Apakah Ganja Bermanfaat Bagi Kita?

By , Senin, 25 April 2016 | 18:00 WIB

Tentu saja, tak ada hal yang baru tentang ganja. Zat adiktif ini sudah dikonsumsi kurang lebih sejak awal riwayat manusia.

Di Siberia, biji ganja gosong dijumpai dalam gundukan pemakaman bertarikh 3000 SM. Orang Tiongkok pun menggunakan ganja sebagai obat sejak ribuan tahun silam. Mariyuana sendiri mengguratkan sejarah yang panjang di Amerika. Di hampir seluruh rentang sejarah negara itu, ganja dinyatakan legal dan lazim menjadi bahan larutan obat dalam alkohol dan ekstrak.

Lalu muncullah Reefer Madness. Marijuana, the Assassin of Youth. The Killer Weed. The Gateway Drug. Hampir 70 tahun tanaman ini bersembunyi, dan sebagian besar riset medis terhadap ganja dihentikan.

Pada 1970, pemerintah federal kian menyulitkan kajian mariyuana dengan menggolongkannya sebagai NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif) tingkat satu—zat kimia berbahaya tanpa tujuan medis yang valid dan potensi penyalahgunaan yang tinggi, sekelas dengan heroin. Di Amerika, mayoritas peneliti ganja dianggap sebagai pelaku kejahatan.

Namun kini, seiring makin banyaknya orang yang beralih ke narkotik untuk mengobati penyakit, sains ganja lahir dan bersemi kembali di Amerika. Ada kejutan, dan mungkin keajaiban, yang terpendam dalam tanaman yang pernah berstatus terlarang ini.

Vivek Murthy, pimpinan pejabat medis pemerintah federal AS, mengungkapkan minatnya, akan apa yang dapat digali sains dari mariyuana. Ia melihat data-data awal yang mengindikasikan bahwa ganja dapat “bermanfaat” terhadap “kondisi medis atau gejala tertentu”.

Di 23 negara bagian dan District of Columbia, ganja dilegalkan untuk pemakaian medis tertentu, dan mayoritas warga Amerika mendukung legalisasi ganja sebagai sarana hiburan. Negara-negara lain telah menimbang ulang undang-undang yang berkaitan dengan mariyuana. Uruguay memutuskan untuk melegalkannya. Undang-undang Portugis juga tak lagi menetapkan ganja sebagai barang ilegal. Israel, Kanada, dan Belanda pun mencanangkan program mariyuana medis dan dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara mulai meluaskan pandangan soal kepemilikan ganja.

Ganja kini lebih sering beredar di sekeliling kita. Ya, mengisap ganja dapat menyebabkan penyakit tertawa temporer, wawas intens terhadap sepatu, amnesia pada kejadian dua detik silam, dan hasrat yang memuncak untuk mengunyah Cheetos. Kendati belum ada laporan kematian akibat overdosis ganja, mariyuana—terutama varietas yang keras—juga sangat kuat, dan dalam beberapa kasus, berbahaya.

Namun, banyak orang telah mengonsumsi ganja untuk meredakan nyeri, menyenyakkan tidur, merangsang nafsu makan, meredam kecemasan, dan melegakan emosi. Pendukung mariyuana beralasan obat ini membantu menurunkan stres. Ganja juga dianggap berkhasiat, antara lain sebagai analgesik, antiemetik, bronkodilator, dan anti-inflamasi. Bahkan didapati bahwa obat ini manjur menyembuhkan cegukan akut. Senyawa dalam tanaman ini, menurut hipotesis sejumlah ilmuwan, mampu menolong tubuh mengatur fungsi-fungsi vital—seperti melindungi otak terhadap trauma, memperkuat sistem kekebalan tubuh, dan membantu “menghapus memori “ pasca-bencana besar.

Meski agaknya tanaman ini hendak buru-buru diboyong ke grup yang sama dengan alkohol atau rokok agar bisa dikenai pajak, diatur regulasinya, dan dikomersialkan, pertanyaan penting ini pun mengemuka. Apa yang terjadi di dalam tanaman ini? Bagaimana mariyuana memengaruhi tubuh dan otak kita? Informasi apa yang diungkap bahan kimianya perihal fungsi sistem saraf kita? Dapatkah kandungan kimia itu menghasilkan resep obat baru nan mujarab?

Seandainya ganja mau memberi tahu kita sesuatu, apa yang akan dikatakannya?

 !break!

