Wajah Wanita Saudi Kini

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 09:00 WIB

Attar, bersama pemimpin bisnis lain dan pemimpin akademis dari seluruh kerajaan, mendirikan Baladi lima tahun yang lalu untuk membujuk wanita Saudi agar mau menerima prospek voting dan menjadi pejabat publik. Untuk pertama kalinya, setelah hampir setengah abad, pemilu diikuti kaum pria pada 2005, dan satu-satunya jabatan yang tersedia adalah kursi dewan kota, posisi tanpa otoritas. Kerajaan Arab Saudi bukan monarki konstitusional. Tidak ada perdana menteri yang berdiri sendiri, tidak ada parlemen. Kontrol mutlak tetap di tangan Al Saud, yang kini merupakan keluarga yang sangat besar yang juga menjadi nama negara tersebut.

“Kadang kami berada di abad ke-21, dan kadang di abad 19,” kata seorang profesional wanita Riyadh yang pernah tinggal di luar negeri, “Dan bayangkan diri Anda hidup pada masa Abad Pertengahan di Eropa, dengan Gereja Katolik.” Maksudnya, di Arab Saudi, secara resmi para pemimpin agama yang dogmatis dan dinasti kerajaan masih berbagi kekuasaan.Penghinaan terhadap Islam atau ancaman terhadap keamanan negara—keduanya adalah kategori yang sangat luas, yang mencakup penulisan di blog, media sosial, dan pembelaan diri secara terbuka yang dilakukan orang-orang yang sudah dianggap tertuduh—adalah kejahatan yang diancam hukuman penjara, cambuk, atau hukuman mati. Eksekusi dilakukan dengan pemenggalan kepala di depan umum. Organisasi yang mengelola polisi agama disebut Komite Penegakan Kebajikan dan Pencegahan Perbuatan Tercela.

Keyakinan bahwa kebajikan masyarakat dan perbuatan tercela dapat diatasi dengan memisahkan kaum pria dan wanita—bahwa secara kodrati kaum pria itu penuh nafsu dan kaum wanita itu penggoda, sehingga untuk menjadi Muslim yang baik diperlukan peringatan terus-menerus tentang bahaya kontak fisik—begitu mendasar dalam kehidupan sehari-hari sehingga pendapat tersebut sering muncul berupa penjelasan yang berulang-ulang. Alasan mengapa kolam renang hotel tidak mengizinkan wanita masuk atau menyisihkan waktu khusus untuk wanita: Pria mungkin melihat sekilas bentuk tubuh wanita yang bergerak di dalam air. Alasan mengapa kebanyakan toko pakaian di Saudi tidak menyediakan ruang pas pakaian: Wanita tidak akan mau melepaskan pakaian mereka mengingat ada pegawai pria di ruangan di balik pintu ruang pas pakaian.

Dan larangan terkenal tentang pengemudi wanita? Pertama, mereka berkata bahwa cepat atau lambat dapat dipastikan wanita Saudi akan diperbolehkan mengemudi, meskipun subsektor ekonomi berkembang—sopir taksi, sopir pribadi, industri perekrutan yang mendatangkan para pengemudi dari luar negeri—yang menenggelamkan aturan khusus-pria. Ada sejumlah wanita yang sudah biasa mengemudi, di gurun atau daerah lain, di tempat tidak ada yang memerhatikan. 

Reaksi kedua adalah pertimbangan dengan kepala dingin mengenai perdebatan anti-wanita mengemudi. Pendapat bahwa wanita terbukti tidak layak di belakang kemudi dan menyebabkan kecelakaan—itu keterlaluan.  Pendapat bahwa wanita pasti berselingkuh dan meninggalkan keluarga jika bisa keluar rumah kapan saja—hanya para syekh yang pikirannya sangat terbelakang yang masih berpendapat begitu, kata seorang wanita yang saya ajak bicara. Kabarnya Raja Abdullah sendiri yang mendesak kami untuk bekerja. Bagaimana kami bisa bekerja dengan baik jika harus bergantung pada orang lain untuk tiba di tempat bekerja secara tepat waktu?

!break!

Kekhawatiran, yang dikatakan baik oleh wanita maupun pria kepada saya, adalah bagi para pengemudi itu: Para wanita pertama yang akan mengemudi sendiri setelah mendapatkan SIM, berada di dalam suasana yang pasti diciptakan oleh sejumlah pria, yang menunjukkan sikap merendahkan dan melecehkan. “Saya telah berbicara dengan para wanita di pabrik tentang hal ini,” kata Noof. “Ada yang berkata kepada saya, bahwa kakak laki-lakinya mengatakan, ‘Jika saya menemukan wanita mengemudi, saya akan menghentikan mobilnya dan memaksanya turun.’ Banyak pria tidak berpendidikan, begitu menurut pendapat saya. Mereka menulis tentang hal ini di media sosial. ‘Kami akan memaksa kalian berhenti mengemudikan mobil.’”

