Kesembuhan di Depan Mata

By , Jumat, 2 September 2016 | 18:00 WIB

Bayangkan gambar hitam-putih dengan kontras tinggi, resolusi rendah, berkedip-kedip. Seperti itulah yang dilihat Rhian Lewis dengan mata bioniknya. Lewis, 50, dari Cardiff, Wales, mengidap penyakit retinitis pigmentosa, yaitu fotoreseptor mati akibat defisiensi gen dan penglihatan meredup dari sisi luar. Seiring waktu, terowongan penglihatan itu semakin menciut habis.

Kondisi ini menimpa Lewis saat kecil. Saat masih merangkak, dia tidak mau masuk ke lorong gelap. Namun, dia berhasil menyelesaikan sekolah dan kuliah; menjadi barten­der; lalu, sementara mata kanannya rusak sepenuhnya, bekerja 20 tahun di toko buku dan alat tulis dengan menghafal setiap bagian toko dan belajar membedakan pena dengan meraba. Sejak toko itu tutup, dia lebih se­ring di rumah membesarkan anak kembarnya, yang kini menginjak akhir masa remaja.

Pada Juni 2015 wanita ini datang ke Rumah Sakit Mata Oxford, berbaring di meja, terbius oleh anestesi, dan 10 jam kemudian, terbangun dengan mata bionik. Dalam “operasi paling kompleks yang pernah saya lakukan,” kata dokter bedah Robert MacLaren, tim Oxford menyisipkan di antara lapisan-lapisan halus retina Lewis sebuah mikrocip sebesar bintik yang berisi 1.600 fotodiode mungil. Uji coba klinis MacLaren ini menelaah apakah cip ini, yang dinamai Alpha, dapat menggantikan fotoreseptor mati di pusat retina Lewis dengan menerjemahkan cahaya menjadi denyar listrik yang akan disampaikan oleh jaringan saraf yang ada ke otak.

Saat dokter menyalakan alat itu, kata Lewis kepada saya November lalu, “Saya tertegun. Tiba-tiba—ya Tuhan—ada sesuatu.”

Tetapi apa? Otaknya tak menafsirkan sinyal listrik dari cip itu sebagai benda atau pemandangan, tetapi sebagai denyar dan pendar yang sangat kontras. “Bukan gambar,” katanya, “hanya kesadaran bahwa ada perbedaan.”

Sejak itu dia belajar menafsirkan denyar cahaya ini sebagai penglihatan. Ini termasuk pelatihan formal di lab MacLaren katanya sambil tertawa. “Saya membencinya.” Tetapi, hasilnya mulai terasa. Dia belajar mengenali satu pola denyar sebagai manusia, pola lain sebagai pohon. Dia semakin mampu membedakan kontras dalam kegiatan menakutkan yang disebutnya “uji 50 rona kelabu” (sebenarnya hanya tujuh). Pada pekan sebelum saya berkunjung, dia berjalan-jalan di Oxford bersama tim MacLaren dan menemukan bahwa dia dapat membedakan, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, jendela gedung dengan temboknya.

Namun, kemajuan seperti ini lambat, dan Lewis masih mengerjakan hampir semua hal dengan indra peraba dan penglihatan meredup di sebelah matanya yang masih berfungsi. Menggunakan mata bioniknya terlalu melelahkan; biasanya dia matikan.

Keterbatasan seperti ini wajar pada purwarupa awal, kata Eberhart Zrenner, dokter bedah mata Jerman yang mulai mengembangkan Alpha lebih dari 20 tahun silam. “Tujuannya memang bukan memperoleh penglihatan penuh,” katanya, “melainkan meningkatkan kemampuan pasien untuk mengenali benda dan bermanuver.” Alpha berhasil melakukan itu. Zrenner bercerita ada pasien yang dapat membaca lagi namanya sendiri; pasien lain pertama kali memandang wajah tunangannya “dan melihat bahwa wajah itu sedang tertawa.” Hampir setengah dari 29 pasien yang mendapat implan versi lama yang mirip, katanya, merasakan implan itu bermanfaat.

Meremajakan Retina Aktivitas di otak yang berkaitan dengan penglihatan dapat mencapai hampir setengahnya. Kerusakan di lapisan retina, yang menangkap cahaya dan mengirim sinyal, dapat menyebabkan kebutaan yang saat ini tak dapat diobati. Namun, prognosis ini dapat berubah jika pengobatan retina yang sedang diuji ternyata efektif. Sumber: marks S. Humayun, University of Southern California; Henry Klassen, University of California; Irvine; Robert Maclaren, University of Oxford; Jean Bennet, University of Pennsylvania. (Manuel Canales, Staf NGM; Patricia Healy; Seni: Emily M. Eng)

Lewis juga merasa implan matanya bermanfaat. Andaipun implan ini tidak berkembang lebih jauh, katanya, gambar dari cip yang sering sulit ditafsirkan itu semacam mukjizat—terang yang menggantikan gelap. Dia memperkirakan bahwa ketika mata kirinya kelak rusak total, mata bionik ini, atau mung­kin versi selanjutnya, akan membantunya melakukan hal yang dapat dilakukan sekarang.

“Motivasi saya adalah anak-anak,” katanya, yang keduanya dapat melihat dengan baik sekarang, tetapi berisiko tinggi terkena retinitis pigmentosa. “Apa pun yang bisa saya lakukan kini akan membantu orang lain nanti.”

Menurut MacLaren, proyek implan ini memberi beberapa pelajaran berharga. Pertama-tama, proyek ini menunjukkan bahwa fotodiode dapat menggantikan fotoreseptor alami dan itu langkah besar. Alat ini juga menunjukkan bahwa pasien dapat belajar menafsirkan stimulus visual dalam bentuk baru. Selain itu, kata MacLaren, implan menunjukkan bahwa “masih ada potensi penglihatan setelah fotoreseptor rusak, karena saraf lain masih utuh. Saya tak mengira bahwa hal ini dapat diperlihatkan.”