Perang Perebutan Virunga

By , Sabtu, 16 Juli 2016 | 21:00 WIB

Selama beberapa tahun terakhir, taman nasional ini mendapatkan pembaharuan berkat proyek-proyek semacam upaya pembangunan jalan Bukima, yang bertujuan menunjukkan kepada para tetangga Virunga bahwa penghormatan pada taman nasional akan membuahkan imbalan. Secara khusus, de Merode telah meluncurkan proyek ambisius pembangkit listrik tenaga air senilai $166 juta dengan memanfaatkan sungai-sungai di taman nasional. Targetnya adalah menghasilkan listrik untuk seperempat rumah tangga di area itu pada 2020 dan membuka 60.000 hingga 100.000 lapangan pekerjaan. De Merode berharap proyek ini akan menghasilkan perdamaian—dan dengan itu, kunjungan wisatawan akan meningkat, sehingga penghasilan penduduk wilayah itu bertambah, mendorong terbentuknya iklim yang berbeda dari yang masih menghantui bagian timur Kongo.

Sementara itu, perlahan-lahan, kehidupan liar kembali bergeliat. Sejak pembantaian gorila gunung oleh para penyelundup arang pada 2007, populasi spesies ini terus meningkat. Di sektor suaka utama yang bernama Lulimbi, jumlah kuda nil juga secara mengejutkan meningkat, sementara gajah-gajah kembali terlihat berjalan menyeberangi Sungai Ishasha menuju suaka margasatwa di Uganda. Operasi antiperburuan besar-besaran yang dijalankan oleh para polisi hutan berhasil menyampaikan pesan tegas kepada para pemburu gading dan penyelundup daging hewan liar: Virunga bukan lagi taman hura-hura.

“Dahulu ini tempat yang indah,” ujar Kambale pada suatu siang di sektor utama, melangkah dengan hati-hati di reruntuhan Hotel Rwindi yang telah ditumbuhi rumput di sana-sini. “Penghuni hotel ini selalu membeludak. Semua orang datang untuk melihat alam liar dan memotret. Ada sangat banyak satwa ketika itu.

Saat ini hanya babun yang terlihat mondar-mandir di antara semak-semak. Bungalo-bungalo, restoran, ruang dansa, taman tempat para wanita mzungu berjemur pada hari-hari panas seperti saat ini—semuanya terbengkalai, telah dua dekade ditinggalkan begitu saja. Si polisi hutan lahir dan dibesarkan di dekat pos patroli Rwindi. Pada tahun kelahiran Kambale, 1960, Kongo merebut kemerdekaannya dari Belgia. Jumlah penduduknya ketika itu, 15 juta jiwa, adalah seperlima jumlah penduduk saat ini. Ada begitu banyak lahan untuk petani maupun satwa. Sebagai polisi hutan muda pada 1980an, Kambale kadang-kadang harus memanjat pohon untuk menghindari serudukan kerbau.

Saat diktator Mobutu Sese Seko berkunjung, Kambale bertugas memasang umpan cacing hidup ke mata kali Mobutu. “Mobutu sangat menghormati taman,” kata Matthieu Cingoro, pengacara untuk sistem Taman Nasional Kongo. “Siapa pun dilarang bertani atau menebang pohon di dalam taman tersebut. Tidak ada yang berani melanggar peraturan itu.”

Kemudian datanglah para pengungsi dari Rwanda. “Mereka berjumlah sangat banyak, dan sebagian memiliki senjata dan amunisi,” Kambale mengenang. “Dalam sekejap populasi meningkat, dan orang-orang ini tidak memiliki makanan dan harus mencari arang, kayu bakar, bahkan daging di taman.” Satu per satu kelompok bersenjata lahir. Perbedaan mulai kabur. Para tentara Kongo meninggalkan tugas mereka dan kabur ke hutan. Sebagian dari mereka bergabung dengan milisi Mai-Mai, yang ketika itu bekerja sama dengan FDLR berbasis Hutu untuk melawan semua pendatang, termasuk para polisi hutan yang terus melarang mereka mencari penghidupan di dalam taman nasional.