AHLI KIMIA

Harta Karun

Bahkan hingga pertengahan abad ke-20, sains masih belum merekam fakta sejati mariyuana. Zat yang terkandung di dalamnya dan cara kerjanya masih menyisakan tanda tanya besar. Lantaran status ilegal dan stigma buruk yang disandangnya, hanya segelintir ilmuwan serius yang rela menodai reputasi mereka dengan meneliti tanaman ini.

Kemudian suatu hari pada 1963, Raphael Mechoulam, ahli kimia organik muda yang bekerja di Weizmann Institute of Science di luar Tel Aviv, memutuskan untuk menganalisis komposisi kimia tanaman tersebut. Baginya tidak logis bila kalangan ilmuwan belum mengenali bahan psikoaktif utama yang terkandung dalam ganja, padahal sejak 1805 morfin berhasil diidentifikasi dan diekstrak dari opium, sementara kokain ditemukan dalam daun koka pada 1855.

“Itu cuma tanaman,” ungkap Mechoulam, yang kini berusia 84. “Paduan senyawa yang tidak dikenal dan berantakan.”

Maka Mechoulam menelepon polisi nasional Israel dan dikirimi lima kilo ganja Lebanon sitaan. Dia dan tim penelitinya memisahkan—dan dalam beberapa kasus juga menyintesis—rangkaian susunan zat kimia, yang disuntikkan secara terpisah ke tubuh monyet rhesus. Hanya satu efek yang dapat diamati. “Biasanya monyet rhesus hewan yang cukup agresif,” katanya. Namun, ketika disuntik dengan senyawa ini, monyet itu jadi amat kalem. “Seperti diberi obat penenang, “ kenangnya sambil tertawa kecil.

Pengujian lebih lanjut menghasilkan temuan yang kini diketahui dunia: senyawa yang menjadi bahan aktif utama tanaman ini adalah zat kimia yang mampu mengubah otak—dan membuat Anda tinggi (giting dalam slang). Mechoulam, bersama seorang rekan, menemukan tetrahidrokanabinol (THC). Dia dan timnya juga menjelaskan struktur kimia kanabidiol (CBD), zat utama lain dalam ganja yang menyimpan potensi medis berlimpah namun tak memicu efek psikoaktif pada manusia.

!break!

Karena terobosan ini dan banyak terobosan lainnya, Mechoulam dikenal luas sebagai bapak ilmu ganja. Dia juga anggota terhormat Israel Academy of Sciences and Humanities dan profesor emeritus di Hadassah Medical School, Hebrew University, di mana ia masih aktif menggelar penelitian. Kakek ramah yang menulis lebih dari 400 karya ilmiah dan memegang sekitar 25 hak paten ini mencurahkan hidupnya untuk mendalami ganja, yang ia juluki “harta karun medis yang menanti untuk ditemukan”. Karyanya menjadi pemicu kelompok spesialisasi penelitian mariyuana di seluruh dunia.

“Ini semua gara-gara Anda,” ujar saya kepadanya saat kami bertemu di kantornya—semua dinding di ruangan itu dijajari rak buku dan sesak oleh plakat penghargaan—untuk membahas ledakan minat terhadap ilmu ganja.

Mea culpa—ya, itu memang salah saya!” jawabnya sambil tersenyum.

Israel memiliki salah satu program ganja medis termaju di dunia. Mechoulam aktif berperan membangunnya, dan ia bangga dengan hasilnya. Lebih dari 20.000 pasien diizinkan menggunakan ganja sebagai obat glaukoma, penyakit Crohn, peradangan, hilangnya nafsu makan, sindrom Tourette, dan asma.

Namun, ia tidak setuju bila ganja dilegalkan sebagai sarana hiburan. Menurutnya, pemilik ganja tak perlu sampai dipenjara, tetapi perlu diingat bahwa ganja “bukanlah zat kimia yang tak berbahaya”—terutama bagi kaum muda. Ia mengutip kajian yang menunjukkan bahwa konsumsi jangka panjang ganja berkadar THC tinggi mampu mengubah pertumbuhan otak yang masih berkembang. Ia mencatat bahwa pada sejumlah orang, ganja memancing serangan cemas yang akut dan melemahkan. Ia juga menyitir kajian yang menyatakan bahwa ganja dapat memicu skizofrenia dalam diri orang yang memiliki kecenderungan genetis tersebut.