Kakak laki-lakinya itu, kami bertanya-tanya—apakah dia berencana untuk melindungi adiknya dari para pelaku pelecehan? Kami membalik-balik abaya yang tergantung di pertokoan, yang kemudian saya ketahui terbuat dari kain yang dapat melar dan bisa dicuci dengan mesin, cocok untuk berjalan cepat atau piknik di gurun; dihiasi sulaman indah pada abaya untuk bekerja atau mengunjungi keluarga besar; abaya mewah untuk acara istimewa, dihiasi batu gemerlapan atau rimpel atau—wow!—dihiasi bulu burung merak yang dijahitkan langsung ke kain abaya. “Tidak,” kata Noof dengan tegas, sambil membalik-balik dan memicingkan mata dan meraba. “Tidak. Tidak. Tidak.” Lalu dia berhenti, tangannya memegang abaya berlengan abu-abu tua dengan pita hitam satin di pergelangan tangan. “OK, mudah-mudahan kamu suka yang ini,” kata Noof. “Lembut.”

Anggota wanita di shura dilantik pada pagi hari di bulan Februari 2013, ada yang mengenakan niqab hitam atau kain yang menutupi wajah, namun ada juga yang tidak mengenakannya. Kursi wanita berada di ruang-ruang besar di kantor dewan, berdampingan dengan yang ditempati kaum pria. “Memang semua anggota wanita dikelompokkan menjadi satu,” kata Thoraya Obaid, mantan Undersecretary General Dana Populasi PBB, salah satu anggota baru Shura. “Namun, tidak ada dinding dan tidak ada pemisahan. Dan kami berhasil menjadi anggota Shura. “

Obaid bertugas selama 35 tahun di PBB, tetapi jelas dia bukan satu-satunya anggota Shura yang memiliki ijazah profesional dan pendidikan internasional. “Dari 30 orang wanita, 27 memiliki gelar medis, atau Ph.D.,” katanya. “Dua orang adalah putri bangsawan yang sudah sangat lama berkecimpung dalam kegiatan sosial dan juga pekerja sosial.”

Dengan kata lain, Raja menginginkan profesional wanita yang berpendidikan. Di Arab Saudi tidak sulit menemukan kemarahan yang disuarakan secara pribadi kepada keluarga kerajaan. Kerajaan yang mempertahankan kekuasaan tak tergoyahkan atas kekayaan minyak negara, menggunakan kekuasaan negara yang menindas untuk membungkam setiap seruan diwujudkannya pemerintah hasil pemilu, dan sering menerima ulasan tajam dari organisasi hak asasi manusia internasional. Meskipun begitu, setiap kali nama Raja Abdullah disebut, biasanya wajah para wanita menjadi ceria. “Saya ingat pernyataan beliau dalam bahasa Arab: La tahmeesh, yang berarti, ‘Tidak ada lagi pengabaian kaum wanita,’” kenang Hanan Al-Ahmadi, pejabat tinggi di pemerintahan yang menghadiri acara saat raja mengumumkan niatnya untuk menyertakan wanita dalam Shura. “Para wanita, termasuk saya, berlinang air mata.”

Al-Ahmadi diangkat menjadi anggota Shura. Ia mendukung pemberian SIM kepada kaum wanita, tetapi seperti Noof dan banyak orang Saudi lainnya yang saya ajak bicara, berkata bahwa ketertarikan negara-negara Barat pada kasus mengemudi ini justru semakin menguatkan perlawanan di seluruh negeri, bukan mendatangkan dukungan. “Khalas,” kata Al-Ahmadi. Cukuplah sudah. “Persoalan ini sudah terlalu dipolitisasi. Kadang saya pergi ke berbagai tempat yang sering dikunjungi banyak wanita, dan ada yang datang menghampiri saya dan berkata, ‘Apakah Anda pikir kami peduli tentang wanita mengemudi? Hal tersebut bukan tujuan utama kami. ‘”

Jika kita menanyakan kepada wanita dari negara mana pun mengenai tujuan utama mereka, jawaban akan datang membanjir dari berbagai arah. Demikian pula di Arab Saudi; saya pernah mendengar dan membaca bahwa kaum wanita mempermasalahkan tingginya angka perceraian dan sistem perceraian itu sendiri (pihak ayah mendapatkan hak asuh semua anak, kecuali anak yang masih sangat kecil); aturan kewarganegaraan berstandar ganda (mendapatkan kewarganegaraan sangat mudah bagi wanita asing yang menikah dengan pria Arab, tetapi hampir mustahil untuk pria asing yang menikahi wanita Saudi); dan perlakuan terhadap sejumlah wanita Saudi yang baru mulai bekerja (jam kerja panjang, upah rendah).

!break!

Persyaratan bahwa setiap wanita harus memiliki wali laki-laki yang ditunjuk juga menimbulkan kegeraman. Secara resmi, wanita seharusnya boleh bekerja, menerima perawatan medis, atau mendaftar di universitas tanpa izin walinya. Namun, di Arab Saudi, hukum resmi sering dikalahkan oleh tradisi, penafsiran yang berbeda-beda tentang kewajiban agama, atau ketakutan akan konsekuensi yang berasal dari keluarga wanita. (Beberapa pengusaha tidak bersedia mempekerjakan wanita, misalnya, tanpa persetujuan walinya.) Dan ada juga pria yang menggunakan kekuasaan mereka sebagai wali, begitu kata banyak wanita, untuk menghukum, mengendalikan, memanipulasi.

