Perang Perebutan Virunga

By , Sabtu, 16 Juli 2016 | 21:00 WIB

Selayaknya seorang tokoh heroik, Emmanuel de Merode, 46, tidak berpenampilan seperti pahlawan. dia adalah pangeran Belgia, gelar yang dianugerahkan kepada keluarganya karena seorang leluhurnya membantu negara itu merebut kemerdekaannya dari Belanda. Dari informasi terbatas ini, siapa pun bisa membayangkan bahwa de Merode paling sesuai dengan kehidupan di samping perapian, mengenakan sweter dan menikmati segelas anggur, bukan berada di salah satu zona konflik terpanas di dunia. Namun de Merode lahir di Afrika, menghabiskan masa mudanya di Kenya, menuntut ilmu di bidang antropologi, dan menghabiskan masa dewasanya di wilayah konservasi, sebagian besarnya di Kongo.

Di balik seragam de Merode terdapat dua bekas luka tembak tembus; satu peluru menembus paru-paru kirinya dan yang lain menembus perutnya. Dia mendapatkan kedua luka itu pada April 2014, ketika bermobil dari Goma untuk kembali ke taman nasional melalui jalan becek yang sunyi sekitar lima kilometer di selatan Desa Rugari. Pembunuh gagalnya tidak pernah ditemukan.

De Merode menjadi direktur Virunga pada 2008, di titik nadir taman nasional itu. Direktur sebelumnya ditahan tahun itu dengan tuduhan turut berpartisipasi dalam perdagangan gelap arang dan perencanaan pembantaian gorila. Sekitar enam bulan sebelumnya, taman nasional ini mendapatkan peng-huni baru, yaitu CNDP, milisi yang didukung oleh Rwanda untuk melawan FDLR. Tindakan pertama yang diambil oleh de Merode menunjukkan keberanian—muncul tanpa senjata di markas CNDP untuk meminta agar polisi hutan diizinkan kembali memasuki taman nasional. Komandan milisi, Laurent Nkunda, me-ngabulkan permintaan itu. De Merode kemudian membersihkan jajaran polisi kehutanan. Dia memangkas jumlah anggotanya dari 1.000 menjadi 230 orang, dan menaikkan upah bulanan yang semula hanya lima dolar menjadi le-bih layak, yaitu $200—“cukup,” katanya, “untuk meredam toleransi terhadap korupsi.”

De Merode kemudian berusaha memperbaiki hubungan dengan penduduk setempat. Dia mendengarkan keluhan warga. Selama berpuluh-puluh tahun, pihak taman nasional telah berjanji akan mengembalikan setengah penghasilan yang diterima dari wisatawan kepada masyarakat. Ke manakah uang itu melayang? Jalan, sekolah, rumah sakit, semakin bobrok. Sementara itu, gajah-gajah merusak lahan pertanian.!break!

“Sebelum de Merode mulai tampil, kami tidak pernah tahu bahwa ada direktur di taman nasional,” ujar seorang nelayan di Vitshumbi. “Sekarang Anda bisa melihat para polisi hutan dengan seragam bersih dan senjata bagus. Anda bisa melihat perbedaan yang dihasilkannya.” De Merode bahkan duduk bersama kelompok-kelompok milisi Kongo. Bagaimanapun, dia telah berhasil membuat lawan-lawannya gentar. Pada 2012 seorang mayor polisi hutan bernama Shadrack Bihamba dikepung oleh para pejuang Mai-Mai di tepi Danau Edward dan digiring ke hutan dengan todongan senjata. Bihamba me-ngatakan bahwa pemimpin milisi yang khawatir menasihati kawan-kawannya: “Dia petugas di taman nasional. Jika kita membunuhnya, de Merode akan memburu kita sampai mampus.” Dia memerintah anak buahnya untuk membebaskan Bihamba. “Walaupun mereka Mai-Mai dan berkuasa di hutan,” kata Bihamba, “mereka tetap takut kepada de Merode karena mereka menyadari bahwa dia didukung oleh seluruh masyarakat.”

Tetap saja, de Merode mengetahui bahwa wibawanya saja tidak akan mampu menjaga kelangsungan taman nasional. Taman na-sional membutuhkan uang untuk menjalankan hukum dan menjaga agar para tetangga tetap menjadi sekutu mereka. Satu-satunya cara untuk memastikan yang kedua, de Merode menyimpulkan, adalah dengan “memanfaatkan taman nasional sebagai basis penciptaan lapangan kerja besar-besaran, namun dengan cara tidak merusak.” Tujuan itu membawanya ke sektor utara taman nasional—khususnya Sungai Butahu yang melintasi tepian Desa Mutwanga. Pada 2010 taman nasional ini mulai mempekerjakan penduduk desa untuk menggali kanal dan membuat fondasi bagi pembangkit listrik tenaga air pertama di Virunga. Dengan biaya $110, taman ini akan me-nyalurkan listrik ke satu rumah di Mutwanga. Listrik me-nyala pada 2013, dan de Merode menahan napas.

Para warganya tetap menyambut gembira perubahan besar ini. Biaya yang dahulu biasa mereka keluarkan untuk pemakaian bahan bakar generator di kios mereka selama sehari kini bisa memenuhi kebutuhan listrik selama satu bulan penuh. Para siswa bisa mengerjakan tugas mereka pada malam hari. Rumah sakit berfungsi sepanjang waktu. Orang-orang membeli setrika, televisi, dan pemutar CD. Pemilik sebuah kios reparasi komputer menyewakan DVD dan berencana membuka warung Internet pertama di sana. Padahal baru 500 dari 2.500 rumah tangga yang tersambung ke pembangkit listrik tenaga air sederhana yang menghasilkan 400 kilowatt listrik. Selagi tim de Merode menyusun rencana untuk menangani daftar tunggu yang panjang, sebuah pabrik sabun milik taman nasional mulai beroperasi. Pabrik itu menyerap sekitar seratus tenaga kerja dari area ini. “Mutwanga menjadi laboratorium uji coba kami,” kata de Merode.

