Wajah Wanita Saudi Kini

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 09:00 WIB

Kemudian jawaban para wanita itu selalu dimulai dengan cara yang sama: Di area yang semuanya wanita kan kita bisa membuka abaya, bisa rileks, dan …

Mengapa kalian tidak bisa membuka abaya di depan pria?

Saat itulah mereka memandang saya sejenak dengan tenang, lalu menarik napas panjang sembari mengangguk, dan berkata, Oh, baiklah, kita harus menjelaskan lagi nih.

Karena kami warga Saudi, dan di dalam negeri kami tidak pernah membuka abaya jika ada pria di sekitar kami. Itu tentu jawaban termudah, tetapi tidak seorang pun pernah menjawab dengan kalimat seperti itu; kewajiban untuk menyembunyikan bentuk tubuh wanita dari pria bukan muhrim, bisa rumit juga bagi warga Saudi. Hampir setiap wanita yang saya ajak bicara tentang penutupan tubuh wanita ini menyebut-nyebut tradisi, tekanan masyarakat, ketaatan pada agama, kesetiaan suku, dan keutamaan budaya Arab dalam hal kehormatan. Suatu jaminan bahwa kehormatan wanita—kesetiaan dan kejujurannya jika dia sudah menikah; kesopanan dan keperawanannya jika dia belum menikah—tetap tak ternoda.

Jangan membayangkan bahwa satu-satunya penegak standar tersebut adalah pria. Kaum ibu, bibi, saudara wanita, juga wanita pejalan kaki yang kebetulan lewat, tidak ragu menegur wanita lain yang tidak mereka kenal. “Mengapa kamu berusaha untuk menarik perhatian pria? Tutup tubuhmu!” seorang wanita Riyadh berusia 25 tahun dengan kesal menirukan teguran tersebut dari orang yang tak dikenalnya. “Dia menutupi tubuhnya dari kepala sampai mata kaki dan meminta wanita lain untuk berpakaian persis seperti dia.”

Jubah wanita Saudi adalah abaya—bukan cadar (Iran) atau burka (Afganistan). Meskipun wanita yang sangat konservatif kadang memakai berbagai jenis penutup tubuh, pada umumnya abaya merupakan pakaian dari leher ke bawah; seperti jubah hakim. Wanita di depan umum boleh melepaskan abaya di dalam dan sekeliling rumah sakit, di dalam kawasan perumahan yang memiliki gerbang khusus untuk menghalangi masuknya orang asing, dan di tempat fasilitas khusus wanita. Di luar tempat tersebut, tidak boleh. Lelaki mengenakan jins atau kemeja dan celana, atau jubah arab bernama thobe.

Tidak ada hukum yang benar-benar mewajibkan pemakaian abaya. Empat dekade yang lalu, wanita Saudi yang sudah berumur menjelaskan kepada saya, tradisi untuk menutupi seluruh tubuh dan berperilaku ternyata bermacam-macam di seluruh kerajaan, menurut wilayah, kelas, serta pedoman dalam keluarga dan suku seseorang. Pada masa itu, kerajaan Arab Saudi adalah negara muda—didirikan pada 1932, meraih kekayaan dengan uang dari minyak, dan masih merangkul berbagai macam budaya Arab, mulai dari suku yang tinggal di padang pasir yang menganut tradisi kuno hingga kota kosmopolitan di pesisir.

Dan di daerah Arab tertentu di masa itu, para wanita yang sudah berumur masih mengingat, wanita bisa saja keluar rumah dengan mengenakan abaya pendek yang santai atau mengenakan pakaian sederhana tanpa penutup luar. “Pada umumnya kami bepergian tanpa kerudung,” demikian ujar seorang dokter anak berusia 70-an yang sudah pensiun di Riyadh. “Duduk dengan pria bukan muhrim di restoran? Tidak masalah, selama kita berperilaku sopan. Dan kemudian—terjadi perubahan. Menurut saya, peraturan dibuat demikian ketat dengan asumsi bahwa pria dan wanita pasti berperilaku tidak senonoh jika aturannya lemah. Di dalam pikiran, di dalam hati.”

!break!

Perubahan itu dimulai pada 1980-an, tatkala gerakan Islam konservatif mulai berkembang di seluruh kawasan Timur Tengah. Pemerintah Saudi merekrut polisi agama melalui tindakan tegas yang diterapkan di seluruh negeri, yang memberlakukan kekakuan budaya yang paling konservatif pada semua warga Saudi. Kurikulum sekolah diubah. Musik dibungkam sebagai budaya yang tidak Islami. Pasangan yang berjalan atau mengemudi bersama-sama di depan umum dipaksa menunjukkan surat nikah kepada polisi.

Dan yang menentukan, adalah kritik terhadap kaum wanita: karena merangkul pengaruh Barat, karena tampil di luar rumah tanpa wali laki-laki, karena berbicara dengan suara yang mungkin menarik perhatian atau merayu pria, karena tidak menutup tubuh sepenuhnya dengan pakaian hitam.

Warga Saudi geli oleh upaya saya untuk memahami hal ini. Kami menutup wajah, demikian kata mereka, ketika merasa hal itu selayaknya dilakukan. Ketika keluarga kami menaati imam yang bersikeras. Ketika pesan yang ingin kami sampaikan adalah hormati saya, bukan lihatlah saya. Para wanita berdebat tentang niqab, kata yang digunakan warga Saudi untuk kain hitam bertali yang dibuat khusus untuk menutupi wajah. Saya pernah menyaksikan perdebatan sengit di antara tiga feminis Riyadh tentang perlu tidaknya mengenakan niqab. Salah seorang bersikeras bahwa wanita modern yang “memilih” untuk menutupi wajahnya, melakukan hal ini hanya karena ditekan oleh masyarakat yang menindas di sekelilingnya.

Noof Hassan-lah yang  pada akhirnya memberikan penjelasan yang paling masuk akal tentang jilbab, “Melepaskan dan mengenakan kembali tarha bukan sesuatu yang merepotkan bagi kami.”  Masyarakat Saudi masih kental rasa kesukuannya dalam banyak hal; wanita dan pria sama-sama merasa orang di sekitar mereka memerhatikan, berasumsi tentang pedoman perilaku keluarga mereka, memberikan penilaian. Dayooth berarti pria yang tidak cukup mewaspadai istri dan saudara perempuannya yang kehormatannya seharusnya dia jaga. Ini cap yang menunjukkan bahwa pria itu bukan pria yang cukup kuat. “Pengecut” kata yang terlalu halus untuk mengungkapkan hal itu.