegangkan, rapuh, dan luar biasa sedang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari kaum wanita di negara kerajaan itu. Beberapa generasi mendapat semangat dari kebijakan baru, terkait tenaga kerja dan dorongan dari almarhum Raja Abdullah bin Abdulaziz. Sekarang mereka berdiskusi tentang apa artinya menjadi masyarakat yang benar-benar modern sekaligus benar-benar memegang teguh budaya Arab. Percampuran gender ini memang masih sangat kontroversial. Ada sejumlah wanita di negara ini yang bahkan tidak sudi mempertimbangkan tawaran pekerjaan yang memberlakukan percampuran tersebut.

Ada wanita yang mungkin bersedia mempertimbangkan kondisi kerja seperti itu, tetapi dilarang oleh orang tua, atau suami, atau kerabat yang khawatir yang berkata, tidak, hal tersebut dipandang tidak selayaknya dilakukan oleh wanita baik-baik. Ada juga wanita yang merasa cukup nyaman untuk bergaul dengan rekan-rekan prianya. Dalam dekade terakhir, program beasiswa pemerintah telah mengirim ribuan wanita Saudi untuk belajar ke luar negeri, dan saat mereka kembali ke tanah air, banyak yang sudah tidak sabar ingin mempercepat langkah perubahan itu.

Noof menetapkan persyaratan pribadi di kantornya: maaf, saya tidak ingin ada kontak fisik dengan pria, sehalus apa pun. “Wanita yang melatih saya mengerti,” kata Noof. “Saya katakan kepadanya, ini persoalan agama. Saya tidak boleh menyentuh pria yang bukan ayah saya, paman saya, saudara saya.”

Karena itulah dia mendapat julukan itu. “Ibu No Jabat Tangan,” kata Noof sambil tertawa terpingkal-pingkal hingga nyaris terjatuh dari sofa. Tawa Noof, yang begitu renyah dan menular, adalah salah satu alasan yang menyebabkan kami bersahabat. Dia cerdik dan tangguh. Dia mengejek orang yang sok memberi saran atau yang bersikap kasar. Saat berusia 20-an tahun, dia menolak pelamar yang disukai keluarganya karena dia bertekad untuk menikah dengan Sami, pria yang dicintainya. Dia memperkirakan sudah menonton film Titanic setidaknya sepuluh kali ketika masih remaja. (Ketika saya ingatkan bahwa Titanic menayangkan adegan seks panas yang dilakukan oleh para tokoh yang belum menikah, Noof tenang saja. “Ya, tidak apa-apa,” katanya. “Memang begitu kan budaya mereka.”)

!break!

Saya menceritakan kepada Anda hal-hal ini karena Sami hendak mengantar kami dengan mobil ke pusat pertokoan agar Noof dapat membantu saya memilih abaya baru, gaun yang panjangnya semata kaki untuk menutupi seluruh tubuh, yang harus dipakai kaum wanita di Arab Saudi. Saya juga ingin Anda melihatnya sebelum dia membuka lemari pakaiannya di kamar tidur untuk mengambil salah satu abayanya, yang semuanya berwarna hitam. Abaya warna-warni mulai populer di Jeddah, kota pelabuhan yang tidak terlalu konservatif di bagian barat. Tetapi di Riyadh, abaya bukan hitam yang dipakai di depan umum, masih mengundang pandangan sinis dari orang-orang tidak dikenal dan kemungkinan akan ditegur oleh polisi agama yang berpatroli di jalanan. Abaya yang dipilih oleh Noof memiliki pinggiran bercorak kotak-kotak berwarna abu-abu, dengan semburat warna merah di bagian kotak-kotaknya. Noof membelinya di Jeddah. Noof memakai abaya di atas rok dan blusnya.Dia melilitkan tarha hitamnya, yaitu jilbab arab yang panjang, menutupi rambutnya dan bagian bawah dagunya, kemudian sekali lagi dililitkan di atas kepalanya.

“Di mana dompetku?” tanya Noof. Sami menyodorkannya. Kemudian, sebelum melintasi gerbang depan apartemen mereka, Noof menata sisa tarhanya agar sepenuhnya menutupi wajah, sehingga menjadi tak terlihat; yang masih nampak hanyalah kulit tangannya tanpa sarung tangan. Kami naik ke mobil Toyota, Sami dan Noof duduk di depan, melaju menembus malam menuju ke pertokoan.

!break!

Kini, aturan “satu-satunya bangsa di dunia” di Arab Saudi sudah dipahami dunia luar. Satu-satunya bangsa di dunia yang melarang wanita mengemudikan mobil. Satu-satunya negara yang mengharuskan setiap wanita dewasa berada di bawah pengawasan wali pria yang diakui secara hukum, ayah atau suami atau anggota keluarga lainnya, harus mendapatkan izin resmi sebelum bisa memperoleh paspor, atau bepergian ke luar negeri. Negara terakhir, selain Vatican City, yang memberikan hak suara bagi wanita; masa pendaftaran perdana itu baru berlaku pada Agustus 2015.

Di Arab Saudi, semua restoran yang menerima pengunjung pria dan wanita membagi wilayah makan, satu untuk para “lajang”, yang berarti kaum pria, dan satu untuk “keluarga,” yang berarti wanita, anak-anak, dan pria yang merupakan kerabat dekat.

Segala macam hal praktis, termasuk tata letak fisik bangunan, diatur untuk menghormati mandat bahwa wanita Saudi harus dipisahkan dari kaum pria. Ketika Raja Abdullah menyatakan pada 2011 bahwa beliau akan mulai menunjuk wanita untuk duduk di dewan penasihat kerajaan, yakni Shura, suara lantang bermunculan di seluruh negeri. Suara ini datang dari kedua belah pihak—kegeraman pihak konservatif, dan kegembiraan para pembela wanita—yang juga mencuatkan pertanyaan serius tentang bagaimana pengaturan tempat duduk para wanita yang ditunjuk ini. Apakah mereka harus ditempatkan di ruang terpisah, dan terhubung ke rekan-rekan mereka melalui video? Hampir semua sekolah di Arab Saudi memiliki murid satu gender saja, termasuk para guru, dan video adalah sarana yang digunakan dosen di perguruan tinggi untuk mengajar mahasiswa yang gendernya berlainan.

Bahkan kampanye “feminisasi pekerjaan” untuk mendorong wanita Saudi memasuki angkatan kerja, suatu prakarsa lima tahun, yang juga diperintahkan dan diperjuangkan oleh Raja Abdullah sebelum wafat tahun 2015, disusun dengan aturan pemisahan yang rumit. Setiap tempat kerja yang mempekerjakan kedua gender itu harus menetapkan daerah yang tidak boleh dimasuki pria agar para wanita bisa merasa lebih “nyaman”—saya mendengar kata itu diucapkan para wanita, berulang-ulang.

Jadi, saya bertanya: Bantu saya untuk memahami. Mengapa hal itu lebih nyaman?