Rezim Mobutu ambruk pada 1997, diikuti oleh struktur pemerintahannya. Gaji polisi hutan dipangkas. Mereka harus mencari tambahan penghasilan. Banyak polisi hutan bersedia menerima uang suap dari para penyelundup, yang tanpa malu-malu menelepon polisi hutan yang membutuhkan uang dan memerintah mereka untuk mengangkut kerbau yang telah dibunuh. Sebagian penjaga membagi-bagikan tiket kepada penduduk setempat, mengizinkan mereka memanen kayu untuk dijadikan arang. Kesepakatannya, porsi besar dari keuntungan mereka akan masuk ke saku aparat berseragam Virunga—dan terus disalurkan ke atas.

Lokasi yang dahulu menjadi favorit pengunjung taman nasional, pos patroli Rwindi, masih terlarang untuk didatangi. Dinding kantor komandan sektor dipenuhi lubang bekas terjangan peluru. Markas militer PBB didirikan di dekat sana. Rambu-rambu yang dipasang di seluruh Rwindi mengimbau penduduk setempat untuk melaporkan setiap tanda aktivitas mencurigakan polisi hutan.!break!

Pada suatu pagi, Kambale dan dua orang polisi hutan bersenjata mengantar saya bermobil ke Vitshumbi, desa di tepi selatan Danau Edward. Kawasan itu masih termasuk wilayah taman nasional. Vitshumbi adalah desa kumuh dengan ribuan perahu dan sekitar 40.000 penduduk tanpa listrik maupun air bersih.

Milisi Mai-Mai menawarkan perlindungan kepada para nelayan Vitshumbi dengan imbalan uang. Di balik milisi, kata Kambale dan para polisi hutan lainnya, berdiri para politisi yang memasok perahu dan senjata kepada para pelanggar hukum itu. “Dahulu prajurit Mai-Mai hanya bersenjata tombak dan parang,” ujar seorang polisi hutan muda yang bertugas di Vitshumbi. “Sekarang para politisi memberi mereka senjata api.” Dia menunjukkan luka bekas tembakan di bisep kirinya, tanda mata dari pertikaian terakhirnya dengan Mai-Mai di Danau Edward. Seorang polisi hutan dan tujuh tentara Kongo terbunuh saat itu.

Di tempat-tempat lainnya selama tiga pekan kunjungan saya di taman nasional, kekerasan merebak di mana-mana bagaikan nyala obor pada malam hari. Dari Vitshumbi, sebuah perahu polisi hutan sudah menunggu untuk membawa saya ke utara, ke daerah kuda nil di Lulimbi. Beberapa menit sebelum berangkat, saya baru mengetahui bahwa perjalanan saya dibatalkan oleh direktur keamanan taman nasional, yang menelepon untuk menyampaikan bahwa danau tidak aman dari serangan. Tiga hari sebelumnya, di sektor selatan yang dihuni oleh gorila-gorila gunung, sekitar 300 warga desa yang marah menutup jalan di luar Mikeno Lodge selama berjam-jam, menuntut pihak taman nasional untuk memberikan kompensasi bagi mereka. Keresahan warga desa bertambah setelah seribu atau lebih prajurit Angkatan Bersenjata Rwanda diam-diam melintasi perbatasan untuk memburu para pejuang FDLR. Seminggu kemudian, setelah tiba di sektor utara, saya menyaksikan ketika sepasukan polisi hutan dan tentara Kongo bertolak menuju Mayangose di timur laut Kota Beni, untuk membubarkan perkemahan 800 warga liar. Beberapa jam setelah Kambale mendampingi saya dari Rwindi menuju Vitshumbi dengan jeep taman nasional, akuntan sektor utama pulang dari Rwindi mengendarai sepeda motornya di jalan yang sebelumnya kami lewati—dan tiga orang pria menghadangnya sambil menodongkan Kalashnikov ke dadanya. Mereka mengikat kedua tangannya dan menyeretnya ke semak-semak. Malam itu keluarga si akuntan menerima telepon berisi permintaan tebusan sebesar $5.000.

Kabar itu mencapai markas taman nasional. Lebih dari seratus polisi hutan dan tentara Kongo diberangkatkan ke sektor utama, bersama pesawat pengintai dan anjing-anjing pelacak bloodhound dan spaniel. Anjing-anjing itu melacak aroma si akuntan. Para pengejar mengepung lokasi dan mulai menembak-nembak ke udara. Para penculik melarikan diri. Si akuntan berjalan keluar dari balik semak-semak, disambut oleh rekan-rekannya sesama pegawai taman nasional. Baginya, ini peristiwa mengerikan—namun ini juga kesempatan untuk menunjukkan aksi sigap oleh de Merode, pria yang disebut oleh Kambale sebagai “satu-satunya harapan kami.”