Mechoulam lebih suka bila kekonyolan yang tak bertanggung jawab dari budaya ganja rekreasi akan digantikan oleh rengkuhan yang sungguh-sungguh dan antusias kepada ganja—hanya sebagai zat medis yang diregulasi ketat dan diteliti tanpa kenal lelah. “Saat ini,” ia mengeluh, “para pengguna ganja ibarat membeli kucing dalam karung. Agar terpakai di dunia medis, penggunaan ganja harus bisa ditakar menjadi dosis yang tepat. Jika tidak, itu bukanlah ilmu.”

Pada 1992, pencarian Mechoulam akan takaran dan dosis yang tepat menggiringnya dari tanaman itu sendiri ke relung otak manusia. Tahun itu ia dan beberapa rekan menghasilkan temuan yang gemilang. Mereka memisahkan zat kimia dari tubuh manusia, yang mengikat reseptor yang sama di otak, seperti THC. Mechoulam menamainya anandamide—bahasa Sanskerta untuk “sukacita tertinggi”.

Semenjak itu, beberapa endokanabinoid dan reseptornya berhasil ditemukan. Para ilmuwan mulai menyadari bahwa endokanabinoid berinteraksi dengan jaringan neurologis yang spesifik—mirip dengan yang dilakukan endorfin, serotonin, dan dopamin.

Mechoulam mencatat, olahraga terbukti meningkatkan kadar endokanabinoid dalam otak, dan “mungkin inilah penyebab sensasi euforia yang dirasakan penggemar joging saat berlari dengan intens.” Senyawa ini, ia menjelaskan, agaknya berperan penting dalam fungsi dasar seperti ingatan, keseimbangan, gerakan, kesehatan dan kekebalan tubuh, juga perlindungan saraf.

Biasanya, perusahaan farmasi yang memproduksi obat berbahan ganja berupaya memisahkan senyawa individu dari tanaman ini. Namun demikian, Mechoulam menduga kuat bahwa dalam kasus tertentu, zat kimia itu bekerja jauh lebih ampuh jika dipadukan dengan senyawa lain yang ada di dalam ganja. Ia menyebutnya euntourage effect—efek pengiring, dan itu baru satu dari sekian misteri ganja yang  perlu diusut.

“Kami baru mengorek di permukaan,” katanya, “dan saya sangat menyesal karena saya tak punya jatah kehidupan lain yang bisa diabdikan untuk bidang ini. Bisa jadi kita bisa saja menemukan bahwa, kanabinoid memiliki keterlibatan dalam semua penyakit manusia.”

!break!

AHLI BOTANI

Menyambut Cahaya

Di seberang kantor polisi di wilayah industri Denver, gedung raksasa seluas 4.000 meter persegi itu menghuni hamparan gudang perkotaan yang dialihfungsikan menjadi rumah pertanian mariyuana dan dijuluki Green Mile. Pintu mendengung terbuka, dan saya disambut oleh pimpinan ahli hortikultura Mindful, salah satu perusahaan ganja terbesar di dunia. Phillip Hague berusia 38, dengan mata biru tajam. Saat itu ia mengenakan seragam dan sepatu hiking, dengan senyum tawar menunjukkan orang yang telah menemukan panggilan hidupnya.

Pakar bercocok tanam ini terampil berkebun sejak usia delapan dan mengidolakan Luther Burbank, ilmuwan pertanian besar. Selama bertahun-tahun Hague membudidayakan kastuba, keladi, krisan, dan tanaman lain di pembibitan keluarganya di Texas. Namun kini perhatiannya tercurah pada kuncup yang jauh lebih menguntungkan.

Saya digiring melewati kantor depan Mindful yang sibuk dan memasuki koridor bagian dalam. Di dalam lemari pendingin, Mindful menyimpan benih ganja dari sepenjuru Asia, India, Afrika Utara, dan Karibia. Sebagai seorang pelancong dunia, Hague terpincut sejarah keanekaragaman hayati mariyuana. Bank benihnya menampung galur ganja langka, liar, dan kuno, serta menjadi bagian penting kekayaan intelektual Mindful. “Harus diakui bahwa manusia berevolusi bersama ganja, bahkan sejak masa paling awal,” katanya. “Usia ganja bahkan lebih tua dari tulisan. Tanaman ini telah dan akan selalu menjadi bagian dari hidup kita. Selepas zaman es terakhir, ganja menyebar dari Asia Tengah, ikut bermigrasi ke belahan bumi lainnya bersama manusia.”

Ketika Departemen Kehakiman AS mengumumkan pada 2009 bahwa mereka tidak akan berfokus mengusut orang-orang yang memenuhi syarat hukum ganja medis negara, ia menatap istrinya dan berkata, “Ayo kita pindah ke Denver.” Kini ia menjalankan salah satu “perkebunan” terbesar dan tersohor di dunia; di sini, lebih dari 20.000 tanaman ganja tumbuh dengan suburnya.

