Perang Perebutan Virunga

By , Sabtu, 16 Juli 2016 | 21:00 WIB

Ketika si polisi hutan meng-awasi sekelompok pekerja yang menjadi tanggung jawabnya, tujuh pemuda yang tengah memperbaiki jalan kasar menuju Taman Nasional Virunga, jelas terlihat bahwa dia memiliki kesamaan dengan mereka. Mereka semua lahir dan dibesarkan di dalam atau sekitar taman itu, di perbatasan timur Republik Demokratik Kongo. Tidak seorang pun dari mereka tampak kaya maupun berpotensi kaya. Semuanya pernah melihat orang-orang tercinta mereka tumbang ditebas parang perang yang pelik dan seolah-olah tidak berkesudahan.

Dan kini mereka semua berada di sana, bekerja untuk taman nasional. Mereka menambal lubang-lubang di jalan demi tujuan yang lebih mulia dari sekadar jalan kasar sepanjang empat belas kilometer. Jalan itu menghubungkan pos polisi hutan Bukima dengan para wisatawan dari Barat, yang uangnya membantu menyangga kelangsungan taman nasional tertua di Afrika. Alasan utama kedatangan mereka adalah mewujudkan mimpi—berdiri hanya beberapa meter dari penghuni taman yang tersohor, gorila-gorila gunung yang telah langka.

Jalan Bukima yang menghubungkan para petani di luar taman nasional dengan pasar-pasar desa dan Kota Goma. Sudah bertahun-tahun jalan itu menyerupai kubangan berisi bebatuan besar dan lumpur yang mirip pasir hisap. Kondisinya yang mustahil dilewati menjadikan kehidupan yang sudah keras semakin keras. Namun kini taman nasional mengucurkan dana untuk perbaikan jalan. Dan penduduk setempat seperti para pemuda itulah yang mengerjakannya. Maka jalan itu pun juga menjadi pengikat, meskipun tipis. Pengikat antara lembaga nasional paling terkemuka di wilayah itu dan penduduk desa yang memandang taman nasional dengan benci dan kadang marah. Pasalnya, penduduk masih meyakini bahwa lahan itu sesungguhnya masih milik mereka. Inilah yang membedakan si polisi hutan, seorang kapten bernama Theo Kambale, dengan para pemuda itu. Hati Kambale sepenuhnya tertuju ke taman nasional.

Kambale berusia 55 tahun dan telah menjadi polisi hutan selama 31 tahun. Ayahnya, yang berprofesi sama, tewas diseruduk kerbau Afrika pada 1960, tahun kelahiran Kambale. Kakak lelakinya juga tewas saat bertugas, pada 2006. Pembunuhnya, anggota salah satu kelompok bersenjata yang telah merusak dan menduduki Virunga selama dua dekade.

Para pemuda ditarik secara paksa oleh milisi yang dikenal dengan nama M23. Pada akhir 2013, setelah memerangi mereka selama lebih dari satu setengah tahun, Angkatan Bersenjata Kongo, yang didukung oleh pasukan PBB, berhasil membekuk M23. Di antara prajurit infanteri yang dianggap layak diampuni oleh para penjaga perdamaian PBB dan petugas taman nasional adalah ketujuh pemuda itu.

Tugas memperbaiki jalan Bukima lebih berat dan kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan menjarah. Namun para mantan pemberontak itu tekun bekerja. Kambale terkesan. Dia sesekali mengobrol dengan mereka. “Dahulu, kalian hanya membuat kekisruhan di wilayah ini,” katanya. “Sekarang kalian membangun jalan ini. Ini baru awalnya. Dari sini kalian bisa melakukan banyak hal lain. Tetapi kalian tak akan bisa maju kalau tidak ada perasaan aman. Jadi sampaikan ini kepada teman-teman kalian. Suruh mereka meninggalkan kelompok bersenjata mereka. Karena itu bukan kehidupan. Ini”—dia menunjuk jalan—“baru awal kehidupan.”

Kambale berharap pesan ini akan mengendap. Dia memahami latar belakang kelam mereka. Dia pun mengerti bahwa sebagian besar dari mereka ditarik secara paksa. Di sekujur lengan dan punggung mereka terdapat bekas-bekas luka yang saling bertumpukan, bukti semiperbudakan. Ketika melihat para pemuda berusia 20-an yang menyandang bekas permanen brutalitas, Kambale teringat pada cedera di kaki kanannya, yang disebabkan oleh tombak milisia. Bukti kependudukan, bisa dibilang. Kalau mereka bisa mengabaikan luka-luka perang mereka, mungkin taman nasional ini bisa diselamatkan.

