Gulma yang Menaklukkan Barat

By , Senin, 25 April 2016 | 18:00 WIB

Petaka itu dimulai ketika matahari terbenam, saat sepasang warga kota yang sedang berkendara di gurun pasir terdampar di jalan ngarai yang sepi. Suasana sunyi dan tak berangin. Namun satu per satu, bagai serigala yang mengendap-endap di malam hari, tumbleweed mulai berkumpul di sekeliling mereka.

“Mereka membuntuti kita,” seru si tokoh perempuan. Ketika suaminya mencoba turun tangan, salah satu tumbleweed itu melompat ke matanya.

“Rumput itu seperti gurita!” teriaknya, setelah merenggutnya dari muka. “Kuat sekali, seakan-akan hidup!…Dari mana asal tenaga sebesar itu? Bagaimana rumput mati bisa hidup?”

Banyak episode lain yang lebih seram dalam The Outer Limits, seri fiksi ilmiah tua yang masih hitam-putih itu. Tetapi episode ini, “Cry of Silence,” membangkitkan rasa ngeri tersendiri bagi saya.

Pertemuan saya sendiri dengan monster ini berawal pada suatu musim gugur, ketika saya dan istri membeli tanah—sekitar satu hektare untuk kuda di pinggiran kota Santa Fe. Kami melihat beberapa kerangka tumbleweed getas yang bertebaran. Tapi itu wajar saja. Salsola tragus, demikian nama ilmiahnya, atau Russian thistle, telah menyebar ke mana-mana di Barat. Beberapa bulan kemudian, setelah membeli tanah itu, kami menemukan lebih banyak lagi: tumpukan tumbleweed yang tertimbun di kumpulan pohon pinus dan kasturi selama bertiupnya angin Maret.

Saya berusaha meredam cemas. Saya sudah pernah melawan rupa-rupa gulma di rumah kami di kota, sesekali termasuk tumbleweed. Ada pula kochia dan flixweed, yaitu mustar liar yang tampaknya kebal terhadap api dan herbisida, serta yellow toadflax, yang menghasilkan zat kimia yang membakar kulit (Homo sapien-isida) untuk melawan manusia pembasmi seperti saya. Nama pemberian kita kepada tanaman pengganggu ini adalah bukti rasa jijik manusia: pigweed, dogbane, horseweed, sow thistle, stink grass, ragwort, poverty sumpweed. Karena telah diprogram oleh evolusi untuk mampu bertahan hidup di wilayah paling kejam di planet ini, hidup di tempat lain bagi mereka sama mudahnya.

Saya mendapati bahwa Salsola itu ibarat Genghis Khan versi mereka. Penyerang dari stepa Eurasia di timur Pegunungan Ural, Russian thistle memiliki kemampuan menyebalkan untuk tumbuh subur di tanah yang didatanginya. Setiap musim dingin tumbuhan itu mati, dan rantingnya menjadi getas, patah saat tertiup angin. Lalu mereka berguling-guling, bersatu menjadi awan duri cokelat yang jelek, yang dapat menenggelamkan rumah atau memperparah kebakaran padang rumput. Hampir tidak ada manfaatnya, tumbuhan terbesar—yang bisa tumbuh sampai sebesar VW kumbang—dapat menyebarkan hingga 250.000 biji di sepanjang jalur berkilo-kilometer. Biji itu lalu menanti, bersiap-siap untuk gelombang serbuan berikutnya.

Bersama lelehan salju musim semi dan hujan musim panas pertama di pertanian, ribuan biji Russian thistle mulai bersemi menyambut sinar mentari, bermunculan di tanah cokelat bak bintang kecil biru-hijau. Tunas-tunas ini tampak cantik dan lugu, berjemur matahari. Lalu bentuknya mulai berubah menjadi mengerikan. Beberapa hari kemudian ukurannya sudah sebesar tangan, jarinya yang kenyal dan berurat ungu itu balas menarik seperti gergasi saat saya mencoba mencabutnya dari tanah. Mereka belum siap angkat kaki.

Seminggu kemudian sebagian tumbuhan itu sudah sebesar bola boling. Karena tahu ukurannya akan segera berlipat, kami membabatnya dengan pacul, memasukkannya ke belakang Jeep, dan mengangkutnya ke tempat pembuangan sampah. Dua minggu kemudian mereka kembali lagi.

!break!

Setiap hari Sabtu selama musim panas itu, hampir sepanjang hari kami menjejali kantong sampah ekstra-besar dengan panen terbaru, berusaha memutus siklus perkembangbiakannya dengan mencegah tanaman muda menebar biji. Saya memeriksa setiap jengkal tanah, dan seminggu kemudian harus melakukannya lagi dari awal. Salsola ada di mana-mana.

Selama beberapa bulan berikutnya, saya dan gulma itu menjadi pemangsa dan mangsanya, dan naluri pemburu saya pun terasah. Bayangan Salsola sekecil apa pun tidak luput dari perhatian saya, dan langsung saya ganyang sampai mati. Saya mencoba membabatnya dengan mesin potong rumput, membakar tunasnya dengan obor propana. Saya mencoba herbisida. Tidak ada yang mujarab. Salsola selalu selangkah lebih maju.

Tak lama kemudian saya mulai tenggelam berjam-jam membaca buku seperti Weeds of the West dan Fundamentals of Weed Science. Ada kepuasan tersendiri dalam mengenal musuh: kebiasaannya, etologinya—kadang seperti membaca psikologinya. Saya yakin bahwa tumbuhan itu sudah belajar bersembunyi dari saya, bercokol di sebelah batu dan meledakkan biji sebelum sempat saya tangkap. Pada bulan November, ketika serbuan akhirnya mereda selama musim salju, Russian thistle tetap terbayang-bayang saat saya memejamkan mata.

Musim semi berikutnya, usai kerja keras itu, Salsola masih ganas seperti biasa. Tentu saja, saya bukan satu-satunya orang yang bertempur dalam perang yang tak bisa dimenangkan ini. Bagaimana asal mula semua ini?