!break!

Kami melaju melewati ruangan tempat daun-daun ganja disimpan dalam wadah kedap udara, lalu menyusuri lorong yang dipenuhi oleh bisingnya pompa, kipas angin, filter, generator, dan mesin pemangkas. Sebuah forklif menggelinding mendekat. Kamera pengintai merekam semuanya, termasuk pekerja muda berseragam dokter yang bergegas bekerja.Mereka tampak antusias menyambut tekanan dan harapan dalam bisnis yang tidak lazim namun berkembang melampaui harapan ini. Mindful punya rencana besar untuk berekspansi dan membangun fasilitas serupa di negara-negara lain. “Ganja sedang tenar!” seru Hague dengan tawa yang menyiratkan rasa takjub dan letih. “Saya terheran-heran menyaksikan semua yang terjadi di sini setiap hari.”

Didorongnya sebuah pintu hingga terbuka, dan saya disilaukan sejenak oleh cahaya benderang dari halo lampu pijar plasma. Kami melangkah memasuki ruangan besar nan hangat yang beraroma seperti seratus konser Bob Marley. Begitu mata saya terbiasa, saya bisa melihat tanaman itu dalam gelombang kemuliannya—hampir seribu tanaman ganja betina menjulang setinggi dua meter, akarnya bermandi larutan nutrisi tinggi, daunnya yang runcing mengangguk-angguk diembus semilir kipas angin yang berputar ke arah sana dan sini. Ganja bermutu tinggi itu bernilai lebih dari setengah juta dolar.

Saya membungkuk untuk mengendus salah satu kuncup bunga ungu-cokelat yang bergerombol rapat dan berurat putih. Trikoma mungil ini menghasilkan cukup banyak damar yang kaya kanabinoid. Galur ini bernama Highway Man, diambil dari lagu Willie Nelson. Varietas yang dihibridkan oleh Hague ini sarat THC dan sempat menyabet penghargaan internasional. Bagian terbaik akan dipotong dengan tangan, dikeringkan, diletakkan dalam wadah kedap udara, dan dikemas untuk dijual di salah satu apotek Mindful.

Ternyata ia pun hendak menunjukkan sesuatu yang lain. Hague menuntun saya ke ruang pembiakan tanaman yang lembap, di mana tanaman muda meluaskan akar-akarnya di dalam ruangan nyaris gelap. Bayi-bayi ini ditandai label kuning dan ditumbuhkan hanya untuk tujuan medis. Mereka semua klon yang disetek dari pohon induk. Hague membanggakan varietas ini, yang hampir tidak mengandung THC tetapi kaya CBD dan senyawa lain yang menjanjikan—meski belum terbukti secara ilmiah—untuk mengobati penyakit dan gangguan seperti sklerosis ganda, psoriasis, gangguan stres pascatrauma, demensia, skizofrenia, osteoporosis, dan sklerosis lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig).

“Galur rendah THC inilah yang membuat saya susah tidur di malam hari, sibuk memimpikan kemungkinan manfaat medisnya,” ujar Hague. Ia menegaskan bahwa ganja mengandung banyak zat kanabinoid, flavonoid, dan terpena—yang belum diteliti secara mendalam.

“Mungkin ini terdengar sentimental,” ujarnya sambil membelai salah satu setek seperti seorang ayah yang bangga, “namun saya percaya ganja memiliki kesadaran. Tanaman ini lelah dianggap jahat. Kini ia siap dihargai atas kemampuannya.“

!break!

AHLI BIOKIMIA

Obat Ajaib?

Kini, hampir semua orang sudah mendengar bahwa ganja dapat meringankan penderitaan pengidap kanker, terutama dalam mengurangi beberapa efek samping kemoterapi yang tidak menyenangkan. Tentu saja ganja dapat mencegah mual, merangsang nafsu makan, serta meredakan rasa sakit dan membuat tidur makin pulas. Namun sanggupkah tanaman ini menyembuhkan kanker? Telusurilah internet dan akan Anda temui ratusan, bahkan ribuan, klaim tersebut. Orang yang menelan mentah-mentah semua informasi di Google tentu akan langsung percaya bahwa umat manusia hampir menemukan obat ajaib penyembuh kanker.