Semua ini adalah tantangan berat, tetapi unik, yang harus diatasi satu per satu, begitu yang berulang-ulang diutarakan beberapa wanita kepada saya. Selain itu, dibutuhkan strategi cermat mengingat di negeri ini keyakinan agama, kehormatan keluarga, dan kekuasaan negara berkelindan begitu erat.

Lima tahun, kata Noof: Itulah perkiraan waktu yang diyakininya akan diperlukan sampai kelak wanita Saudi diperbolehkan mengemudi. Bukan karena mengemudi itu hal yang benar-benar dia pedulikan. Dia tidak memiliki kepentingan mendesak untuk belajar mengemudi. Larangan itu larangan yang tidak disukai wanita pekerja yang berusaha keras untuk menjalani kehidupan modern sambil tetap berpegang teguh pada keimanannya dan kebangsaannya; bahkan para ulama Saudi pun mengakui bahwa dalam Alquran atau kitab suci lainnya, tidak ada larangan bagi wanita untuk mengemudi. Noof dan Sami mempekerjakan seorang pengemudi dan menggunakan jasanya bersama kerabat lainnya, dengan gaji bulanan  kurang lebih tiga belas juta rupiah, besaran gaji yang dianggap terlalu besar bagi banyak keluarga lainnya.

Namun, seperti sejumlah wanita yang saya ajak bicara, Noof berkata dengan perasaan lega bahwa Raja Abdullah tidak pernah menggunakan kekuasaannya sebagai raja untuk memaksakan penerbitan SIM bagi wanita—dan penerusnya yang juga adiknya, Raja Salman bin Abdulaziz, juga tidak melakukan pemaksaan itu. “Selangkah demi selangkah,” kata Noof. Dia menyukai opsi bertahap yang sedang didiskusikan, seperti menawarkan SIM mula-mula hanya kepada wanita berumur yang sudah menikah, yang penampilannya yang berwibawa di kursi pengemudi mungkin membuat malu para pria pemarah yang berniat melecehkan sehingga mereka terpaksa menahan diri. “Aturan bagi wanita untuk diperbolehkan mengemudi akan berlaku di suatu saat kelak, saya yakin itu,” katanya. “Namun, jika aturan itu diterbitkan esok hari, pasti akan muncul kekacauan besar.”

Saya membeli abaya yang dipilihkan Noof. Harganya sekitar lima ratus ribu rupiah dan modelnya anggun, dengan kaitan hitam menutupi bagian depan. Namun saya tidak langsung memakainya karena Sami mengajak kami main boling, dan saya tidak ingin sepatu saya mengotori keliman abaya baru itu. Noof menarik kembali tarha untuk menutupi wajahnya. Lalu lintas Riyadh malam itu sangat padat. Noof memerhatikan Sami mengemudi. Tampaknya dia merasa masih perlu meyakinkan orang asing di kursi belakang, bahwa me-nempatkan kakinya sendiri pada pedal gas bukanlah hal yang paling diinginkannya dalam kehidupan ini.

“Benar-benar membuat pusing,” katanya. “Mengapa pula saya ingin memusatkan perhatian ke jalanan? Saya bisa duduk nyaman dan chatting di ponsel, ‘OK, sudah sampai.’ Saya tak usah repot mencari tempat parkir.”

Arena bolingnya ternyata memiliki 12 lajur. Pria mengenakan thobe, wanita berabaya, dan anak-anak bermain boling bersama-sama pada setiap lajur. Sementara itu, seorang pria dan seorang wanita berniqab bermain biliar dan bergerak ke berbagai sudut, bergantian mendorong bola memasuki saku di sudut meja.

“Tentu saja kamu harus menang,” kata Noof dengan tegas. “Kalau tidak, saya bukan nyonya rumah yang baik.”

Saya tidak menang. Skornya, meskipun Noof adalah nyonya rumah yang begitu baik sehingga tidak sampai hati mengatakannya dengan suara lantang, berselisih jauh. Dia tahu cara menggelindingkan bola boling di balik lipatan abayanya dan meluncurkannya dengan cepat, dengan berputar.

Wajah Wanita Saudi Kini 

 

Dalam masyarakat yang sangat konservatif, kaum perempuan secara hati-hati mendefinisikan kembali batas-batas penampilan yang terhormat di depan umum. Mereka wajib menampilkan sikap bersahaja di lingkungan orang tak dikenal, tetapi ada sejumlah perempuan yang sekarang merasa nyaman menggunakan media sosial seperti Instagram untuk mengungkapkan jati diri mereka.

