Petaka itu dimulai ketika matahari terbenam, saat sepasang warga kota yang sedang berkendara di gurun pasir terdampar di jalan ngarai yang sepi. Suasana sunyi dan tak berangin. Namun satu per satu, bagai serigala yang mengendap-endap di malam hari, tumbleweed mulai berkumpul di sekeliling mereka.
“Mereka membuntuti kita,” seru si tokoh perempuan. Ketika suaminya mencoba turun tangan, salah satu tumbleweed itu melompat ke matanya.
“Rumput itu seperti gurita!” teriaknya, setelah merenggutnya dari muka. “Kuat sekali, seakan-akan hidup!…Dari mana asal tenaga sebesar itu? Bagaimana rumput mati bisa hidup?”
Banyak episode lain yang lebih seram dalam The Outer Limits, seri fiksi ilmiah tua yang masih hitam-putih itu. Tetapi episode ini, “Cry of Silence,” membangkitkan rasa ngeri tersendiri bagi saya.
Pertemuan saya sendiri dengan monster ini berawal pada suatu musim gugur, ketika saya dan istri membeli tanah—sekitar satu hektare untuk kuda di pinggiran kota Santa Fe. Kami melihat beberapa kerangka tumbleweed getas yang bertebaran. Tapi itu wajar saja. Salsola tragus, demikian nama ilmiahnya, atau Russian thistle, telah menyebar ke mana-mana di Barat. Beberapa bulan kemudian, setelah membeli tanah itu, kami menemukan lebih banyak lagi: tumpukan tumbleweed yang tertimbun di kumpulan pohon pinus dan kasturi selama bertiupnya angin Maret.
Saya berusaha meredam cemas. Saya sudah pernah melawan rupa-rupa gulma di rumah kami di kota, sesekali termasuk tumbleweed. Ada pula kochia dan flixweed, yaitu mustar liar yang tampaknya kebal terhadap api dan herbisida, serta yellow toadflax, yang menghasilkan zat kimia yang membakar kulit (Homo sapien-isida) untuk melawan manusia pembasmi seperti saya. Nama pemberian kita kepada tanaman pengganggu ini adalah bukti rasa jijik manusia: pigweed, dogbane, horseweed, sow thistle, stink grass, ragwort, poverty sumpweed. Karena telah diprogram oleh evolusi untuk mampu bertahan hidup di wilayah paling kejam di planet ini, hidup di tempat lain bagi mereka sama mudahnya.
Saya mendapati bahwa Salsola itu ibarat Genghis Khan versi mereka. Penyerang dari stepa Eurasia di timur Pegunungan Ural, Russian thistle memiliki kemampuan menyebalkan untuk tumbuh subur di tanah yang didatanginya. Setiap musim dingin tumbuhan itu mati, dan rantingnya menjadi getas, patah saat tertiup angin. Lalu mereka berguling-guling, bersatu menjadi awan duri cokelat yang jelek, yang dapat menenggelamkan rumah atau memperparah kebakaran padang rumput. Hampir tidak ada manfaatnya, tumbuhan terbesar—yang bisa tumbuh sampai sebesar VW kumbang—dapat menyebarkan hingga 250.000 biji di sepanjang jalur berkilo-kilometer. Biji itu lalu menanti, bersiap-siap untuk gelombang serbuan berikutnya.
Bersama lelehan salju musim semi dan hujan musim panas pertama di pertanian, ribuan biji Russian thistle mulai bersemi menyambut sinar mentari, bermunculan di tanah cokelat bak bintang kecil biru-hijau. Tunas-tunas ini tampak cantik dan lugu, berjemur matahari. Lalu bentuknya mulai berubah menjadi mengerikan. Beberapa hari kemudian ukurannya sudah sebesar tangan, jarinya yang kenyal dan berurat ungu itu balas menarik seperti gergasi saat saya mencoba mencabutnya dari tanah. Mereka belum siap angkat kaki.
Seminggu kemudian sebagian tumbuhan itu sudah sebesar bola boling. Karena tahu ukurannya akan segera berlipat, kami membabatnya dengan pacul, memasukkannya ke belakang Jeep, dan mengangkutnya ke tempat pembuangan sampah. Dua minggu kemudian mereka kembali lagi.
!break!Setiap hari Sabtu selama musim panas itu, hampir sepanjang hari kami menjejali kantong sampah ekstra-besar dengan panen terbaru, berusaha memutus siklus perkembangbiakannya dengan mencegah tanaman muda menebar biji. Saya memeriksa setiap jengkal tanah, dan seminggu kemudian harus melakukannya lagi dari awal. Salsola ada di mana-mana.
Selama beberapa bulan berikutnya, saya dan gulma itu menjadi pemangsa dan mangsanya, dan naluri pemburu saya pun terasah. Bayangan Salsola sekecil apa pun tidak luput dari perhatian saya, dan langsung saya ganyang sampai mati. Saya mencoba membabatnya dengan mesin potong rumput, membakar tunasnya dengan obor propana. Saya mencoba herbisida. Tidak ada yang mujarab. Salsola selalu selangkah lebih maju.