Mayoritas klaim ini belum terbukti secara ilmiah dan ada yang murni kebohongan. Namun ada pula yang menyinggung bukti laboratorium yang menunjuk kanabinoid sebagai kans agen antikanker, dan banyak laporan ini mengarah ke laboratorium di Spanyol yang dijalankan oleh pria bijak dan cermat bernama Manuel Guzmán.

Guzmán adalah ahli biokimia yang meneliti ganja selama kira-kira 20 tahun. Saya mengunjunginya di kantornya di Complutense University of Madrid, gedung berlapis grafiti emas di bulevar yang dijejeri pepohonan. Lelaki tampan di awal 50-an ini memiliki mata biru dan rambut cokelat kusut dengan aksen warna kelabu. Bicaranya cepat, dengan suara lirih yang menarik pendengar untuk mencondong mendekat. “Ketika tajuk berita di surat kabar menggembar-gemborkan bahwa ‘Ganja Mampu Menaklukkan Kanker Otak!’, itu tidak benar,” tegasnya. “Ada banyak klaim yang beredar di internet, tetapi mereka amat, sangat lemah.”

Dia mengerjap dengan ekspresi serius, lalu berbalik ke komputernya. “Namun, mari saya tunjukkan sesuatu.”

Di layarnya berkedip dua citra MRI otak tikus. Ada tumor besar yang bersarang di belahan otak kanan hewan tersebut, yang disebabkan oleh sel tumor otak manusia yang disuntikkan oleh para peneliti Guzmán. Ia memperbesar citra tersebut. Tumor itu tampak menonjol dan menyeramkan. Saya rasa hewan itu tak akan bertahan lebih lama lagi. “Hewan ini diobati dengan THC selama seminggu,” lanjut Guzmán. “Dan inilah yang terjadi sesudahnya.” Dua gambar yang mengisi layarnya kini tampak normal. Tumor itu tak hanya menyusut, namun juga lenyap tak berbekas! “Seperti yang dilihat, tumornya raib.”

!break!

Dalam penelitian ini, Guzmán dan rekan-rekannya, yang merawat hewan pengidap kanker dengan senyawa ganja selama 15 tahun, menemukan bahwa tumor di tubuh sepertiga tikus, berhasil dibasmi dan pada sepertiga lainnya terus berkurang.

Temuan ini tentu menggembirakan dunia, dan Guzmán khawatir terobosan penelitiannya akan memberi harapan palsu bagi penderita kanker dan bahan bakar bagi klaim tak berdasar di internet. “Masalahnya,” katanya, “tikus bukan manusia. Kami belum tahu apakah metode ini bisa diterapkan dan sukses pada manusia.”

Guzmán mengajak saya berkeliling labnya yang penuh sesak—semua hal di sini diabdikan untuk meneliti efek ganja pada tubuh dan otak. Laboratorium ini bukan hanya berfokus pada kanker, melainkan juga pada penyakit neurodegeneratif dan bagaimana kanabinoid memengaruhi perkembangan otak awal. Dalam topik terakhir ini, hasil penelitian grup Guzmán dengan tegas menyatakan: Tikus yang lahir dari induk yang rutin diberi dosis tinggi THC selama kehamilan menunjukkan gangguan kronis. Gerakan mereka tidak terkoordinasi, sulit berinteraksi dengan sesamanya, dan sangat mudah cemas—mereka sering lumpuh karena takut pada stimulan, seperti boneka kucing yang ditaruh di dekat kandang, padahal tikus remaja lainnya tidak panik.

Laboratorium ini juga mengkaji bagaimana bahan kimia dalam ganja, serta kanabinoid sejenis anandamide yang diproduksi tubuh manusia, melindungi otak kita terhadap bahaya trauma fisik dan emosional. “Otak kita tentu perlu mengingat beberapa hal,” kata Guzmán, “tetapi juga perlu melupakan ingatan  mengerikan yang tidak penting. Ingatan yang buruk untuk kesehatan mental Anda—perang, trauma, ingatan yang tak menyenangkan. Sistem kanabinoid adalah kunci yang akan menolong kita membuang kenangan buruk tersebut. “

Uniknya, penelitian tumor otak Guzmán-lah yang dijadikan tajuk berita—dan menarik minat perusahaan farmasi. Setelah meneliti selama bertahun-tahun, ia menemukan bahwa paduan THC, CBD, dan temozolomide (obat konvensional yang cukup sukses) sangat manjur untuk mengobati tumor otak pada tikus. Kombinasi ketiga senyawa ini menyerang sel-sel kanker otak dengan berbagai cara, mencegah penyebaran sekaligus memicu mereka untuk membunuh diri sendiri.