Pembangkit listrik tenaga air kedua yang lebih besar akan dibuka pada Desember, dan pada akhir 2018 dua lagi akan menyusul. Keempat pembangkit listrik ini akan membawa de Merode setengah jalan mencapai tujuannya menghasilkan daya sebesar seratus megawatt. Penjualan listrik, dia memperkirakan, akan “memberikan jaminan finansial pada taman nasional hingga seratus tahun mendatang.” Akan ada cukup tambahan pemasukan untuk menanamkan investasi sebesar satu juta dolar per tahun dalam proyek-proyek pemberdayaan masyarakat dan upaya konservasi di taman-taman Kongo lainnya.

De Merode berharap agar listrik dapat menjadi katalis perkembangan ekonomi. “Alasan tidak ada industri di sini adalah ketiadaan akses energi yang murah. Itulah yang bisa ditawarkan oleh taman,” katanya.  “Tidak ada bisnis yang bisa dijadikan contoh bagus di sini,” ujar direktur pengelolaan pabrik sabun, Leonard Maliona, 29. “Para pemuda di sini tidak punya tujuan selain menjadi politisi atau bergabung dengan milisi.”!break!

Gagasan untuk menjadikan Virunga sebagai “mesin ekonomi” di wilayah itu menyebutkan bahwa para pemimpin Kongo telah menyerahkan nasib satu wilayah negeri mereka ke sebuah taman nasional dan direkturnya, yang berdarah penjajah Belgia. Jika Virunga berhasil menjadi mesin ekonomi, kebencian mendalam masyarakat terhadap taman nasional akan berganti menjadi ketergantungan besar. Dan, semua itu diletakkan di pundak para pemuda yang bersedia menempa pedang mereka menjadi mata bajak untuk bekerja secara halal.

Dua pekerja menambal lubang-lubang di jalan yang teduh. Bushe Shukuru berbadan jangkung; Gato Heritier berbadan lebih pendek. Keduanya berteman sejak kecil. Setiap kali konflik bersenjata pecah, yang mengharuskan warga desa melarikan diri hingga berkilo-kilometer sampai ledakan senjata mereda, keduanya akan saling mencari di kamp pengungsian. Pada hari yang berlainan di musim semi 2013, Shukuru ditangkap oleh prajurit M23 di desa mereka, disusul oleh Heritier.

Mereka digiring dengan tangan terikat, dan sekali lagi bertemu di tempat tujuan: basis militer di Rumangabo, di dekat sektor selatan taman nasional yang telah diduduki oleh M23. Mereka bergabung bersama sekitar seribu pemuda lainnya yang ditarik secara paksa untuk mengikuti pelatihan itu.

Para komandan mengatakan kepada Shukuru, Heritier, dan yang lainnya bahwa pemerintah telah menganaktirikan Kongo bagian timur. Dengan pelatihan yang tepat, kata mereka, para pejuang M23 baru akan berhasil merebut kembali wilayah itu, bahkan merambah ke barat dan menaklukkan Kinshasa. Setiap kali berbuat salah, mereka dipukuli memakai tongkat kayu—sebagian sampai kehilangan nyawa. Sebagian lainnya tewas kelaparan akibat ransum harian yang sangat kurang. Setelah menjalani pelatihan selama tiga bulan, Shukuru dan Heritier dikirim ke medan laga. Pada November keduanya menyadari bahwa M23 tidak akan sanggup melawan pasukan pemerintah dan PBB. Mereka kabur dan saling bertemu di penampungan PBB.

Sekarang mereka berdua mengenakan rompi senada. Jalan yang mereka perbaiki hampir mulus menurut standar Kongo. Para petani, peternak sapi dan kambing, siswa sekolah, dan jemaat gereja yang melewati jalan itu hanya menghabiskan setengah waktu perjalanan me-reka dahulu. “Jalan ini benar-benar berdampak besar,” kata Heritier. Shukuru mengiyakan: “Karena itulah saya rela bekerja di sini. Hasil-nya, jalan ini membantu masyarakat.”

Ketika masih kanak-kanak, sebelum dia memahami peluang hidup di bagian timur Kongo, Heritier bercita-cita menjadi “seorang tokoh. Dokter. Mungkin bahkan presiden. Maksud saya, kenapa tidak?” Impian kecil yang tidak muluk-muluk namun halal dan damai, yang dimulai dari jalan ini, mengarah ke gorila-gorila gunung di atas bukit. Dari sana kedamaian akan menyebar ke utara menuju pos Rwindi, tempat Theo Kambale berusaha mewujudkan impian sederhananya. Baru-baru ini dia mendengar bahwa seekor singa betina dan bayinya terlihat di tepi Sungai Rutshuru. Dan dia mendengar hal lain—bahwa bersama kehidupan liar yang perlahan-lahan kembali, Hotel Rwindi yang sudah lama terabaikan juga mungkin akan kembali, jika taman nasional punya cukup dana untuk merenovasinya.

Ini, seperti perkataan Kambale kepada para pemuda di jalan, adalah awal kehidupan.