Tidak ada area terlindung berskala nasional lain di dunia ini yang menyerupai Virunga, meskipun hal ini memberikan keuntungan dan kerugian. Taman nasional ini memiliki luas sekitar 800.000 hektare, mencakup jejaring sungai gletser, salah satu Danau Besar Afrika, sabana yang bermandikan sinar matahari, hutan hujan yang lebat, salah satu gunung tertinggi di Afrika, dan dua gunung berapi aktif. Virunga menjadi rumah bagi lebih dari 700 spesies burung dan lebih dari 200 mamalia dan 480 dari 880 ekor gorila gunung yang masih tersisa di dunia. Berdiri di tempat Sungai Semliki mengalir sembari memandang kawanan gajah yang tengah berenang dengan khidmat dan kawanan bangau paruh sadel dengan latar belakang matahari pagi yang masih menggantung rendah, siapa pun akan merasa sangat kecil, dan sangat menyadari bahwa alam masih terlalu tangguh untuk ditaklukkan.!break!

Virunga telah menjadi medan perang selama dua dekade terakhir. Pada 1994 konflik etnis mematikan di Rwanda yang memicu genosida terhadap etnis Tutsi oleh etnis Hutu meluap melintasi perbatasan Kongo. Para pejuang Hutu bersama lebih dari satu juta pengungsi melarikan diri dari Rwanda menyusul kekalahan mereka, dan menghuni kamp-kamp sesak berkondisi mengenaskan di sekitar taman nasional. Sebagian orang Hutu kemudian membentuk Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda—dikenal dengan singkatan dari bahasa Prancis, FDLR—milisi yang menewaskan kakak Kambale. Penduduk Kongo yang beretnis Tutsi akhirnya merespons dengan membentuk Kongres Nasional Pertahanan Rakyat (National Congress for the People’s Defense atau CNDP), yang kemudian menelurkan gerakan 23 Maret, atau M23. Satu konflik berdarah memicu konflik berdarah lainnya—digerakkan oleh kelompok-kelompok bersenjata ini—mengobrak-abrik taman nasional.

Sejumlah besar pejuang, bersama para tentara Angkatan Bersenjata Kongo, tetap tinggal di sana setelah gencatan senjata ditetapkan. Masih ada ribuan pejuang di taman nasional saat ini, dan ribuan pejuang lainnya dari milisi lokal Mai-Mai yang kerap berganti tujuan te-lah bergabung bersama mereka. Berbagai upaya dari para polisi hutan untuk menggiring mereka keluar kerap berujung kematian. Maret lalu dua orang polisi hutan dibunuh di sektor utama Virunga, menambah angka kematian polisi hutan menjadi 152 sejak 1996.

Virunga juga dirongrong oleh perang lainnya, yakni penggalian di sana-sini yang tidak memedulikan kelangsungan ekologi untuk mencari minyak. Soco International, perusahaan yang berbasis di London, mengantongi izin konsesi pada 2010, yang memungkinkannya mengeksplorasi setengah luas Virunga, termasuk area di dekat Danau Edward. Menindaklanjuti protes keras yang terus berdatangan dari kelompok-kelompok konservasi, empat tahun kemudian Soco mundur. Pemerintah Uganda, bagaimanapun, telah menunjukkan ketertarikan untuk melakukan eksplorasi minyak di tepi danau. Ini menjadi pengingat suram bahwa taman nasional beserta seluruh sumber dayanya sama sekali tidak dianggap sakral.

Faktanya, tanah Virunga termasuk yang tersubur di Afrika. Perlindungan seluruh lahannya, yang dilakukan sejak pendirian taman nasional pada 1925, telah merenggut sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh penduduk salah satu negara yang dilanda bencana kelaparan terparah di dunia.  Akibatnya, muncul kekesalan di antara empat juta penduduk wilayah itu. Banyak di antara mereka, entah sengaja maupun tidak, melanggar hukum dengan menebang pepohonan di taman nasional untuk dijadikan arang, bertani di hutan, atau memburu binatang-binatang liar di dalamnya. Sebagian di antara mereka membentuk milisi Mai-Mai dan secara berkala mengumbar kekerasan.