Saat ini, percobaan klinis terobosan yang didasarkan pada kajian Guzmán tengah berlangsung di St James’s University Hospital, Leeds, Inggris. Ahli neuro-onkologi di sana merawat pasien penderita tumor otak agresif dengan temozolomide dan Sativex, semprot oral THC-CBD yang dikembangkan oleh GW Pharmaceuticals.

Guzmán mewanti-wanti optimisme yang berlebihan ini. Namun, ia menyambut awal dari penelitian manusia. “Kita harus objektif,” katanya. “Setidaknya pikiran banyak orang di seluruh dunia kini terbuka, dan lembaga donor pun tahu bahwa ganja, sebagai obat, adalah bentuk terapi yang menjanjikan secara ilmiah dan relevan secara klinis.”

Akankah ganja turut melawan kanker? “Insting saya berkata bahwa ganja sanggup melakukannya,” tegasnya.

!break!

IBU DARI ANAK YANG SAKIT

Migran Medis

Serangan itu bermula pada Mei 2013 ketika ia berumur enam bulan. Kejang infantil, istilahnya. Bentuknya seperti refleks yang mengagetkan—kedua lengannya terjulur kaku, wajahnya tegang dan berselimut ketakutan, bola matanya bergerak panik ke kiri-kanan. Otak si kecil Addelyn Patrick meliar saat serangan itu datang, seolah ada badai elektromagnetik yang menyapu di dalam sana. “Ini mimpi terburuk kami,” ibunya, Meagan, mengakui. “Mengerikan, mengerikan, mengerikan sekali rasanya, melihat anak saya menanggung rasa sakit dan ketakutan, akan tetapi tidak ada yang bisa saya lakukan untuk menghentikannya.”

Dari kota kecil di barat daya Maine, Meagan dan suaminya, Ken, membawa Addy ke Boston untuk berkonsultasi dengan ahli saraf. Serangan epilepsi ini, mereka menyimpulkan, disebabkan oleh kelainan otak bawaan yang disebut schizensefali. Ketika masih janin, salah satu belahan otak Addy tidak berkembang utuh dan meninggalkan celah yang abnormal. Ia juga menderita hipoplasia saraf optik, yang menyebabkan matanya bergerak-gerak liar—dan, yang terungkap dari tes selanjutnya, membuat ia hampir buta. Pada musim panas, Addy dihantam 20 sampai 30 kejang sehari. Lalu 100 per hari. Kemudian 300. “Semuanya datang beruntun,” kisah Meagan. “Kami takut kami akan kehilangan Addy.”

Lalu keluarga Patrick mengikuti saran yang mereka terima dan mengobati Addy dengan antikonvulsan atau antikejang keras.

Obat keras ini mengurangi kejang yang dialami Addy, juga membuatnya mengantuk hampir seharian. “Addy seperti tak bernyawa,” kata Meagan. “Putri kecil kami hanya berbaring dan tidur sepanjang waktu. Seperti boneka kain.“

Meagan berhenti dari pekerjaannya untuk mengurus putrinya. Dalam kurun sembilan bulan, Addy dirawat inap sebanyak 20 kali.

Ketika mertua Meagan menganjurkan agar mereka menjajaki ganja medis, awalnya ia ragu. “Ini obat yang dinyatakan ilegal oleh pemerintah federal,” kenangnya. Namun ia juga menggali informasi soal kemungkinan itu. Banyak klaim yang belum terbukti secara ilmiah menunjukkan bahwa galur ganja yang tinggi kadar CBD-nya memiliki efek anti-kejang yang kuat. Uniknya, literatur medis tentang manfaat ganja sudah ada sejak lama, meski tak didukung oleh banyak kajian. Pada 1843, seorang dokter Inggris bernama William O’Shaughnessy menerbitkan artikel yang merinci bagaimana minyak ganja menghentikan kejang akut pada bayi.

!break!

Pada September 2013, keluarga Patrick menemui Elizabeth Thiele, seorang ahli saraf pediatrik di Massachusetts General Hospital, Boston, yang turut memimpin penelitian CBD untuk mengobati penyakit epilepsi—yang tak bisa diatasi dengan obat biasa—pada anak-anak. Secara hukum, Thiele tak diizinkan meresepkan ganja untuk Addy atau bahkan menganjurkannya. Namun ia sangat menyarankan agar keluarga Patrick mempertimbangkan semua pilihan medis.