 

Oleh Cynthia Gorney

Foto oleh Lynsey Addario

 

Di ruang duduk keluarganya, Noof Hassan cepat-cepat duduk di sofa dan menuangkan kopi arabika untuk kami. Dia mencoba mengucapkan kata “headhunted” (direkrut untuk bekerja). Dia belum pernah mempelajari kata ini di kelas bahasa Inggris di sekolah, dan ketika mendengar saya menggunakan kata itu, dia meminta saya mengulanginya karena sangat menyukainya. “Ya!” serunya. “Saya pernah direkrut untuk bekerja. Saya menerima banyak tawaran kerja. Namun, kali ini bahkan bos saya sendiri yang berkata, ‘Kami tidak ingin Anda pergi—namun, ini memang tawaran bagus.’”

Noof berusia 32 tahun, rambutnya cokelat dan tebal, kulitnya cokelat muda, dan matanya lonjong berbinar. Apartemen tempatnya tinggal bersama suaminya, Sami, dan dua putra yang masih kecil adalah satu lantai bangunan berlantai tiga di lingkungan padat di Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Dua tahun silam, ketika saya baru mengenalnya, dia bekerja sebagai manajer di pabrik pengolahan makanan, mengawasi dua belas orang pekerja di sayap gedung yang khusus ditempati pekerja wanita. Ini adalah eksperimen yang merupakan bagian dari kampanye nasional untuk menarik kaum wanita Saudi melakukan pekerjaan berbayar. Sekarang, di pabrik perakitan bola lampu yang baru saja merekrutnya, Noof bertanggung jawab mengawasi pegawai berjumlah sepuluh kali lipat. Gajinya pun jauh lebih besar.

“Mereka memberi saya julukan,” katanya. Para wanita yang diawasi Noof bekerja di daerah yang terlarang bagi kaum pria, tetapi kantor para manajer di perusahaan ini sifatnya “campuran” kata warga Saudi: yaitu pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan darah atau perkawinan, bekerja berdekatan setiap hari. Arab Saudi adalah negara di Bumi yang paling ketat melakukan pemisahan berdasarkan gender. Perubahan yang menegangkan, rapuh, dan luar biasa sedang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari kaum wanita di negara kerajaan itu. Beberapa generasi mendapat semangat dari kebijakan baru, terkait tenaga kerja dan dorongan dari almarhum Raja Abdullah bin Abdulaziz. Sekarang mereka berdiskusi tentang apa artinya menjadi masyarakat yang benar-benar modern sekaligus benar-benar memegang teguh budaya Arab. Percampuran gender ini memang masih sangat kontroversial. Ada sejumlah wanita di negara ini yang bahkan tidak sudi mempertimbangkan tawaran pekerjaan yang memberlakukan percampuran tersebut.

Ada wanita yang mungkin bersedia mempertimbangkan kondisi kerja seperti itu, tetapi dilarang oleh orang tua, atau suami, atau kerabat yang khawatir yang berkata, tidak, hal tersebut dipandang tidak selayaknya dilakukan oleh wanita baik-baik. Ada juga wanita yang merasa cukup nyaman untuk bergaul dengan rekan-rekan prianya. Dalam dekade terakhir, program beasiswa pemerintah telah mengirim ribuan wanita Saudi untuk belajar ke luar negeri, dan saat mereka kembali ke tanah air, banyak yang sudah tidak sabar ingin mempercepat langkah perubahan itu.

Noof menetapkan persyaratan pribadi di kantornya: maaf, saya tidak ingin ada kontak fisik dengan pria, sehalus apa pun. “Wanita yang melatih saya mengerti,” kata Noof. “Saya katakan kepadanya, ini persoalan agama. Saya tidak boleh menyentuh pria yang bukan ayah saya, paman saya, saudara saya.”

Karena itulah dia mendapat julukan itu. “Ibu No Jabat Tangan,” kata Noof sambil tertawa terpingkal-pingkal hingga nyaris terjatuh dari sofa. Tawa Noof, yang begitu renyah dan menular, adalah salah satu alasan yang menyebabkan kami bersahabat. Dia cerdik dan tangguh. Dia mengejek orang yang sok memberi saran atau yang bersikap kasar. Saat berusia 20-an tahun, dia menolak pelamar yang disukai keluarganya karena dia bertekad untuk menikah dengan Sami, pria yang dicintainya. Dia memperkirakan sudah menonton film Titanic setidaknya sepuluh kali ketika masih remaja. (Ketika saya ingatkan bahwa Titanic menayangkan adegan seks panas yang dilakukan oleh para tokoh yang belum menikah, Noof tenang saja. “Ya, tidak apa-apa,” katanya. “Memang begitu kan budaya mereka.”)

Saya menceritakan kepada Anda hal-hal ini karena Sami hendak mengantar kami dengan mobil ke pusat pertokoan agar Noof dapat membantu saya memilih abaya baru, gaun yang panjangnya semata kaki untuk menutupi seluruh tubuh, yang harus dipakai kaum wanita di Arab Saudi. Saya juga ingin Anda melihatnya sebelum dia membuka lemari pakaiannya di kamar tidur untuk mengambil salah satu abayanya, yang semuanya berwarna hitam. Abaya warna-warni mulai populer di Jeddah, kota pelabuhan yang tidak terlalu konservatif di bagian barat. Tetapi di Riyadh, abaya bukan hitam yang dipakai di depan umum, masih mengundang pandangan sinis dari orang-orang tidak dikenal dan kemungkinan akan ditegur oleh polisi agama yang berpatroli di jalanan. Abaya yang dipilih oleh Noof memiliki pinggiran bercorak kotak-kotak berwarna abu-abu, dengan semburat warna merah di bagian kotak-kotaknya. Noof membelinya di Jeddah. Noof memakai abaya di atas rok dan blusnya.Dia melilitkan tarha hitamnya, yaitu jilbab arab yang panjang, menutupi rambutnya dan bagian bawah dagunya, kemudian sekali lagi dililitkan di atas kepalanya.