Iklim kebencian yang terasa di mana-mana bukan hal remeh. Ini mencerminkan tantangan yang selalu ada untuk Virunga. “Sesungguhnya kami bisa berhasil hanya jika kami mampu menjaring dana yang sangat besar,” ujar direktur taman nasional, Emmanuel de Merode. Akibat huru-hara yang kerap melanda wilayah itu, hanya sekitar sepersepuluh Virunga yang bisa diakses oleh pengunjung—dan hanya setengahnya yang bisa dikategorikan ramah wisatawan. Penghuni terpenting taman nasional—250 hingga 300 gorila gunung yang sudah terbiasa melihat manusia—diawasi secara ketat setiap hari oleh tim keamanan yang beranggota 80 orang. Virunga adalah properti nasional, namun pemerintah Kinshasa hanya memberikan kontribusi sebesar lima persen dari anggaran operasional taman nasional sebesar delapan juta dolar per tahun. Sebagian besar dana didapatkan dari Uni Eropa, pemerintah AS, dan organisasi-organisasi nirlaba internasional. Walaupun sebuah hotel berbintang, Mikeno Lodge, telah dibuka pada 2012 di dekat sektor gorila, dan bumi perkemahan mewah di Pulau Tchegera di Danau Kivu telah mulai menerima tamu sejak 2015, jumlah pengunjung masih jauh dari masa kejayaan taman nasional praperang. Hotel bahkan kosong hampir sepanjang 2012 dan 2013, selama pertumpahan darah terakhir di Virunga, pemberontakan M23.!break!

Selama beberapa tahun terakhir, taman nasional ini mendapatkan pembaharuan berkat proyek-proyek semacam upaya pembangunan jalan Bukima, yang bertujuan menunjukkan kepada para tetangga Virunga bahwa penghormatan pada taman nasional akan membuahkan imbalan. Secara khusus, de Merode telah meluncurkan proyek ambisius pembangkit listrik tenaga air senilai $166 juta dengan memanfaatkan sungai-sungai di taman nasional. Targetnya adalah menghasilkan listrik untuk seperempat rumah tangga di area itu pada 2020 dan membuka 60.000 hingga 100.000 lapangan pekerjaan. De Merode berharap proyek ini akan menghasilkan perdamaian—dan dengan itu, kunjungan wisatawan akan meningkat, sehingga penghasilan penduduk wilayah itu bertambah, mendorong terbentuknya iklim yang berbeda dari yang masih menghantui bagian timur Kongo.

Sementara itu, perlahan-lahan, kehidupan liar kembali bergeliat. Sejak pembantaian gorila gunung oleh para penyelundup arang pada 2007, populasi spesies ini terus meningkat. Di sektor suaka utama yang bernama Lulimbi, jumlah kuda nil juga secara mengejutkan meningkat, sementara gajah-gajah kembali terlihat berjalan menyeberangi Sungai Ishasha menuju suaka margasatwa di Uganda. Operasi antiperburuan besar-besaran yang dijalankan oleh para polisi hutan berhasil menyampaikan pesan tegas kepada para pemburu gading dan penyelundup daging hewan liar: Virunga bukan lagi taman hura-hura.

“Dahulu ini tempat yang indah,” ujar Kambale pada suatu siang di sektor utama, melangkah dengan hati-hati di reruntuhan Hotel Rwindi yang telah ditumbuhi rumput di sana-sini. “Penghuni hotel ini selalu membeludak. Semua orang datang untuk melihat alam liar dan memotret. Ada sangat banyak satwa ketika itu.

Saat ini hanya babun yang terlihat mondar-mandir di antara semak-semak. Bungalo-bungalo, restoran, ruang dansa, taman tempat para wanita mzungu berjemur pada hari-hari panas seperti saat ini—semuanya terbengkalai, telah dua dekade ditinggalkan begitu saja. Si polisi hutan lahir dan dibesarkan di dekat pos patroli Rwindi. Pada tahun kelahiran Kambale, 1960, Kongo merebut kemerdekaannya dari Belgia. Jumlah penduduknya ketika itu, 15 juta jiwa, adalah seperlima jumlah penduduk saat ini. Ada begitu banyak lahan untuk petani maupun satwa. Sebagai polisi hutan muda pada 1980an, Kambale kadang-kadang harus memanjat pohon untuk menghindari serudukan kerbau.

