Revolusi "Si Pemotong" DNA

By , Rabu, 27 Juli 2016 | 14:00 WIB

musang kaku hitam (Mustela nigripes) adalah mamalia yang paling terancam punah di Ame-rika Utara. Dalam 50 tahun terakhir, ahli ekologi margasatwa menduga hewan itu, yang pernah sangat banyak jumlahnya di seluruh Great Plains, sudah punah. Setiap musang kaki hitam yang hidup saat ini adalah keturunan dari salah satu dari tujuh leluhurnya yang ditemukan pada 1981 di peternakan dekat Meeteetse, Wyoming.

Namun, musang yang hanya tujuh ekor itu, yang lingkup perkawinannya terbatas selama beberapa generasi, tidak memiliki keragaman genetik, sehingga kian sulit bertahan hidup.

“Musang adalah contoh klasik seluruh spesies yang berhasil diselamatkan oleh teknologi genom,” kata Ryan Phelan dari kelompok Revive & Restore, yang mengkoordinasi berbagai upaya untuk menerapkan genomika pada pelestarian. Bersama Oliver Ryder di San Diego Frozen Zoo, Phelan dan koleganya berupaya meningkatkan keragaman musang dengan memasukkan bera-gam DNA ke dalam genom hewan itu dari dua ekor musang yang dilestarikan 30 tahun lalu.

Penelitian Phelan dapat menanggulangi dua ancaman. Yang pertama adalah tidak adanya pangan: Anjing padang rumput (Cynomys), mangsa utama musang, musnah akibat wabah di hutan, yang disebabkan oleh bakteri yang sama yang menimbulkan wabah penyakit pes pada manusia. Dan wabah itu juga berakibat fatal bagi musang, yang terinfeksi karena memangsa bangkai anjing padang rumput yang mati karena penyakit itu. Vaksin untuk menanggulangi wabah pada manusia yang dikembangkan pada 1990-an tampaknya memberikan kekebalan seumur hidup pada musang. Tim dari Fish and Wildlife Service telah menangkap, memvaksinasi, dan melepaskan musang (beberapa ratus ekor hidup di alam liar). Namun, pendekatan musang seekor demi seekor ini tidak berhasil melindunginya.

Solusi canggih diusulkan oleh Kevin Esvelt, yang mengembangkan beberapa teknologi CRISPR dan penggerak gen bersama Church. “Yang harus dilakukan hanyalah menghasilkan resistensi,” katanya menjelaskan—dengan me-nyandi antibodi yang dihasilkan oleh vaksinasi, lalu memanipulasinya menjadi DNA musang.

Esvelt yakin, pendekatan yang sama bukan saja dapat  membantu musang menolak wabah, melainkan juga dapat ikut memberantas penyakit Lyme, yang disebabkan oleh bakteri (Borrelia burgdorferi) yang ditularkan oleh kutu (Ixodes scapularis) yang biasa dimakan oleh mencit berkaki putih (Peromyscus leucopus).

Jika resistensi terhadap Lyme bisa dimanipulasi ke dalam DNA mencit dengan CRISPR dan disebarkan melalui populasi liar, penyakit itu mungkin berkurang atau hilang dan tidak terlalu berdampak buruk bagi lingkungan. Namun, Esvelt dan Church, sama-sama yakin bahwa percobaan semacam itu tidak boleh dilakukan tanpa partisipasi masyarakat dan apabila para ilmuwan yang melaksanakannya telah mengembangkan sistem pembalikan, semacam penangkal. Seandainya hasil manipulasi asli menunjukkan dampak ekologis tak terduga, mereka dapat menggunakan penangkal itu ke seluruh populasi untuk mengembalikan keadaan semula.

Musang kaki hitam bukan satu-satunya hewan yang dapat diselamatkan melalui  CRISPR. Populasi unggas Hawaii dengan cepat menyusut, terutama karena sejenis malaria menginfeksi unggas. Sebelum kapal pemburu paus membawa nyamuk pada awal abad ke-19, unggas di Kepulauan Hawaii tidak pernah terpapar penyakit yang dibawa nyamuk, dan karena itu tidak kebal. Dewasa ini hanya tersisa 42 dari seratusan spesies unggas yang berevolusi di Hawaii, dan tiga perempatnya terancam punah. American Bird Conservancy menyebut Hawaii sebagai “tempat terbesar di dunia yang unggasnya terancam punah.” Malaria unggas bukanlah satu-satunya ancaman terhadap unggas asli Hawaii yang masih bertahan, tetapi jika kepunahan ini tidak terbendung—dan manipulasi gen tampaknya merupakan cara terbaik untuk membendungnya—mungkin semuanya dapat menjumpai kepunahan.

Jack Newman adalah mantan direktur keilmuan di Amyris, yang memelopori pengembangan artemisinin sintetis, satu-satunya obat manjur untuk mengobati malaria pada manusia. Sekarang dia memusatkan perhatian pada pembasmian penyakit yang dibawa nyamuk pada unggas. Satu-satunya metode saat ini untuk melindungi unggas dari malaria adalah membasmi nyamuk dengan menyebarkan zat kimia kuat di wilayah yang sangat luas. Bahkan, upaya itu pun tidak sepenuhnya berhasil.

