Revolusi "Si Pemotong" DNA

By , Rabu, 27 Juli 2016 | 14:00 WIB

Ketika wabah Zika di Puertoriko berakhir, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS memperkirakan setidaknya seperempat dari 3,5 juta orang di Puertoriko terjangkit Zika. Artinya, ribuan perempuan hamil mungkin terinfeksi.

Hingga saat ini satu-satunya cara paling efektif untuk membasmi Zika adalah dengan insektisida. James dan ilmuwan lainnya mengatakan bahwa memanipulasi nyamuk dengan CRISPR—dan menggunakan penggerak gen untuk membuat perubahan permanen—menawarkan cara yang jauh lebih baik.

Gen secara tradisional bertanggung jawab dalam aturan pewarisan sifat. Biasanya keturunan hewan reproduksi seksual menerima satu salinan gen dari masing-masing orang tuanya. Namun, ada gen yang “egois”: Evolusi menyebabkan gen egois ini memiliki peluang lebih dari 50 persen untuk diwariskan. Menurut teori, ilmuwan dapat menggabungkan CRISPR dengan gen untuk mengubah sandi genetik suatu spesies dengan menempelkan urutan DNA yang diinginkan ke gen yang dikehendaki sebelum melepaskan hewan itu untuk kawin secara alami. Cara ini dapat memaksakan masuknya hampir semua sifat genetik ke suatu populasi.

Tahun lalu, dalam penelitian yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, James menggunakan CRISPR untuk merekayasa versi nyamuk Anopheles yang membuat mereka tidak mampu menyebarkan parasit malaria.

“Selama puluhan tahun saya bekerja tanpa ada yang mengakui. Namun, sekarang semuanya berubah—telepon terus berdering selama berminggu-minggu,” kata James.

Memerangi nyamuk Ae. aegypti, yang membawa begitu banyak patogen, membutuhkan cara yang agak berbeda. “Yang harus kami lakukan,” katanya, “adalah merekayasa gen yang menyebabkan serangga itu menjadi steril. Tidak ada gunanya merekayasa nyamuk yang resisten terhadap Zika jika masih tetap dapat menularkan demam berdarah dan penyakit lainnya.”

Untuk memberantas demam berdarah, James dan koleganya merancang paket CRISPR yang dengan mudah menghapus gen alami dari induk nyamuk dan mengganti dengan versi yang dapat menyebabkan keturunannya steril. Jika nyamuk hasil rekayasa itu dilepaskan dalam jumlah yang cukup, untuk kawin, maka dalam beberapa generasi (yang masing-masing biasanya bertahan dua atau tiga minggu saja) seluruh spesies itu akan membawa versi hasil rekayasa.

James sangat menyadari bahwa melepaskan mutasi yang dirancang untuk menyebar dengan cepat melalui populasi yang hidup bebas di alam dapat memiliki konsekuensi tak terduga yang mungkin tidak mudah dibalikkan. “Tentu saja ada risiko yang terkait dengan melepaskan serangga yang telah dimanipulasi di laboratorium,” katanya. “Namun, saya percaya bahwa jika kita tidak melakukannya, bahayanya jauh lebih besar.”

telah lebih dari 40 tahun berlalu sejak ilmuwan menemukan cara untuk memotong nu-kleotida dari gen suatu organisme dan menempelkannya ke dalam gen organisme lain untuk memasukkan sifat yang diinginkan. Para ahli biologi molekul semangat sekali mengha-dapi kemungkinan terbukanya peluang melalui praktik ini, yang disebut DNA rekombinan. Namun, sejak awal para ilmuwan juga menyadari bahwa jika mereka dapat mengalihkan DNA antar-spesies, mungkin saja secara tidak disengaja mengalihkan virus dan patogen lainnya. Hal itu dapat menimbulkan penyakit tak terduga, yang mungkin tidak ada perlindungan, perlakuan, atau penyembuhan alami.

Pada 1975, para ahli biologi molekul dari seluruh dunia berkumpul di Asilomar Conference Grounds, California, untuk mendiskusikan tantangan yang dihadirkan teknologi baru ini. Mereka menyepakati serangkaian langkah pengamanan, termasuk tingkat keamanan laboratorium yang harus diperketat seiring dengan potensi risiko yang ditimbulkan oleh berbagai percobaan itu.

Segera menjadi jelas bahwa perlindungan itu berfungsi dengan baik dan bahwa manfaat yang mungkin diraih sangat besar. Rekayasa gene-tika mulai memperbaiki kehidupan jutaan orang. Penderita diabetes, misalnya, dapat meng-andalkan pasokan stabil insulin hasil rekayasa genetika. Tanaman hasil rekayasa genetika mulai mengubah tata cara pertanian di dunia.

Obat hasil rekayasa genetika telah diterima secara luas, tanaman yang dihasilkan dengan cara yang mirip ini masih belum diterima, meskipun banyak penelitian menunjukkan bahwa produk tersebut tidak lebih berbahaya untuk dikonsumsi dibandingkan pangan lainnya.