Tak lama kemudian saya mulai tenggelam berjam-jam membaca buku seperti Weeds of the West dan Fundamentals of Weed Science. Ada kepuasan tersendiri dalam mengenal musuh: kebiasaannya, etologinya—kadang seperti membaca psikologinya. Saya yakin bahwa tumbuhan itu sudah belajar bersembunyi dari saya, bercokol di sebelah batu dan meledakkan biji sebelum sempat saya tangkap. Pada bulan November, ketika serbuan akhirnya mereda selama musim salju, Russian thistle tetap terbayang-bayang saat saya memejamkan mata.
Musim semi berikutnya, usai kerja keras itu, Salsola masih ganas seperti biasa. Tentu saja, saya bukan satu-satunya orang yang bertempur dalam perang yang tak bisa dimenangkan ini. Bagaimana asal mula semua ini?
!break!Pada Oktober 1880 Departemen Pertanian di Washington pertama kali mendapat kabar tentang tumbuhan aneh yang mulai bermunculan di lahan tani yang baru dibajak di negara bagian South Dakota. Pada laporan itu dilampirkan sampel yang ditemukan di kota Yankton di tepi Sungai Missouri. Informasi itu diarsipkan dan terlupakan hingga, sepuluh tahun kemudian, spesimennya mulai berdatangan lagi lewat pos. Salah satunya berasal dari Aberdeen, 320 kilometer di barat laut penampakan sebelumnya, dan satu lagi jauh-jauh di North Dakota.
Pada awal 1890-an seorang legislator mengusulkan pembangunan pagar di sekeliling negara bagian itu untuk menghentikan serbuan. Sudah terlambat. Saat itu gulma itu sudah menyebar hingga ke Kanada.
Saat melacak sejarahnya, James A. Young, seorang ilmuwan USDA, mengumpulkan surat yang menceritakan serbuan itu. “Sebagian besar South Dakota di sebelah timur Sungai Missouri sudah terkena,” tulis seorang petani pada tahun 1891. “Gulma menjengkelkan ini begitu tangguh di beberapa wilayah negara bagian ini…sehingga banyak petani terusir dari rumah sendiri gara-gara gulma ini.”
Seorang penulis surat lain menyatakan bahwa dia diberi tahu “orang Rusia pandai” bahwa gulma itu tumbuh berlimpah di tempat asal mereka di sekitar Odesa, “dan konon dibawa ke Amerika oleh orang Rusia dengan cara yang tidak diketahui.”
Lyster Hoxie Dewey, ahli botani madya, diutus dari Washington untuk menyelidiki. Dia mewawancarai siapa saja yang dapat memberi keterangan tentang serbuan itu. Saya membayangkan dia berkuda membawa poster buronan yang berisi foto gulma buron itu. Dia mengirim kuesioner kepada pemerintah kabupaten di tujuh negara bagian, menanyakan kapan tumbuhan itu pertama kali terlihat dan sudah sejauh apa penyebarannya. Dia terperangah melihat temuannya: “suatu wilayah seluas 90.000 kilometer persegi yang hampir tak terputus, telah dipenuhi Russian thistle dalam waktu relatif singkat dua puluh tahun.”
Iowa, Nebraska, sebagian Wisconsin—semuanya terkena. Dewey segera menenangkan atasannya, bahwa investigasi ini bukan hasil konspirasi. Pada 1873 atau 1874—Dewey memang seteliti itu—biji rami yang tercemar dari Rusia secara tak sengaja ditanam di suatu pertanian di dekat kota Scotland, South Dakota.
“Kecepatan penyebaran Russian thistle, jauh melampaui gulma mana pun yang dikenal di Amerika,” Dewey melaporkan. “Bahkan sangat sedikit tumbuhan budidaya, yang memang sengaja diperkenalkan dan sengaja disebarkan, memiliki catatan kecepatan distribusi yang menyamai gulma ini.”
Mengakar di tepi jalan, saluran pengairan, dan rel kereta api, atau menumpang diam-diam dalam pengiriman biji-bijian, Salsola menyebar dengan cepat di wilayah Barat Amerika. Pada tahun 1885 gulma itu sudah mencapai California. Dalam waktu beberapa tahun Salsola telah terlihat di lebih dari dua belas negara bagian. Berguling riang di rumah barunya, Salsola adalah mesin penebar benih dengan efisiensi yang mengerikan.