Meagan tertarik dan pergi ke Colorado untuk menjumpai orang tua yang anak-anaknya menderita epilepsi dan diobati dengan galur ganja berjuluk Charlotte’s Web. Nama galur itu diambil dari Charlotte Figi, seorang gadis kecil yang merespons amat baik minyak rendah-THC dan tinggi-CBD yang diproduksi di dekat Colorado Springs.

Hal yang Meagan saksikan di Colorado membuatnya terkesan. Di sana ada basis pengetahuan yang berkembang dari produsen ganja, komunitas orang tua yang mengalami cobaan yang sama, kualitas apotek, dan keahlian laboratorium pengujian dalam memastikan formulasi minyak ganja yang konsisten. Colorado Springs sendiri menjadi kiblat bagi migrasi medis. Lebih dari seratus keluarga dengan anak-anak yang memiliki kondisi medis yang mengancam jiwa telah meninggalkan rumah lama mereka dan pindah ke sini. Keluarga ini—banyak di antara mereka tergabung dalam lembaga nirlaba yang disebut Realm of Caring, menyebut diri “pengungsi medis”. Mayoritas tak bisa mengobati anak-anaknya dengan ganja di negara bagian asal tanpa risiko ditangkap atas tuduhan jual-beli narkoba atau melakukan kekerasan kepada anak.

Meagan bereksperimen dengan minyak tinggi-CBD. Semua serangan terhenti hampir serentak. Ia menyapih putrinya dari beberapa obat yang lain. Hasilnya, Addy seolah terbangun dari koma. “Mungkin ini terdengar amat biasa,” kata Meagan.

“Namun jika anak Anda tersenyum untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan ini, yah, seluruh dunia Anda pasti berubah.”

Di awal tahun kemarin, keluarga Patrick membulatkan tekad. Mereka pindah ke Colorado untuk bergabung dengan gerakan itu.

“Kami memutuskan ini tanpa pikir panjang,” kisah Meagan. “Seandainya tanaman yang mampu menyembuhkan Addy hanya tumbuh di Mars, saya pasti akan merakit pesawat ruang angkasa di halaman belakang.”

Ketika saya bertemu dengan keluarga Patrick pada akhir 2014, mereka telah menempati rumah baru mereka di sisi utara Colorado Springs. Kemajuan Addy sangat pesat. Sejak pertama mengonsumsi minyak CBD, ia tak pernah lagi dirawat di rumah sakit. Serangan itu sesekali datang—satu atau dua kali sehari—namun tidak seintens dulu. Bola matanya pun tidak bergerak-gerak liar sesering dulu. Ia lebih bisa menyimak. Juga tertawa. Ia sudah bisa memeluk dan menemukan kekuatan pita suaranya.

Kritikus beranggapan bahwa orang tua Realm of Caring menjadikan anak-anak mereka kelinci percobaan, karena kajian yang dilakukan belum cukup memadai. Bisa jadi banyak, atau sebagian besar, klaim kemajuan yang beredar adalah hasil dari efek psikologis semata. “Memang kami belum mengetahui efek jangka panjang dari CBD, dan kami perlu menelaahnya,” kata Meagan. “Namun saya bisa mengatakan ini kepada Anda. Tanpa CBD, Addy kami seolah tak bernyawa.” Ia mencatat, tak ada yang menyangsikan efek jangka panjang dari obat yang digunakan secara luas dan sempat diresepkan rutin untuk putrinya yang berusia dua tahun. “Asuransi kami menebus pembayaran obat itu tanpa ragu,” katanya. “Padahal obat itu sangat adiktif, beracun, mengubah putriku jadi zombie, dan benar-benar dapat membunuhnya. Namun obat itu justru amat legal. “

Thiele menjelaskan bahwa hasil awal kajian CBD sangat menggembirakan. “CBD bukanlah obat sakti yang menyembuhkan dalam sekejap—hasilnya pun tidak sama pada semua orang,” ia mewanti-wanti. “Namun saya terkesan. Jelas, CBD dapat menjadi pengobatan yang manjur bagi banyak orang. Ada beberapa anak dalam penelitian ini yang selama setahun lebih terbebas dari serangan kejang.”

Kini keluarga Patrick berada di tempat yang tepat—mereka lebih bahagia dibandingkan dengan bertahun-tahun yang lalu.

“Addy kami sudah kembali,” kata Meagan. “Dan saya sendiri pasti tak akan percaya bila tidak mengalaminya sendiri. Ganja bukanlah obat ajaib. Namun saya rasa obat ini wajib ada dalam opsi pengobatan setiap neurolog di sepenjuru negeri ini.”

!break!