Hanya saja, banyak nyamuk hidup dan berkembang biak jauh di dalam rongga pohon atau dalam retakan batu tersembunyi. Untuk mencapainya boleh dikatakan sama saja dengan meracuni margasatwa di hutan hujan Hawaii. Namun, manipulasi gen, yang menyebabkan nyamuk steril, dapat membantu menyelamatkan unggas tanpa merusak lingkungan mereka. “Menggunakan genetika untuk menyelamatkan spesies ini hanyalah cara yang sangat terarah untuk menanggulangi masalah lingkungan,” kata Newman. “Malaria unggas menghancurkan margasatwa Hawaii, dan ada cara untuk menghentikannya. Apakah kita hanya diam berpangku tangan?”

pada februari 2016, Direktur US National Intelligence James Clapper mengingatkan dalam laporan tahunannya kepada Senat bahwa teknologi seperti CRISPR dipandang sebagai calon senjata pemusnah massal. Banyak ilmuwan yang menganggap komentar tersebut tidak berdasar, atau setidaknya terlalu ekstrem. Ada cara yang lebih mudah bagi para teroris untuk menyerang orang daripada menggunakan CRISPR untuk menimbulkan wabah baru tanaman atau virus mematikan.

Meskipun demikian, sungguh picik jika kita pun berpura-pura bahwa hal ini tidak mungkin berbahaya. Para ilmuwan yang paling bertanggung jawab atas kemajuan CRISPR sependapat bahwa apabila kita mulai bermain-main dengan warisan genetik dari spesies lain, apalagi spesies kita sendiri, mungkin tidak mudah, atau bahkan tidak mungkin, untuk mundur kembali.

“Apa akibat buruk dari manipulasi genom?” tanya Jennifer Doudna, ketika kami mengobrol di kantornya di University of California, Berkeley, tempatnya mengajar mata kuliah kimia dan biologi molekul. Pada 2012, Doudna dan koleganya yang orang Prancis, Emmanuelle Charpentier adalah yang pertama kali memperagakan bahwa ilmuwan dapat menggunakan CRISPR untuk memanipulasi DNA murni dalam cawan di laboratorium. “Saya tidak tahu apakah kita tahu cukup banyak tentang genom manusia, atau mungkin genom spesies lain, untuk benar-benar dapat menjawab pertanyaan itu. Namun, orang akan menggunakan teknologi itu, baik pengetahuannya mencukupi ataupun tidak.”

Semakin cepat ilmu pengetahuan meng-antarkan umat manusia ke depan, tampaknya semakin mengerikan. Memang selalu begitu. Sebentar lagi dapat dipastikan akan muncul eksperimen yang menggunakan kit CRISPR laksana tukang patri rumahan yang bermain-main dengan radio amatir atau komputer. Masuk akal untuk merasa khawatir jika kita membayangkan ilmuwan amatir menggunakan perkakas yang dapat mengubah genetika dasar tanaman dan hewan.

Namun, manfaat perkakas ini juga nyata, dan begitu pula risikonya jika kita mengabaikannya. Setiap tahun, nyamuk menyebabkan penderitaan besar di seluruh dunia, dan pemberantasan malaria atau penyakit lain yang dibawa nyamuk akan dipandang sebagai prestasi terbesar dunia kedokteran. Meskipun jelas terlalu dini untuk mempertimbangkan penggunaan CRISPR dalam embrio manusia yang viabel, ada berbagai cara lain selain memanipulasi silsilah bahan gen manusia yang dapat menyembuhkan penyakit tanpa mengubah silsilah genetik spesies kita.

Anak-anak yang lahir dengan penyakit TaySachs, misalnya, kekurangan enzim penting yang diperlukan tubuh untuk mencerna zat limbah lemak yang terdapat dalam otak. Penyakit itu sangat langka dan terjadi hanya apabila kedua orang tua menurunkan gen cacat kepada si anak. Dengan CRISPR, akan mudah menangani kontribusi salah satu orang tua—katakanlah sperma ayah—untuk memastikan bahwa si anak tidak menerima dua salinan gen yang cacat. Intervensi semacam itu jelas dapat menyelamatkan nyawa tanpa memengaruhi setiap bagian dari warisan genetik anak, dan hanya memastikan bahwa anak juga tidak akan membawa gen cacat. Hasil sama sudah dicapai melalui fertilisasi in vitro, dengan menanamkan embrio tanpa TaySachs pada ibu.

Ketika menghadapi risiko yang sulit di-evaluasi, kita cenderung memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Namun, mengingat ada jutaan orang yang menghadapi risiko, berdiam diri pun sama berbahayanya. Pada Desember 2015, para ilmuwan dari seluruh dunia berkumpul di Washington untuk mendiskusikan masalah etika. Diskusi lebih lanjut sudah direncanakan. Tidak akan pernah ada jawaban sederhana, tetapi tanpa panduan pengatur untuk memanipulasi DNA—potensi luar biasa revolusi ini dapat kalah oleh rasa takut.

“Dengan penggerak gen (gen drive) dan CRISPR, sekarang kita memiliki kekuasaan untuk menangani segala macam spesies, kekuasaan yang sebelumnya dianggap tidak mungkin dimiliki,” kata Hank Greely, direktur Stanford Center for Law and Biosciences. “Kebajikan yang mungkin dapat kita lakukan sungguh luar biasa. Namun, perlu diakui bahwa kita berhadapan dengan jenis kekuasaan yang benar-benar baru, dan kita harus mencari cara yang menjamin bahwa kita menggunakannya dengan bijaksana. Saat ini kita masih belum memiliki panduan itu, padahal keperluannya sudah sangat mendesak.”