Wajah Wanita Saudi Kini

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 09:00 WIB

“Masalahnya adalah cara berpikir orang lain,” kata Noof. “Inilah masalahnya.”

Sami, yang duduk di kursi pengemudi, berkata, “Apabila kami keluar rumah untuk berbelanja atau keperluan lain, saya merasa orang memandang Noof.”

“Menatap,” ujar Noof. “Bukan sekadar memandang. Tetapi, menatap. “

Tatapan yang sangat mengganggu, tatapan yang membuat Sami geram, berasal dari kaum pria. “Jadi, saya berkata kepadanya—ayolah Noof, tutupi wajahmu, ‘” kata Sami. “Agar pria itu  tidak melihat istri saya.”

“Itulah,” kata Noof. “Kadang saya berkata pada Sami, ‘Pria itu yang seharusnya berhenti menatap saya, karena ini adalah agama kita. Mengapa saya yang harus menutup wajah? ‘”

Sami terdiam, memerhatikan lalu lintas. Dia seorang manajer keuangan. Dia memakai kacamata berbingkai hitam, berjenggot pendek, dan mimik wajahnya lembut. “Jawaban saya, pria itu, dia seorang Muslim, tetapi tidak mengamalkan Islam dengan cara yang benar,” katanya pada akhirnya. “Dia berpikir, ‘Wanita itu tidak menutup wajahnya karena ingin wajahnya dilihat pria.” Mereka berpikir begitu.”

Saya berkata bahwa di banyak masyarakat, sudah biasa bagi pria, yang saat merasa terganggu oleh cara pria lain menatap istrinya, untuk mengancam dan menghajarnya.

Sami mengangguk. Dia tersenyum. “Jika saya harus menghajar pria itu,” katanya, “artinya saya harus berkelahi setiap hari.”

Noof tertawa geli. “Terlalu merepotkan.”

!break!

Sebuah pusat perbelanjaan di perkotaan Saudi ibarat pentas pemandangan yang menampilkan banyak drama kecil dan semuanya berlangsung sekaligus. Para wanita muda jalan-jalan cuci mata sambil memegang ponsel ke telinga, mengarahkan es krim kerucut atau menyeruput minuman bersoda lewat sedotan ke mulut mereka di bawah niqab. Sopir yang berasal dari Pakistan dan Filipina tidur siang di tempat parkir atau menelepon keluarga mereka di kampung halaman lewat telepon bervideo, menunggu para majikan wanita muncul. (Bagaimana para sopir itu tahu mana majikannya mengingat semua wanita berniqab hitam? Saya pernah bertanya pada seorang teman Saudi saya. “Sepatu dan tas,” jawabnya.) Di dalam pertokoan berpendingin itu terdapat arena bermain anak, gerai mebel, gerai kacamata, pusat kebugaran, dan pasar swalayan. Dan setelah beberapa saat, saya mulai mengamati sepatu dan tas yang berseliweran, membayangkan pemakainya yang kemudian saya kenal: pensiunan dokter anak, desainer grafis, kasir, wiraswastawan, dosen sosiologi, pengacara yang bermain basket tiga malam dalam seminggu.

Pengacara ini, Aljawharah Fallatah, 30 tahun, suka berolahraga di gym khusus wanita di sekolah khusus wanita atau di klub kebugaran. Mengapa tidak di luar ruangan, tempat berkumpulnya anak-anak muda? Karena di tempat itulah para pemuda berkumpul, dan pasti merepotkan bermain basket sambil mengenakan abaya. Intinya, demikian Fallatah mengingatkan saya setelah selesai berlatih pada suatu malam, adalah bahwa dia pengacara yang bekerja di negara yang, sampai awal 1960-an, tidak memiliki banyak sekolah untuk murid perempuan. Satu dekade yang lalu, untuk pertama kalinya wanita Saudi diizinkan mengikuti pendidikan bidang hukum. Tiga tahun yang lalu, untuk pertama kalinya wanita mendapat izin untuk bekerja sebagai pengacara, bukan sekadar konsultan. Sekarang jumlah mahasiswi di Arab Saudi lebih banyak daripada mahasiswa. Ketika Raja Abdullah memulai program beasiswa untuk belajar di luar negeri pada 2005, kaum wanita termasuk di antara penerima beasiswa pertama; pada 2014, lebih dari 35.000 wanita Saudi mengikuti program sarjana dan pascasarjana di mancanegara, lebih dari setengahnya belajar di Amerika Serikat.

Fallatah sekarang sering tampil di pengadilan. Ini tidak berarti terdapat persamaan untuk profesional pria dan wanita; wanita Saudi berpendidikan tinggi mengeluhkan penggajian yang tidak adil dan merasa frustrasi dalam masyarakat yang baru saja mulai menerima wanita untuk melakukan pekerjaan tingkat tinggi.  “Hal yang kami lakukan dalam sepuluh tahun, lebih cepat dibandingkan dengan yang dilakukan oleh kaum wanita di Amerika Serikat dalam seratus tahun,” kata Nailah Attar, salah seorang pendiri prakarsa nasional yang disebut Baladi, yang berarti Negara Saya. “Kami berlari sangat kencang untuk berubah sangat pesat. Kami harus sedikit melambat—agar masyarakat dapat menerimanya.”