Saat diktator Mobutu Sese Seko berkunjung, Kambale bertugas memasang umpan cacing hidup ke mata kali Mobutu. “Mobutu sangat menghormati taman,” kata Matthieu Cingoro, pengacara untuk sistem Taman Nasional Kongo. “Siapa pun dilarang bertani atau menebang pohon di dalam taman tersebut. Tidak ada yang berani melanggar peraturan itu.”

Kemudian datanglah para pengungsi dari Rwanda. “Mereka berjumlah sangat banyak, dan sebagian memiliki senjata dan amunisi,” Kambale mengenang. “Dalam sekejap populasi meningkat, dan orang-orang ini tidak memiliki makanan dan harus mencari arang, kayu bakar, bahkan daging di taman.” Satu per satu kelompok bersenjata lahir. Perbedaan mulai kabur. Para tentara Kongo meninggalkan tugas mereka dan kabur ke hutan. Sebagian dari mereka bergabung dengan milisi Mai-Mai, yang ketika itu bekerja sama dengan FDLR berbasis Hutu untuk melawan semua pendatang, termasuk para polisi hutan yang terus melarang mereka mencari penghidupan di dalam taman nasional.

Rezim Mobutu ambruk pada 1997, diikuti oleh struktur pemerintahannya. Gaji polisi hutan dipangkas. Mereka harus mencari tambahan penghasilan. Banyak polisi hutan bersedia menerima uang suap dari para penyelundup, yang tanpa malu-malu menelepon polisi hutan yang membutuhkan uang dan memerintah mereka untuk mengangkut kerbau yang telah dibunuh. Sebagian penjaga membagi-bagikan tiket kepada penduduk setempat, mengizinkan mereka memanen kayu untuk dijadikan arang. Kesepakatannya, porsi besar dari keuntungan mereka akan masuk ke saku aparat berseragam Virunga—dan terus disalurkan ke atas.

Lokasi yang dahulu menjadi favorit pengunjung taman nasional, pos patroli Rwindi, masih terlarang untuk didatangi. Dinding kantor komandan sektor dipenuhi lubang bekas terjangan peluru. Markas militer PBB didirikan di dekat sana. Rambu-rambu yang dipasang di seluruh Rwindi mengimbau penduduk setempat untuk melaporkan setiap tanda aktivitas mencurigakan polisi hutan.!break!

Pada suatu pagi, Kambale dan dua orang polisi hutan bersenjata mengantar saya bermobil ke Vitshumbi, desa di tepi selatan Danau Edward. Kawasan itu masih termasuk wilayah taman nasional. Vitshumbi adalah desa kumuh dengan ribuan perahu dan sekitar 40.000 penduduk tanpa listrik maupun air bersih.

Milisi Mai-Mai menawarkan perlindungan kepada para nelayan Vitshumbi dengan imbalan uang. Di balik milisi, kata Kambale dan para polisi hutan lainnya, berdiri para politisi yang memasok perahu dan senjata kepada para pelanggar hukum itu. “Dahulu prajurit Mai-Mai hanya bersenjata tombak dan parang,” ujar seorang polisi hutan muda yang bertugas di Vitshumbi. “Sekarang para politisi memberi mereka senjata api.” Dia menunjukkan luka bekas tembakan di bisep kirinya, tanda mata dari pertikaian terakhirnya dengan Mai-Mai di Danau Edward. Seorang polisi hutan dan tujuh tentara Kongo terbunuh saat itu.