“Di mana dompetku?” tanya Noof. Sami menyodorkannya. Kemudian, sebelum melintasi gerbang depan apartemen mereka, Noof menata sisa tarhanya agar sepenuhnya menutupi wajah, sehingga menjadi tak terlihat; yang masih nampak hanyalah kulit tangannya tanpa sarung tangan. Kami naik ke mobil Toyota, Sami dan Noof duduk di depan, melaju menembus malam menuju ke pertokoan.

 

kini, aturan “satu-satunya bangsa di dunia” di Arab Saudi sudah dipahami dunia luar. Satu-satunya bangsa di dunia yang melarang wanita mengemudikan mobil. Satu-satunya negara yang mengharuskan setiap wanita dewasa berada di bawah pengawasan wali pria yang diakui secara hukum, ayah atau suami atau anggota keluarga lainnya, harus mendapatkan izin resmi sebelum bisa memperoleh paspor, atau bepergian ke luar negeri. Negara terakhir, selain Vatican City, yang memberikan hak suara bagi wanita; masa pendaftaran perdana itu baru berlaku pada Agustus 2015.

Di Arab Saudi, semua restoran yang menerima pengunjung pria dan wanita membagi wilayah makan, satu untuk para “lajang”, yang berarti kaum pria, dan satu untuk “keluarga,” yang berarti wanita, anak-anak, dan pria yang merupakan kerabat dekat.

Segala macam hal praktis, termasuk tata letak fisik bangunan, diatur untuk menghormati mandat bahwa wanita Saudi harus dipisahkan dari kaum pria. Ketika Raja Abdullah menyatakan pada 2011 bahwa beliau akan mulai menunjuk wanita untuk duduk di dewan penasihat kerajaan, yakni Shura, suara lantang bermunculan di seluruh negeri. Suara ini datang dari kedua belah pihak—kegeraman pihak konservatif, dan kegembiraan para pembela wanita—yang juga mencuatkan pertanyaan serius tentang bagaimana pengaturan tempat duduk para wanita yang ditunjuk ini. Apakah mereka harus ditempatkan di ruang terpisah, dan terhubung ke rekan-rekan mereka melalui video? Hampir semua sekolah di Arab Saudi memiliki murid satu gender saja, termasuk para guru, dan video adalah sarana yang digunakan dosen di perguruan tinggi untuk mengajar mahasiswa yang gendernya berlainan.

Bahkan kampanye “feminisasi pekerjaan” untuk mendorong wanita Saudi memasuki angkatan kerja, suatu prakarsa lima tahun, yang juga diperintahkan dan diperjuangkan oleh Raja Abdullah sebelum wafat tahun 2015, disusun dengan aturan pemisahan yang rumit. Setiap tempat kerja yang mempekerjakan kedua gender itu harus menetapkan daerah yang tidak boleh dimasuki pria agar para wanita bisa merasa lebih “nyaman”—saya mendengar kata itu diucapkan para wanita, berulang-ulang.

Jadi, saya bertanya: Bantu saya untuk memahami. Mengapa hal itu lebih nyaman?

Kemudian jawaban para wanita itu selalu dimulai dengan cara yang sama: Di area yang semuanya wanita kan kita bisa membuka abaya, bisa rileks, dan …

Mengapa kalian tidak bisa membuka abaya di depan pria?

Saat itulah mereka memandang saya sejenak dengan tenang, lalu menarik napas panjang sembari mengangguk, dan berkata, Oh, baiklah, kita harus menjelaskan lagi nih.

Karena kami warga Saudi, dan di dalam negeri kami tidak pernah membuka abaya jika ada pria di sekitar kami. Itu tentu jawaban termudah, tetapi tidak seorang pun pernah menjawab dengan kalimat seperti itu; kewajiban untuk menyembunyikan bentuk tubuh wanita dari pria bukan muhrim, bisa rumit juga bagi warga Saudi. Hampir setiap wanita yang saya ajak bicara tentang penutupan tubuh wanita ini menyebut-nyebut tradisi, tekanan masyarakat, ketaatan pada agama, kesetiaan suku, dan keutamaan budaya Arab dalam hal kehormatan. Suatu jaminan bahwa kehormatan wanita—kesetiaan dan kejujurannya jika dia sudah menikah; kesopanan dan keperawanannya jika dia belum menikah—tetap tak ternoda.

