Perang Perebutan Virunga

By , Sabtu, 16 Juli 2016 | 21:00 WIB

Ketika si polisi hutan meng-awasi sekelompok pekerja yang menjadi tanggung jawabnya, tujuh pemuda yang tengah memperbaiki jalan kasar menuju Taman Nasional Virunga, jelas terlihat bahwa dia memiliki kesamaan dengan mereka. Mereka semua lahir dan dibesarkan di dalam atau sekitar taman itu, di perbatasan timur Republik Demokratik Kongo. Tidak seorang pun dari mereka tampak kaya maupun berpotensi kaya. Semuanya pernah melihat orang-orang tercinta mereka tumbang ditebas parang perang yang pelik dan seolah-olah tidak berkesudahan.

Dan kini mereka semua berada di sana, bekerja untuk taman nasional. Mereka menambal lubang-lubang di jalan demi tujuan yang lebih mulia dari sekadar jalan kasar sepanjang empat belas kilometer. Jalan itu menghubungkan pos polisi hutan Bukima dengan para wisatawan dari Barat, yang uangnya membantu menyangga kelangsungan taman nasional tertua di Afrika. Alasan utama kedatangan mereka adalah mewujudkan mimpi—berdiri hanya beberapa meter dari penghuni taman yang tersohor, gorila-gorila gunung yang telah langka.

Jalan Bukima yang menghubungkan para petani di luar taman nasional dengan pasar-pasar desa dan Kota Goma. Sudah bertahun-tahun jalan itu menyerupai kubangan berisi bebatuan besar dan lumpur yang mirip pasir hisap. Kondisinya yang mustahil dilewati menjadikan kehidupan yang sudah keras semakin keras. Namun kini taman nasional mengucurkan dana untuk perbaikan jalan. Dan penduduk setempat seperti para pemuda itulah yang mengerjakannya. Maka jalan itu pun juga menjadi pengikat, meskipun tipis. Pengikat antara lembaga nasional paling terkemuka di wilayah itu dan penduduk desa yang memandang taman nasional dengan benci dan kadang marah. Pasalnya, penduduk masih meyakini bahwa lahan itu sesungguhnya masih milik mereka. Inilah yang membedakan si polisi hutan, seorang kapten bernama Theo Kambale, dengan para pemuda itu. Hati Kambale sepenuhnya tertuju ke taman nasional.

Kambale berusia 55 tahun dan telah menjadi polisi hutan selama 31 tahun. Ayahnya, yang berprofesi sama, tewas diseruduk kerbau Afrika pada 1960, tahun kelahiran Kambale. Kakak lelakinya juga tewas saat bertugas, pada 2006. Pembunuhnya, anggota salah satu kelompok bersenjata yang telah merusak dan menduduki Virunga selama dua dekade.

Para pemuda ditarik secara paksa oleh milisi yang dikenal dengan nama M23. Pada akhir 2013, setelah memerangi mereka selama lebih dari satu setengah tahun, Angkatan Bersenjata Kongo, yang didukung oleh pasukan PBB, berhasil membekuk M23. Di antara prajurit infanteri yang dianggap layak diampuni oleh para penjaga perdamaian PBB dan petugas taman nasional adalah ketujuh pemuda itu.

Tugas memperbaiki jalan Bukima lebih berat dan kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan menjarah. Namun para mantan pemberontak itu tekun bekerja. Kambale terkesan. Dia sesekali mengobrol dengan mereka. “Dahulu, kalian hanya membuat kekisruhan di wilayah ini,” katanya. “Sekarang kalian membangun jalan ini. Ini baru awalnya. Dari sini kalian bisa melakukan banyak hal lain. Tetapi kalian tak akan bisa maju kalau tidak ada perasaan aman. Jadi sampaikan ini kepada teman-teman kalian. Suruh mereka meninggalkan kelompok bersenjata mereka. Karena itu bukan kehidupan. Ini”—dia menunjuk jalan—“baru awal kehidupan.”

Kambale berharap pesan ini akan mengendap. Dia memahami latar belakang kelam mereka. Dia pun mengerti bahwa sebagian besar dari mereka ditarik secara paksa. Di sekujur lengan dan punggung mereka terdapat bekas-bekas luka yang saling bertumpukan, bukti semiperbudakan. Ketika melihat para pemuda berusia 20-an yang menyandang bekas permanen brutalitas, Kambale teringat pada cedera di kaki kanannya, yang disebabkan oleh tombak milisia. Bukti kependudukan, bisa dibilang. Kalau mereka bisa mengabaikan luka-luka perang mereka, mungkin taman nasional ini bisa diselamatkan.

Tidak ada area terlindung berskala nasional lain di dunia ini yang menyerupai Virunga, meskipun hal ini memberikan keuntungan dan kerugian. Taman nasional ini memiliki luas sekitar 800.000 hektare, mencakup jejaring sungai gletser, salah satu Danau Besar Afrika, sabana yang bermandikan sinar matahari, hutan hujan yang lebat, salah satu gunung tertinggi di Afrika, dan dua gunung berapi aktif. Virunga menjadi rumah bagi lebih dari 700 spesies burung dan lebih dari 200 mamalia dan 480 dari 880 ekor gorila gunung yang masih tersisa di dunia. Berdiri di tempat Sungai Semliki mengalir sembari memandang kawanan gajah yang tengah berenang dengan khidmat dan kawanan bangau paruh sadel dengan latar belakang matahari pagi yang masih menggantung rendah, siapa pun akan merasa sangat kecil, dan sangat menyadari bahwa alam masih terlalu tangguh untuk ditaklukkan.!break!

