Apakah Ganja Bermanfaat Bagi Kita?

By , Senin, 25 April 2016 | 18:00 WIB

Tentu saja, tak ada hal yang baru tentang ganja. Zat adiktif ini sudah dikonsumsi kurang lebih sejak awal riwayat manusia.

Di Siberia, biji ganja gosong dijumpai dalam gundukan pemakaman bertarikh 3000 SM. Orang Tiongkok pun menggunakan ganja sebagai obat sejak ribuan tahun silam. Mariyuana sendiri mengguratkan sejarah yang panjang di Amerika. Di hampir seluruh rentang sejarah negara itu, ganja dinyatakan legal dan lazim menjadi bahan larutan obat dalam alkohol dan ekstrak.

Lalu muncullah Reefer Madness. Marijuana, the Assassin of Youth. The Killer Weed. The Gateway Drug. Hampir 70 tahun tanaman ini bersembunyi, dan sebagian besar riset medis terhadap ganja dihentikan.

Pada 1970, pemerintah federal kian menyulitkan kajian mariyuana dengan menggolongkannya sebagai NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif) tingkat satu—zat kimia berbahaya tanpa tujuan medis yang valid dan potensi penyalahgunaan yang tinggi, sekelas dengan heroin. Di Amerika, mayoritas peneliti ganja dianggap sebagai pelaku kejahatan.

Namun kini, seiring makin banyaknya orang yang beralih ke narkotik untuk mengobati penyakit, sains ganja lahir dan bersemi kembali di Amerika. Ada kejutan, dan mungkin keajaiban, yang terpendam dalam tanaman yang pernah berstatus terlarang ini.

Vivek Murthy, pimpinan pejabat medis pemerintah federal AS, mengungkapkan minatnya, akan apa yang dapat digali sains dari mariyuana. Ia melihat data-data awal yang mengindikasikan bahwa ganja dapat “bermanfaat” terhadap “kondisi medis atau gejala tertentu”.

Di 23 negara bagian dan District of Columbia, ganja dilegalkan untuk pemakaian medis tertentu, dan mayoritas warga Amerika mendukung legalisasi ganja sebagai sarana hiburan. Negara-negara lain telah menimbang ulang undang-undang yang berkaitan dengan mariyuana. Uruguay memutuskan untuk melegalkannya. Undang-undang Portugis juga tak lagi menetapkan ganja sebagai barang ilegal. Israel, Kanada, dan Belanda pun mencanangkan program mariyuana medis dan dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara mulai meluaskan pandangan soal kepemilikan ganja.

Ganja kini lebih sering beredar di sekeliling kita. Ya, mengisap ganja dapat menyebabkan penyakit tertawa temporer, wawas intens terhadap sepatu, amnesia pada kejadian dua detik silam, dan hasrat yang memuncak untuk mengunyah Cheetos. Kendati belum ada laporan kematian akibat overdosis ganja, mariyuana—terutama varietas yang keras—juga sangat kuat, dan dalam beberapa kasus, berbahaya.

Namun, banyak orang telah mengonsumsi ganja untuk meredakan nyeri, menyenyakkan tidur, merangsang nafsu makan, meredam kecemasan, dan melegakan emosi. Pendukung mariyuana beralasan obat ini membantu menurunkan stres. Ganja juga dianggap berkhasiat, antara lain sebagai analgesik, antiemetik, bronkodilator, dan anti-inflamasi. Bahkan didapati bahwa obat ini manjur menyembuhkan cegukan akut. Senyawa dalam tanaman ini, menurut hipotesis sejumlah ilmuwan, mampu menolong tubuh mengatur fungsi-fungsi vital—seperti melindungi otak terhadap trauma, memperkuat sistem kekebalan tubuh, dan membantu “menghapus memori “ pasca-bencana besar.

Meski agaknya tanaman ini hendak buru-buru diboyong ke grup yang sama dengan alkohol atau rokok agar bisa dikenai pajak, diatur regulasinya, dan dikomersialkan, pertanyaan penting ini pun mengemuka. Apa yang terjadi di dalam tanaman ini? Bagaimana mariyuana memengaruhi tubuh dan otak kita? Informasi apa yang diungkap bahan kimianya perihal fungsi sistem saraf kita? Dapatkah kandungan kimia itu menghasilkan resep obat baru nan mujarab?

Seandainya ganja mau memberi tahu kita sesuatu, apa yang akan dikatakannya?

 !break!