Jangan membayangkan bahwa satu-satunya penegak standar tersebut adalah pria. Kaum ibu, bibi, saudara wanita, juga wanita pejalan kaki yang kebetulan lewat, tidak ragu menegur wanita lain yang tidak mereka kenal. “Mengapa kamu berusaha untuk menarik perhatian pria? Tutup tubuhmu!” seorang wanita Riyadh berusia 25 tahun dengan kesal menirukan teguran tersebut dari orang yang tak dikenalnya. “Dia menutupi tubuhnya dari kepala sampai mata kaki dan meminta wanita lain untuk berpakaian persis seperti dia.”

Jubah wanita Saudi adalah abaya—bukan cadar (Iran) atau burka (Afganistan). Meskipun wanita yang sangat konservatif kadang memakai berbagai jenis penutup tubuh, pada umumnya abaya merupakan pakaian dari leher ke bawah; seperti jubah hakim. Wanita di depan umum boleh melepaskan abaya di dalam dan sekeliling rumah sakit, di dalam kawasan perumahan yang memiliki gerbang khusus untuk menghalangi masuknya orang asing, dan di tempat fasilitas khusus wanita. Di luar tempat tersebut, tidak boleh. Lelaki mengenakan jins atau kemeja dan celana, atau jubah arab bernama thobe.

Tidak ada hukum yang benar-benar mewajibkan pemakaian abaya. Empat dekade yang lalu, wanita Saudi yang sudah berumur menjelaskan kepada saya, tradisi untuk menutupi seluruh tubuh dan berperilaku ternyata bermacam-macam di seluruh kerajaan, menurut wilayah, kelas, serta pedoman dalam keluarga dan suku seseorang. Pada masa itu, kerajaan Arab Saudi adalah negara muda—didirikan pada 1932, meraih kekayaan dengan uang dari minyak, dan masih merangkul berbagai macam budaya Arab, mulai dari suku yang tinggal di padang pasir yang menganut tradisi kuno hingga kota kosmopolitan di pesisir.

Dan di daerah Arab tertentu di masa itu, para wanita yang sudah berumur masih mengingat, wanita bisa saja keluar rumah dengan mengenakan abaya pendek yang santai atau mengenakan pakaian sederhana tanpa penutup luar. “Pada umumnya kami bepergian tanpa kerudung,” demikian ujar seorang dokter anak berusia 70-an yang sudah pensiun di Riyadh. “Duduk dengan pria bukan muhrim di restoran? Tidak masalah, selama kita berperilaku sopan. Dan kemudian—terjadi perubahan. Menurut saya, peraturan dibuat demikian ketat dengan asumsi bahwa pria dan wanita pasti berperilaku tidak senonoh jika aturannya lemah. Di dalam pikiran, di dalam hati.”

Perubahan itu dimulai pada 1980-an, tatkala gerakan Islam konservatif mulai berkembang di seluruh kawasan Timur Tengah. Pemerintah Saudi merekrut polisi agama melalui tindakan tegas yang diterapkan di seluruh negeri, yang memberlakukan kekakuan budaya yang paling konservatif pada semua warga Saudi. Kurikulum sekolah diubah. Musik dibungkam sebagai budaya yang tidak Islami. Pasangan yang berjalan atau mengemudi bersama-sama di depan umum dipaksa menunjukkan surat nikah kepada polisi.

Dan yang menentukan, adalah kritik terhadap kaum wanita: karena merangkul pengaruh Barat, karena tampil di luar rumah tanpa wali laki-laki, karena berbicara dengan suara yang mungkin menarik perhatian atau merayu pria, karena tidak menutup tubuh sepenuhnya dengan pakaian hitam.

Warga Saudi geli oleh upaya saya untuk memahami hal ini. Kami menutup wajah, demikian kata mereka, ketika merasa hal itu selayaknya dilakukan. Ketika keluarga kami menaati imam yang bersikeras. Ketika pesan yang ingin kami sampaikan adalah hormati saya, bukan lihatlah saya. Para wanita berdebat tentang niqab, kata yang digunakan warga Saudi untuk kain hitam bertali yang dibuat khusus untuk menutupi wajah. Saya pernah menyaksikan perdebatan sengit di antara tiga feminis Riyadh tentang perlu tidaknya mengenakan niqab. Salah seorang bersikeras bahwa wanita modern yang “memilih” untuk menutupi wajahnya, melakukan hal ini hanya karena ditekan oleh masyarakat yang menindas di sekelilingnya.

Noof Hassan-lah yang  pada akhirnya memberikan penjelasan yang paling masuk akal tentang jilbab, “Melepaskan dan mengenakan kembali tarha bukan sesuatu yang merepotkan bagi kami.”  Masyarakat Saudi masih kental rasa kesukuannya dalam banyak hal; wanita dan pria sama-sama merasa orang di sekitar mereka memerhatikan, berasumsi tentang pedoman perilaku keluarga mereka, memberikan penilaian. Dayooth berarti pria yang tidak cukup mewaspadai istri dan saudara perempuannya yang kehormatannya seharusnya dia jaga. Ini cap yang menunjukkan bahwa pria itu bukan pria yang cukup kuat. “Pengecut” kata yang terlalu halus untuk mengungkapkan hal itu.