Di tempat-tempat lainnya selama tiga pekan kunjungan saya di taman nasional, kekerasan merebak di mana-mana bagaikan nyala obor pada malam hari. Dari Vitshumbi, sebuah perahu polisi hutan sudah menunggu untuk membawa saya ke utara, ke daerah kuda nil di Lulimbi. Beberapa menit sebelum berangkat, saya baru mengetahui bahwa perjalanan saya dibatalkan oleh direktur keamanan taman nasional, yang menelepon untuk menyampaikan bahwa danau tidak aman dari serangan. Tiga hari sebelumnya, di sektor selatan yang dihuni oleh gorila-gorila gunung, sekitar 300 warga desa yang marah menutup jalan di luar Mikeno Lodge selama berjam-jam, menuntut pihak taman nasional untuk memberikan kompensasi bagi mereka. Keresahan warga desa bertambah setelah seribu atau lebih prajurit Angkatan Bersenjata Rwanda diam-diam melintasi perbatasan untuk memburu para pejuang FDLR. Seminggu kemudian, setelah tiba di sektor utara, saya menyaksikan ketika sepasukan polisi hutan dan tentara Kongo bertolak menuju Mayangose di timur laut Kota Beni, untuk membubarkan perkemahan 800 warga liar. Beberapa jam setelah Kambale mendampingi saya dari Rwindi menuju Vitshumbi dengan jeep taman nasional, akuntan sektor utama pulang dari Rwindi mengendarai sepeda motornya di jalan yang sebelumnya kami lewati—dan tiga orang pria menghadangnya sambil menodongkan Kalashnikov ke dadanya. Mereka mengikat kedua tangannya dan menyeretnya ke semak-semak. Malam itu keluarga si akuntan menerima telepon berisi permintaan tebusan sebesar $5.000.

Kabar itu mencapai markas taman nasional. Lebih dari seratus polisi hutan dan tentara Kongo diberangkatkan ke sektor utama, bersama pesawat pengintai dan anjing-anjing pelacak bloodhound dan spaniel. Anjing-anjing itu melacak aroma si akuntan. Para pengejar mengepung lokasi dan mulai menembak-nembak ke udara. Para penculik melarikan diri. Si akuntan berjalan keluar dari balik semak-semak, disambut oleh rekan-rekannya sesama pegawai taman nasional. Baginya, ini peristiwa mengerikan—namun ini juga kesempatan untuk menunjukkan aksi sigap oleh de Merode, pria yang disebut oleh Kambale sebagai “satu-satunya harapan kami.”

Selayaknya seorang tokoh heroik, Emmanuel de Merode, 46, tidak berpenampilan seperti pahlawan. dia adalah pangeran Belgia, gelar yang dianugerahkan kepada keluarganya karena seorang leluhurnya membantu negara itu merebut kemerdekaannya dari Belanda. Dari informasi terbatas ini, siapa pun bisa membayangkan bahwa de Merode paling sesuai dengan kehidupan di samping perapian, mengenakan sweter dan menikmati segelas anggur, bukan berada di salah satu zona konflik terpanas di dunia. Namun de Merode lahir di Afrika, menghabiskan masa mudanya di Kenya, menuntut ilmu di bidang antropologi, dan menghabiskan masa dewasanya di wilayah konservasi, sebagian besarnya di Kongo.

Di balik seragam de Merode terdapat dua bekas luka tembak tembus; satu peluru menembus paru-paru kirinya dan yang lain menembus perutnya. Dia mendapatkan kedua luka itu pada April 2014, ketika bermobil dari Goma untuk kembali ke taman nasional melalui jalan becek yang sunyi sekitar lima kilometer di selatan Desa Rugari. Pembunuh gagalnya tidak pernah ditemukan.

De Merode menjadi direktur Virunga pada 2008, di titik nadir taman nasional itu. Direktur sebelumnya ditahan tahun itu dengan tuduhan turut berpartisipasi dalam perdagangan gelap arang dan perencanaan pembantaian gorila. Sekitar enam bulan sebelumnya, taman nasional ini mendapatkan peng-huni baru, yaitu CNDP, milisi yang didukung oleh Rwanda untuk melawan FDLR. Tindakan pertama yang diambil oleh de Merode menunjukkan keberanian—muncul tanpa senjata di markas CNDP untuk meminta agar polisi hutan diizinkan kembali memasuki taman nasional. Komandan milisi, Laurent Nkunda, me-ngabulkan permintaan itu. De Merode kemudian membersihkan jajaran polisi kehutanan. Dia memangkas jumlah anggotanya dari 1.000 menjadi 230 orang, dan menaikkan upah bulanan yang semula hanya lima dolar menjadi le-bih layak, yaitu $200—“cukup,” katanya, “untuk meredam toleransi terhadap korupsi.”