Virunga telah menjadi medan perang selama dua dekade terakhir. Pada 1994 konflik etnis mematikan di Rwanda yang memicu genosida terhadap etnis Tutsi oleh etnis Hutu meluap melintasi perbatasan Kongo. Para pejuang Hutu bersama lebih dari satu juta pengungsi melarikan diri dari Rwanda menyusul kekalahan mereka, dan menghuni kamp-kamp sesak berkondisi mengenaskan di sekitar taman nasional. Sebagian orang Hutu kemudian membentuk Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda—dikenal dengan singkatan dari bahasa Prancis, FDLR—milisi yang menewaskan kakak Kambale. Penduduk Kongo yang beretnis Tutsi akhirnya merespons dengan membentuk Kongres Nasional Pertahanan Rakyat (National Congress for the People’s Defense atau CNDP), yang kemudian menelurkan gerakan 23 Maret, atau M23. Satu konflik berdarah memicu konflik berdarah lainnya—digerakkan oleh kelompok-kelompok bersenjata ini—mengobrak-abrik taman nasional.

Sejumlah besar pejuang, bersama para tentara Angkatan Bersenjata Kongo, tetap tinggal di sana setelah gencatan senjata ditetapkan. Masih ada ribuan pejuang di taman nasional saat ini, dan ribuan pejuang lainnya dari milisi lokal Mai-Mai yang kerap berganti tujuan te-lah bergabung bersama mereka. Berbagai upaya dari para polisi hutan untuk menggiring mereka keluar kerap berujung kematian. Maret lalu dua orang polisi hutan dibunuh di sektor utama Virunga, menambah angka kematian polisi hutan menjadi 152 sejak 1996.

Virunga juga dirongrong oleh perang lainnya, yakni penggalian di sana-sini yang tidak memedulikan kelangsungan ekologi untuk mencari minyak. Soco International, perusahaan yang berbasis di London, mengantongi izin konsesi pada 2010, yang memungkinkannya mengeksplorasi setengah luas Virunga, termasuk area di dekat Danau Edward. Menindaklanjuti protes keras yang terus berdatangan dari kelompok-kelompok konservasi, empat tahun kemudian Soco mundur. Pemerintah Uganda, bagaimanapun, telah menunjukkan ketertarikan untuk melakukan eksplorasi minyak di tepi danau. Ini menjadi pengingat suram bahwa taman nasional beserta seluruh sumber dayanya sama sekali tidak dianggap sakral.

Faktanya, tanah Virunga termasuk yang tersubur di Afrika. Perlindungan seluruh lahannya, yang dilakukan sejak pendirian taman nasional pada 1925, telah merenggut sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh penduduk salah satu negara yang dilanda bencana kelaparan terparah di dunia.  Akibatnya, muncul kekesalan di antara empat juta penduduk wilayah itu. Banyak di antara mereka, entah sengaja maupun tidak, melanggar hukum dengan menebang pepohonan di taman nasional untuk dijadikan arang, bertani di hutan, atau memburu binatang-binatang liar di dalamnya. Sebagian di antara mereka membentuk milisi Mai-Mai dan secara berkala mengumbar kekerasan.

Iklim kebencian yang terasa di mana-mana bukan hal remeh. Ini mencerminkan tantangan yang selalu ada untuk Virunga. “Sesungguhnya kami bisa berhasil hanya jika kami mampu menjaring dana yang sangat besar,” ujar direktur taman nasional, Emmanuel de Merode. Akibat huru-hara yang kerap melanda wilayah itu, hanya sekitar sepersepuluh Virunga yang bisa diakses oleh pengunjung—dan hanya setengahnya yang bisa dikategorikan ramah wisatawan. Penghuni terpenting taman nasional—250 hingga 300 gorila gunung yang sudah terbiasa melihat manusia—diawasi secara ketat setiap hari oleh tim keamanan yang beranggota 80 orang. Virunga adalah properti nasional, namun pemerintah Kinshasa hanya memberikan kontribusi sebesar lima persen dari anggaran operasional taman nasional sebesar delapan juta dolar per tahun. Sebagian besar dana didapatkan dari Uni Eropa, pemerintah AS, dan organisasi-organisasi nirlaba internasional. Walaupun sebuah hotel berbintang, Mikeno Lodge, telah dibuka pada 2012 di dekat sektor gorila, dan bumi perkemahan mewah di Pulau Tchegera di Danau Kivu telah mulai menerima tamu sejak 2015, jumlah pengunjung masih jauh dari masa kejayaan taman nasional praperang. Hotel bahkan kosong hampir sepanjang 2012 dan 2013, selama pertumpahan darah terakhir di Virunga, pemberontakan M23.!break!