“Masalahnya adalah cara berpikir orang lain,” kata Noof. “Inilah masalahnya.”

Sami, yang duduk di kursi pengemudi, berkata, “Apabila kami keluar rumah untuk berbelanja atau keperluan lain, saya merasa orang memandang Noof.”

“Menatap,” ujar Noof. “Bukan sekadar memandang. Tetapi, menatap. “

Tatapan yang sangat mengganggu, tatapan yang membuat Sami geram, berasal dari kaum pria. “Jadi, saya berkata kepadanya—ayolah Noof, tutupi wajahmu, ‘” kata Sami. “Agar pria itu  tidak melihat istri saya.”

“Itulah,” kata Noof. “Kadang saya berkata pada Sami, ‘Pria itu yang seharusnya berhenti menatap saya, karena ini adalah agama kita. Mengapa saya yang harus menutup wajah? ‘”

Sami terdiam, memerhatikan lalu lintas. Dia seorang manajer keuangan. Dia memakai kacamata berbingkai hitam, berjenggot pendek, dan mimik wajahnya lembut. “Jawaban saya, pria itu, dia seorang Muslim, tetapi tidak mengamalkan Islam dengan cara yang benar,” katanya pada akhirnya. “Dia berpikir, ‘Wanita itu tidak menutup wajahnya karena ingin wajahnya dilihat pria.” Mereka berpikir begitu.”

Saya berkata bahwa di banyak masyarakat, sudah biasa bagi pria, yang saat merasa terganggu oleh cara pria lain menatap istrinya, untuk mengancam dan menghajarnya.

Sami mengangguk. Dia tersenyum. “Jika saya harus menghajar pria itu,” katanya, “artinya saya harus berkelahi setiap hari.”

Noof tertawa geli. “Terlalu merepotkan.”

Sebuah pusat perbelanjaan di perkotaan Saudi ibarat pentas pemandangan yang menampilkan banyak drama kecil dan semuanya berlangsung sekaligus. Para wanita muda jalan-jalan cuci mata sambil memegang ponsel ke telinga, mengarahkan es krim kerucut atau menyeruput minuman bersoda lewat sedotan ke mulut mereka di bawah niqab. Sopir yang berasal dari Pakistan dan Filipina tidur siang di tempat parkir atau menelepon keluarga mereka di kampung halaman lewat telepon bervideo, menunggu para majikan wanita muncul. (Bagaimana para sopir itu tahu mana majikannya mengingat semua wanita berniqab hitam? Saya pernah bertanya pada seorang teman Saudi saya. “Sepatu dan tas,” jawabnya.) Di dalam pertokoan berpendingin itu terdapat arena bermain anak, gerai mebel, gerai kacamata, pusat kebugaran, dan pasar swalayan. Dan setelah beberapa saat, saya mulai mengamati sepatu dan tas yang berseliweran, membayangkan pemakainya yang kemudian saya kenal: pensiunan dokter anak, desainer grafis, kasir, wiraswastawan, dosen sosiologi, pengacara yang bermain basket tiga malam dalam seminggu.

Pengacara ini, Aljawharah Fallatah, 30 tahun, suka berolahraga di gym khusus wanita di sekolah khusus wanita atau di klub kebugaran. Mengapa tidak di luar ruangan, tempat berkumpulnya anak-anak muda? Karena di tempat itulah para pemuda berkumpul, dan pasti merepotkan bermain basket sambil mengenakan abaya. Intinya, demikian Fallatah mengingatkan saya setelah selesai berlatih pada suatu malam, adalah bahwa dia pengacara yang bekerja di negara yang, sampai awal 1960-an, tidak memiliki banyak sekolah untuk murid perempuan. Satu dekade yang lalu, untuk pertama kalinya wanita Saudi diizinkan mengikuti pendidikan bidang hukum. Tiga tahun yang lalu, untuk pertama kalinya wanita mendapat izin untuk bekerja sebagai pengacara, bukan sekadar konsultan. Sekarang jumlah mahasiswi di Arab Saudi lebih banyak daripada mahasiswa. Ketika Raja Abdullah memulai program beasiswa untuk belajar di luar negeri pada 2005, kaum wanita termasuk di antara penerima beasiswa pertama; pada 2014, lebih dari 35.000 wanita Saudi mengikuti program sarjana dan pascasarjana di mancanegara, lebih dari setengahnya belajar di Amerika Serikat.

Fallatah sekarang sering tampil di pengadilan. Ini tidak berarti terdapat persamaan untuk profesional pria dan wanita; wanita Saudi berpendidikan tinggi mengeluhkan penggajian yang tidak adil dan merasa frustrasi dalam masyarakat yang baru saja mulai menerima wanita untuk melakukan pekerjaan tingkat tinggi.  “Hal yang kami lakukan dalam sepuluh tahun, lebih cepat dibandingkan dengan yang dilakukan oleh kaum wanita di Amerika Serikat dalam seratus tahun,” kata Nailah Attar, salah seorang pendiri prakarsa nasional yang disebut Baladi, yang berarti Negara Saya. “Kami berlari sangat kencang untuk berubah sangat pesat. Kami harus sedikit melambat—agar masyarakat dapat menerimanya.”