Dia tidak repot-repot berdaun hijau, dan alih-alih mencurahkan energi untuk menghasilkan sisik kecil tajam yang disebut daun gagang (bract). Di ketiak antara daun gagang dan tangkai, terselip bunga mungil yang menghasilkan biji. Di dalam setiap biji terdapat embrio Salsola yang bergelung seperti ular, siap terurai menjadi bibit begitu suhu siang naik di atas titik beku. Hanya dengan beberapa tetes air, gulma itu mulai tumbuh, menancapkan akar sedalam dua meter, dengan tentakel yang menjalar lebih jauh lagi.
Pada akhir musim gugur, saat tumbuhan dewasa sudah hamil biji, selapis sel di pangkal melemah seperti ranting apel sehingga mudah lepas. Lalu datanglah angin yang tak terelakkan. Tumbuhan itu patah dan berguling dan menyebar benih. Tanah subur, tanah gersang, basah atau kering, lempung atau pasir, basa atau asam—di mana pun ia menemukan peluang. Asalkan tanahnya pernah digemburkan oleh bajak, pacul, atau kaki sapi, Salsola akan tumbuh. Gulma ini juga terus tumbuh subur di tanah kelahirannya, menyebar ke semua daerah bercuaca kering di Eropa dan Asia. Kanada, Australia, Argentina, Afrika Selatan. Pada awal 1960-an, setelah pengujian nuklir di permukaan tanah akhirnya berhenti di Situs Uji Nevada, konon hal pertama yang tumbuh kembali adalah Russian thistle. Salsola radioaktif berguling keluar dari Reservasi Nuklir Hanford tua di Washington, tempat diproduksinya plutonium semasa Perang Dingin. Saya tak akan heran jika kelak mendengar bahwa Russian thistle ditemukan di bulan.
!break!Pada akhir musim semi ini, karena ingin melihat tempat asal mula kekacauan ini, saya terbang ke Sioux Falls, menyewa mobil, dan menuju selatan ke Bon Homme County, tempat para petani South Dakota naas itu membebaskan sang jin dari lampunya.
Plang di pinggir desa menyebutkan nama Scotland, populasi 891 jiwa. Di atas jalan itu tidak ada rambu, seperti di Castroville, California, “pusat articok dunia.” Menara air warna ungu menjulang di jalan utama, yang berujung di taman tempat anak-anak sedang bermain. Di satu sudut, di luar zona pemeliharaan, beberapa tumbleweed mendekam, menunggu kesempatan masuk. Sebagian besar wilayah itu kini membudidayakan jagung dan kacang kedelai, jadi jumlah Russian thistle yang terlihat tidak sebanyak yang saya kira. Mereka umumnya muncul di tepi jalan, di relung yang terabaikan. Karena berkurangnya ruang terbuka untuk dilalui dan penggunaan besar-besaran herbisida kelas industri, Salsola sudah pindah ke daerah yang lebih ramah di sebelah barat.
Saya melanjutkan berkendara ke Vermillion; saya sudah membuat janji untuk melihat sampel bersejarah di herbarium University of South Dakota di sana.
Untuk mengendalikan Salsola, para ilmuwan di USDA sudah bertahun-tahun bekerja sama dengan kolega di Rusia, Uzbekistan, dan Turki dalam eksperimen hama—tungau, kumbang penggerek, ngengat, dan jamur—yang memangsa gulma di habitat alaminya.
Diimpor ke Amerika Serikat, pengendali biologis seperti ini “semestinya dapat turut menekan populasi gulma ini hingga tingkat yang tidak berbahaya di wilayah luas,” demikian perkiraan Lincoln Smith, salah seorang peneliti itu. Akan tetapi, dia belum mendapat izin federal untuk melepasnya di lapangan. Saya kira peraturan federal seperti ini bagus. Andai saja dulu peraturan itu sudah ada dan menghambat penyebaran Salsola. Sementara ini, satu-satunya musuh sejati gulma itu kita sendiri. Dan, kita belum bersatu padu melawannya.
Pada hari Natal warga kota Chandler, Arizona, mendirikan pohon Natal tumbleweed. Di Albuquerque boneka tumbleweed raksasa menjulang angker di tepi jalan Interstate 40.
Prairie Tumbleweed Farm, di Garden City, Kansas, malah menanam Salsola—dengan sengaja!—dalam baris-baris panjang dan rapi: “Tumbleweed jaminan mutu!” Pertanian ini mengirim peti berisi tumbleweed seharga Rp150-250 ribu untuk dijadikan hiasan. (Ada halaman web khusus yang melayani pelanggan Jepang.) Seorang lelaki di Utah dengan bangga menceritakan bahwa tumbleweed darinya digunakan sebagai pajangan etalase oleh Ralph Lauren, dalam drama Broadway, dan dalam pesta pernikahan bertema koboi. Dia menjual paket biji tumbleweed seharga Rp150.000.
Mungkin upaya kolektif dan komersial seperti ini patut dikagumi—berusaha memetik manfaat dari situasi buruk, menyambut keniscayaan. Tapi saya tidak sepakat. Menurut saya, ini sama saja bermain mata dengan musuh.