De Merode kemudian berusaha memperbaiki hubungan dengan penduduk setempat. Dia mendengarkan keluhan warga. Selama berpuluh-puluh tahun, pihak taman nasional telah berjanji akan mengembalikan setengah penghasilan yang diterima dari wisatawan kepada masyarakat. Ke manakah uang itu melayang? Jalan, sekolah, rumah sakit, semakin bobrok. Sementara itu, gajah-gajah merusak lahan pertanian.!break!

“Sebelum de Merode mulai tampil, kami tidak pernah tahu bahwa ada direktur di taman nasional,” ujar seorang nelayan di Vitshumbi. “Sekarang Anda bisa melihat para polisi hutan dengan seragam bersih dan senjata bagus. Anda bisa melihat perbedaan yang dihasilkannya.” De Merode bahkan duduk bersama kelompok-kelompok milisi Kongo. Bagaimanapun, dia telah berhasil membuat lawan-lawannya gentar. Pada 2012 seorang mayor polisi hutan bernama Shadrack Bihamba dikepung oleh para pejuang Mai-Mai di tepi Danau Edward dan digiring ke hutan dengan todongan senjata. Bihamba me-ngatakan bahwa pemimpin milisi yang khawatir menasihati kawan-kawannya: “Dia petugas di taman nasional. Jika kita membunuhnya, de Merode akan memburu kita sampai mampus.” Dia memerintah anak buahnya untuk membebaskan Bihamba. “Walaupun mereka Mai-Mai dan berkuasa di hutan,” kata Bihamba, “mereka tetap takut kepada de Merode karena mereka menyadari bahwa dia didukung oleh seluruh masyarakat.”

Tetap saja, de Merode mengetahui bahwa wibawanya saja tidak akan mampu menjaga kelangsungan taman nasional. Taman na-sional membutuhkan uang untuk menjalankan hukum dan menjaga agar para tetangga tetap menjadi sekutu mereka. Satu-satunya cara untuk memastikan yang kedua, de Merode menyimpulkan, adalah dengan “memanfaatkan taman nasional sebagai basis penciptaan lapangan kerja besar-besaran, namun dengan cara tidak merusak.” Tujuan itu membawanya ke sektor utara taman nasional—khususnya Sungai Butahu yang melintasi tepian Desa Mutwanga. Pada 2010 taman nasional ini mulai mempekerjakan penduduk desa untuk menggali kanal dan membuat fondasi bagi pembangkit listrik tenaga air pertama di Virunga. Dengan biaya $110, taman ini akan me-nyalurkan listrik ke satu rumah di Mutwanga. Listrik me-nyala pada 2013, dan de Merode menahan napas.

Para warganya tetap menyambut gembira perubahan besar ini. Biaya yang dahulu biasa mereka keluarkan untuk pemakaian bahan bakar generator di kios mereka selama sehari kini bisa memenuhi kebutuhan listrik selama satu bulan penuh. Para siswa bisa mengerjakan tugas mereka pada malam hari. Rumah sakit berfungsi sepanjang waktu. Orang-orang membeli setrika, televisi, dan pemutar CD. Pemilik sebuah kios reparasi komputer menyewakan DVD dan berencana membuka warung Internet pertama di sana. Padahal baru 500 dari 2.500 rumah tangga yang tersambung ke pembangkit listrik tenaga air sederhana yang menghasilkan 400 kilowatt listrik. Selagi tim de Merode menyusun rencana untuk menangani daftar tunggu yang panjang, sebuah pabrik sabun milik taman nasional mulai beroperasi. Pabrik itu menyerap sekitar seratus tenaga kerja dari area ini. “Mutwanga menjadi laboratorium uji coba kami,” kata de Merode.

Pembangkit listrik tenaga air kedua yang lebih besar akan dibuka pada Desember, dan pada akhir 2018 dua lagi akan menyusul. Keempat pembangkit listrik ini akan membawa de Merode setengah jalan mencapai tujuannya menghasilkan daya sebesar seratus megawatt. Penjualan listrik, dia memperkirakan, akan “memberikan jaminan finansial pada taman nasional hingga seratus tahun mendatang.” Akan ada cukup tambahan pemasukan untuk menanamkan investasi sebesar satu juta dolar per tahun dalam proyek-proyek pemberdayaan masyarakat dan upaya konservasi di taman-taman Kongo lainnya.