Attar, bersama pemimpin bisnis lain dan pemimpin akademis dari seluruh kerajaan, mendirikan Baladi lima tahun yang lalu untuk membujuk wanita Saudi agar mau menerima prospek voting dan menjadi pejabat publik. Untuk pertama kalinya, setelah hampir setengah abad, pemilu diikuti kaum pria pada 2005, dan satu-satunya jabatan yang tersedia adalah kursi dewan kota, posisi tanpa otoritas. Kerajaan Arab Saudi bukan monarki konstitusional. Tidak ada perdana menteri yang berdiri sendiri, tidak ada parlemen. Kontrol mutlak tetap di tangan Al Saud, yang kini merupakan keluarga yang sangat besar yang juga menjadi nama negara tersebut.

“Kadang kami berada di abad ke-21, dan kadang di abad 19,” kata seorang profesional wanita Riyadh yang pernah tinggal di luar negeri, “Dan bayangkan diri Anda hidup pada masa Abad Pertengahan di Eropa, dengan Gereja Katolik.” Maksudnya, di Arab Saudi, secara resmi para pemimpin agama yang dogmatis dan dinasti kerajaan masih berbagi kekuasaan.Penghinaan terhadap Islam atau ancaman terhadap keamanan negara—keduanya adalah kategori yang sangat luas, yang mencakup penulisan di blog, media sosial, dan pembelaan diri secara terbuka yang dilakukan orang-orang yang sudah dianggap tertuduh—adalah kejahatan yang diancam hukuman penjara, cambuk, atau hukuman mati. Eksekusi dilakukan dengan pemenggalan kepala di depan umum. Organisasi yang mengelola polisi agama disebut Komite Penegakan Kebajikan dan Pencegahan Perbuatan Tercela.

Keyakinan bahwa kebajikan masyarakat dan perbuatan tercela dapat diatasi dengan memisahkan kaum pria dan wanita—bahwa secara kodrati kaum pria itu penuh nafsu dan kaum wanita itu penggoda, sehingga untuk menjadi Muslim yang baik diperlukan peringatan terus-menerus tentang bahaya kontak fisik—begitu mendasar dalam kehidupan sehari-hari sehingga pendapat tersebut sering muncul berupa penjelasan yang berulang-ulang. Alasan mengapa kolam renang hotel tidak mengizinkan wanita masuk atau menyisihkan waktu khusus untuk wanita: Pria mungkin melihat sekilas bentuk tubuh wanita yang bergerak di dalam air. Alasan mengapa kebanyakan toko pakaian di Saudi tidak menyediakan ruang pas pakaian: Wanita tidak akan mau melepaskan pakaian mereka mengingat ada pegawai pria di ruangan di balik pintu ruang pas pakaian.

Dan larangan terkenal tentang pengemudi wanita? Pertama, mereka berkata bahwa cepat atau lambat dapat dipastikan wanita Saudi akan diperbolehkan mengemudi, meskipun subsektor ekonomi berkembang—sopir taksi, sopir pribadi, industri perekrutan yang mendatangkan para pengemudi dari luar negeri—yang menenggelamkan aturan khusus-pria. Ada sejumlah wanita yang sudah biasa mengemudi, di gurun atau daerah lain, di tempat tidak ada yang memerhatikan. 

Reaksi kedua adalah pertimbangan dengan kepala dingin mengenai perdebatan anti-wanita mengemudi. Pendapat bahwa wanita terbukti tidak layak di belakang kemudi dan menyebabkan kecelakaan—itu keterlaluan.  Pendapat bahwa wanita pasti berselingkuh dan meninggalkan keluarga jika bisa keluar rumah kapan saja—hanya para syekh yang pikirannya sangat terbelakang yang masih berpendapat begitu, kata seorang wanita yang saya ajak bicara. Kabarnya Raja Abdullah sendiri yang mendesak kami untuk bekerja. Bagaimana kami bisa bekerja dengan baik jika harus bergantung pada orang lain untuk tiba di tempat bekerja secara tepat waktu?

Kekhawatiran, yang dikatakan baik oleh wanita maupun pria kepada saya, adalah bagi para pengemudi itu: Para wanita pertama yang akan mengemudi sendiri setelah mendapatkan SIM, berada di dalam suasana yang pasti diciptakan oleh sejumlah pria, yang menunjukkan sikap merendahkan dan melecehkan. “Saya telah berbicara dengan para wanita di pabrik tentang hal ini,” kata Noof. “Ada yang berkata kepada saya, bahwa kakak laki-lakinya mengatakan, ‘Jika saya menemukan wanita mengemudi, saya akan menghentikan mobilnya dan memaksanya turun.’ Banyak pria tidak berpendidikan, begitu menurut pendapat saya. Mereka menulis tentang hal ini di media sosial. ‘Kami akan memaksa kalian berhenti mengemudikan mobil.’”

Kakak laki-lakinya itu, kami bertanya-tanya—apakah dia berencana untuk melindungi adiknya dari para pelaku pelecehan? Kami membalik-balik abaya ya