CRISPR bisa saja merupakan solusi dari kontroversi yang bersifat ilmiah dan budaya ini. Definisi kata “transgenik” dan “GMO” yang menggabungkan DNA spesies yang tidak pernah bisa kawin di alam. Ilmuwan berharap bahwa penggunaan CRISPR untuk mengubah DNA dapat meredakan tentangan pihak oposisi. CRISPR membuat para peneliti mampu merancang-ulang gen khusus tanpa harus memasukkan DNA dari spesies lain.
Beras emas, misalnya, adalah hasil rekayasa melalui GMO agar beras mengandung gen yang diperlukan untuk memproduksi vitamin A di bagian butiran yang dapat dimakan—sesuatu yang tidak terjadi secara alami pada tanaman padi. Setiap tahun, sekitar setengah juta anak di negara berkembang buta karena kekurangan vitamin A—tetapi para aktivis anti-GMO mengganggu penelitian dan mencegah produksi komersial beras tersebut. Dengan CRISPR, ilmuwan hampir bisa dipastikan mencapai hasil yang sama hanya dengan mengubah gen yang sudah aktif dalam tanaman padi.
Para ilmuwan di Jepang menggunakan CRISPR untuk memperpanjang usia tomat dengan mematikan gen yang mengendalikan keranuman. Dengan menghilangkan ketiga salinan dari suatu gen gandum, Caixia Gao dan timnya di Chinese Academy of Sciences di Beijing berhasil menciptakan galur yang resisten terhadap jamur tepung.
Para petani sudah menyesuaikan gen dalam spesies tunggal—dengan melakukan persilangan—selama ribuan tahun. CRISPR sekadar menawarkan cara yang lebih akurat untuk melakukan hal yang sama. Di beberapa negara, termasuk Jerman, Swedia, dan Argentina, badan pengatur pertanian membedakan antara GMO dan memanipulasi dengan alat seperti CRISPR. Ada tanda-tanda bahwa Food and Drug Administration AS mungkin mengikutinya, sehingga produk yang dibuat melalui CRISPR lebih banyak tersedia dan mudah diatur daripada pangan atau obat yang dimodifikasi secara genetika.
potensi penelitian crispr untuk menghasilkan obat yang lebih baik bagi manusia tidaklah terlalu berlebihan. Teknologi ini telah mengubah penelitian kanker sehingga lebih mudah merekayasa sel tumor di laboratorium, kemudian menguji berbagai obat untuk mengamati obat mana yang dapat menghentikan pertumbuhan sel tumor itu. Tidak lama lagi para dokter akan dapat menggunakan CRISPR untuk menangani sejumlah penyakit secara langsung.
Sel induk yang diambil dari penderita hemofilia, misalnya, dapat dimanipulasi di luar tubuh untuk memperbaiki cacat genetik penyebab penyakit tersebut, lalu sel normal dapat disisipkan untuk mengisi kembali aliran darah pasien.
Dalam dua tahun ke depan, mungkin kita akan menyaksikan kemajuan di bidang kedokteran yang bahkan lebih mencengangkan.
Selama bertahun-tahun ilmuwan mencari cara untuk menggunakan organ hewan guna mengatasi kekurangan donor. Babi sudah lama dianggap sebagai hewan mamalia pilihan, antara lain karena ukuran organnya mirip dengan ukuran organ manusia. Namun, genom babi dipenuhi virus PERV (porcine retrovirus endogen), yang mirip virus penyebab AIDS dan terbukti mampu menginfeksi sel manusia. Belakangan ini retrovirus babi berhasil dibasmi.
George Church, guru besar di Harvard Medic-al School dan MIT, menggunakan CRISPR untuk menghilangkan semua kemunculan gen PERV yang berjumlah 62 dari sel ginjal babi.
Saat ilmuwan mencampurkan sel hasil manipulasi itu dengan sel manusia di laboratorium, tidak satu pun sel manusia itu terinfeksi. Kelompok itu juga memodifikasi, dalam serangkaian sel babi lainnya, 20 gen yang diketahui menyebabkan reaksi dalam sistem kekebalan manusia.
Sekarang Church sudah meng-klon sel-sel tersebut dan mulai menumbuhkannya dalam embrio babi. Dia berharap dapat memulai percobaan pada primata dalam satu atau dua tahun lagi. Jika semua organ itu berfungsi dengan baik dan tidak ditolak oleh sistem kekebalan hewan percobaan, langkah berikutnya adalah mencobanya pada manusia. Church bercerita bahwa hal ini bahkan sudah dapat terjadi dalam 18 bulan ke depan, sambil menambahkan bahwa bagi banyak orang, jika percobaan ini tidak dilakukan, dapat dipastikan mereka akan meninggal.
Selama ini Church ingin menemukan cara untuk menyediakan organ cangkok bagi orang yang dianggap tidak cukup sehat untuk dapat menerimanya. “Sistem yang paling mirip de-ngan sekelompok orang yang menentukan hidup mati orang di negara ini adalah keputusan yang diambil tentang siapa yang berhak mendapatkan cangkok organ,” katanya. “Banyak dari keputusan diambil berdasarkan faktor kesehatan buruk seseorang. Banyak orang ditolak karena mengidap penyakit menular atau menyalahgunakan narkoba—alasannya bermacam-macam. Dan diyakini bahwa mereka tidak akan mendapatkan manfaat dari cangkok organ. Padahal tentu saja mereka dapat memperoleh manfaatnya. Jika cangkok organ yang tersedia berlimpah, kita dapat melakukan pencangkokan pada semua orang yang memerlukannya.”