De Merode berharap agar listrik dapat menjadi katalis perkembangan ekonomi. “Alasan tidak ada industri di sini adalah ketiadaan akses energi yang murah. Itulah yang bisa ditawarkan oleh taman,” katanya.  “Tidak ada bisnis yang bisa dijadikan contoh bagus di sini,” ujar direktur pengelolaan pabrik sabun, Leonard Maliona, 29. “Para pemuda di sini tidak punya tujuan selain menjadi politisi atau bergabung dengan milisi.”!break!

Gagasan untuk menjadikan Virunga sebagai “mesin ekonomi” di wilayah itu menyebutkan bahwa para pemimpin Kongo telah menyerahkan nasib satu wilayah negeri mereka ke sebuah taman nasional dan direkturnya, yang berdarah penjajah Belgia. Jika Virunga berhasil menjadi mesin ekonomi, kebencian mendalam masyarakat terhadap taman nasional akan berganti menjadi ketergantungan besar. Dan, semua itu diletakkan di pundak para pemuda yang bersedia menempa pedang mereka menjadi mata bajak untuk bekerja secara halal.

Dua pekerja menambal lubang-lubang di jalan yang teduh. Bushe Shukuru berbadan jangkung; Gato Heritier berbadan lebih pendek. Keduanya berteman sejak kecil. Setiap kali konflik bersenjata pecah, yang mengharuskan warga desa melarikan diri hingga berkilo-kilometer sampai ledakan senjata mereda, keduanya akan saling mencari di kamp pengungsian. Pada hari yang berlainan di musim semi 2013, Shukuru ditangkap oleh prajurit M23 di desa mereka, disusul oleh Heritier.

Mereka digiring dengan tangan terikat, dan sekali lagi bertemu di tempat tujuan: basis militer di Rumangabo, di dekat sektor selatan taman nasional yang telah diduduki oleh M23. Mereka bergabung bersama sekitar seribu pemuda lainnya yang ditarik secara paksa untuk mengikuti pelatihan itu.

Para komandan mengatakan kepada Shukuru, Heritier, dan yang lainnya bahwa pemerintah telah menganaktirikan Kongo bagian timur. Dengan pelatihan yang tepat, kata mereka, para pejuang M23 baru akan berhasil merebut kembali wilayah itu, bahkan merambah ke barat dan menaklukkan Kinshasa. Setiap kali berbuat salah, mereka dipukuli memakai tongkat kayu—sebagian sampai kehilangan nyawa. Sebagian lainnya tewas kelaparan akibat ransum harian yang sangat kurang. Setelah menjalani pelatihan selama tiga bulan, Shukuru dan Heritier dikirim ke medan laga. Pada November keduanya menyadari bahwa M23 tidak akan sanggup melawan pasukan pemerintah dan PBB. Mereka kabur dan saling bertemu di penampungan PBB.

Sekarang mereka berdua mengenakan rompi senada. Jalan yang mereka perbaiki hampir mulus menurut standar Kongo. Para petani, peternak sapi dan kambing, siswa sekolah, dan jemaat gereja yang melewati jalan itu hanya menghabiskan setengah waktu perjalanan me-reka dahulu. “Jalan ini benar-benar berdampak besar,” kata Heritier. Shukuru mengiyakan: “Karena itulah saya rela bekerja di sini. Hasil-nya, jalan ini membantu masyarakat.”

Ketika masih kanak-kanak, sebelum dia memahami peluang hidup di bagian timur Kongo, Heritier bercita-cita menjadi “seorang tokoh. Dokter. Mungkin bahkan presiden. Maksud saya, kenapa tidak?” Impian kecil yang tidak muluk-muluk namun halal dan damai, yang dimulai dari jalan ini, mengarah ke gorila-gorila gunung di atas bukit. Dari sana kedamaian akan menyebar ke utara menuju pos Rwindi, tempat Theo Kambale berusaha mewujudkan impian sederhananya. Baru-baru ini dia mendengar bahwa seekor singa betina dan bayinya terlihat di tepi Sungai Rutshuru. Dan dia mendengar hal lain—bahwa bersama kehidupan liar yang perlahan-lahan kembali, Hotel Rwindi yang sudah lama terabaikan juga mungkin akan kembali, jika taman nasional punya cukup dana untuk merenovasinya.

Ini, seperti perkataan Kambale kepada para pemuda di jalan, adalah awal kehidupan.