AHLI GENETIKA

Membangun Peta

“Ganja tanaman yang sangat menarik dan bernilai,” komentar Nolan Kane, yang mengkhususkan diri di bidang biologi evolusi. “Tanaman ini sudah ada selama jutaan tahun, dan merupakan salah satu tanaman tertua manusia. Namun ada begitu banyak persoalan mendasar yang harus dijawab. Dari mana asalnya? Bagaimana dan mengapa tanaman ganja berevolusi? Bagaimana semua deretan senyawa ini bisa muncul? Kita  bahkan tidak tahu berapa banyak spesies ganja yang ada.”

Kami tengah berdiri di dalam rumah kaca laboratorium kampus University of Colorado Boulder, memandangi sepuluh tanaman ganja yang belum lama ini diterima Kane untuk tujuan penelitian. Tanaman itu tinggi dan bertangkai kecil bak remaja kurus nan canggung, sama sekali tidak serimbun tanaman memikat yang Hague pamerkan kepada saya. Tanaman ini, seperti hampir semua jenis ganja lainnya, mengandung kadar THC rendah.

Kehadirannya di sini, dalam sekat-sekat laboratorium universitas besar, menyiratkan tahun-tahun penuh polemik untuk memenangkan persetujuan federal dan universitas. Saat ini, Kane diizinkan menumbuhkan galur ganja saja. Bahan penelitiannya yang lain ialah DNA ganja yang disuplai petani Colorado; ia mengajari mereka metode mengekstrak DNA.

Kane menyentuh salah satu tanaman itu, mengaku bingung dengan larangan budidaya ganja komersial yang berlaku di AS. “Tanaman ganja menghasilkan serat dengan mutu yang tak tertandingi,” tegasnya. “Ganja adalah tanaman biomassa yang produktivitasnya sangat tinggi, mampu mengisi ulang tanah, dan tidak rakus pupuk. Setiap tahun kami mengimpor berton-ton ganja dari Tiongkok dan juga Kanada, namun karena masalah kebijakan federal, kita tak bisa menanamnya secara legal.

Sebagai ahli genetika, Kane mempelajari ganja dari perspektif yang unik—ia menyelidiki DNA-nya. Ia seorang pria pencinta alam yang memetakan genom ganja. Meski urutannya jauh lebih pendek, yaitu sekitar 800 juta nukleotida, baginya tanaman ganja jauh lebih menarik.

Sudah ada satu bagan genom ganja yang masih berantakan, sangat terfragmentasi, dan terpencar menjadi kira-kira 60.000 keping. Tujuan ambisius Kane, yang akan memakan waktu bertahun-tahun lamanya untuk dicapai, ialah merakit fragmen-fragmen ini dalam urutan yang benar.

“Analogi saya seperti ini: ada 60.000 halaman untuk bisa menjadi buku yang bagus, namun masih berserakan di lantai,” paparnya. “Kami belum tahu bagaimana halaman itu bisa disatukan untuk menyusun kisah yang indah.”

Banyak orang yang menantikan hasil akhir dari genom ganja tersebut. “Yah, tekanannya berbeda,” katanya, “karena pekerjaan ini akan berimplikasi besar, dan semua hal yang kami kerjakan di laboratorium ini diawasi oleh banyak pihak. Anda bisa merasakannya, bukan? Semuanya berharap upaya ini akan membuahkan hasil. “

Begitu pemetaannya beres, ahli genetika yang giat ini dapat memanfaatkannya dengan segudang cara, seperti membiakkan  galur yang mengandung lebih banyak kadar senyawa langka yang memiliki manfaat medis. “

Saat Kane menggiring saya mengitari laboratoriumnya, saya melihat keceriaan di wajahnya dan di wajah staf-staf yang masih muda. Tempat ini beraura seperti perusahaan rintisan. “Ada banyak sekali ilmu pengetahuan yang terbangun sedikit demi sedikit,” katanya, “namun dengan penelitian ganja ini, ilmu pengetahuan tak akan berkembang secara bertahap, tetapi pesat dan dramatis. Transformasi itu akan terjadi, bukan hanya dalam koridor pemahaman kita akan tanaman, melainkan juga akan diri kita—otak, neurologi, dan psikologi manusia.

Transformatif dalam biokimia senyawanya. Transformatif dalam dampaknya pada berbagai industri, termasuk obat-obatan, pertanian, dan bahan bakar hayati. Jangan-jangan pola makan kita pun berubah—biji ganja terbukti sebagai sumber minyak kaya protein yang amat sehat.”

Ganja, dalam istilah Kane, “mengandung berjuta kebaikan.”