Menghilangnya Grand Canyon

By , Kamis, 8 September 2016 | 11:30 WIB

Bagi saya dan Pete, tampaknya cara terbaik untuk memahami apa yang benar-benar dipertaruhkan adalah dengan mengikuti teladan Kenton Grua dan menjelajah langsung menembus ngarai menakjubkan itu.

BARAT: LANGIT YANG PENUH SESAK. Federal Aviation Administration membatasi wisata udara sebanyak 93.971 penerbangan setiap tahun. Pembatasan ini tidak berlaku untuk suku Hualapai, yang bebas menjalankan wisata udara tanpa terbatas dari tanah mereka. FAA tidak melacak penerbangan yang dilakukan suku Hualapai, dan suku itu menolak untuk memberitahukan berapa banyak penerbangan yang mereka izinkan dalam setahun. (National Geographic)
TENGAH: WARISAN BERACUN. Penemuan uranium pada 1940-an menimbulkan aktivitas penambangan puluhan tahun di Grand Canyon. Salah satu tambang di lahan Dinas Kehutanan masih aktif. Pada 2012, menteri dalam negeri melarang klaim pertambangan uranium baru selama 20 tahun di lahan federal seluas 405.000 hektare di dekat taman. (National Geographic)
TIMUR: MASA DEPAN YANG TAK PASTI. Dua proyek usulan, Escalade Tramway dan pengembangan komersial Tusayan, meningkatkan kekhawatiran bahwa aktivitas pariwisata tambahan akan semakin menguras air, membebani infrastruktur, dan merusak pemandangan alam. (National Geographic)

“Bung, kau baik-baik sajakah?” gumam Pete sambil menggerakkan tubuh saya perlahan. ”Mau coba makan sesuatu sebelum kau benar-benar jatuh pingsan?”

Saat itu adalah akhir September, matahari sebentar lagi akan tenggelam pada hari pertama perjalanan kami, dan saya tergeletak di sepetak tanah tempat kami seharusnya menghabiskan malam.

Salah satu dari sekian banyak hal yang tidak saya persiapkan adalah kesiapan mental untuk menyadari bahwa awal perjalanan ini tidak dimulai dengan tantangan yang ringan. Ngarai langsung menghantam para penantangnya dengan daerah yang paling berat sejak awal perjalanan. Selain itu, kami harus memanggul ransel seberat 23 kilogram serta menghadapi gelombang panas awal musim gugur yang menyulut suhu hingga 43 derajat Celcius sehingga memeras setiap tetes air dari tubuh kami dan mulai mengelupas sol sepatu khusus kami.

Ngarai membangkitkan dua reaksi: dorongan untuk melindunginya dan godaan untuk menambang uang darinya.

Keesokan harinya, kondisi Pete bahkan lebih buruk daripada saya. Dia mengalami kram otot begitu parah sehingga ketika melepaskan kemejanya, ibaratnya ada seekor tikus menggeliat masuk ke dalam perutnya dan berlari-lari dari bahu hingga perutnya, lalu kembali lagi ke bahu, tepat di bawah kulit.

Pada hari keenam, kami mengakui bahwa kami benar-benar kewalahan dan menyerah, membiarkan Rudow dan rekannya untuk melanjutkan. Dalam perjalanan keluar, Pete mengigau dan menjadi linglung. Saat tiba kembali di Flagstaff, dia didiagnosis terkena hiponatremia, ketidakseimbangan garam dan mineral akibat panas menyengat yang bisa berakhir dengan kematian.

Di akhir Oktober, meskipun terintimidasi tetapi tidak menyerah, kami kembali turun ke ngarai yang kini jauh lebih sejuk dan melanjutkan perjalanan, mulai di tempat kami keluar tiga minggu sebelumnya. Selama beberapa hari berikutnya, kami menjelajahi rute yang terdiri atas serangkaian langkan kapur yang membuat kepala pening, yang tingginya hampir 300 meter di atas dasar sungai. Di dekat penanda sungai 32 mil (sekitar 50 km), kami bisa melihat bayangan mulut gua tempat para arkeolog menemukan artefak leluhur suku Pueblo, yang menghuni lanskap ini selama lebih dari 10.000 tahun, serta bangkai kambing gunung harrington dan unta purba, hewan yang kini telah punah dan pernah hidup hingga akhir era Pleistosen, sekitar 12.000 tahun silam.

Pola harian kami seperti berikut: Setiap pagi kami mengisi perut dengan bubur gandum, kemudian berangkat menempuh perjalanan berat sejauh 19 hingga 23 km, biasanya dengan memanggul ransel mendaki tanjakan vertikal hingga 300 meter, menuruni lereng yang sangat curam, atau menembus semak berduri. Hal ini berlangsung terus hingga matahari mulai terbenam. Saat tubuh dalam keadaan babak belur, dipenuhi luka akibat tergores, dan sangat kelelahan, kami merebus air, melahap makan malam siap saji yang hanya perlu dituangi air, kemudian berbaring dan menatap langit malam sambil mendengarkan kata-kata Edward Abbey melalui audiobook yang diunduh Pete ke ponselnya.

Buku itu berjudul Desert Solitaire, penghormatan Abbey untuk “saudara” Grand Canyon, yaitu Canyonlands dan Arches. Meskipun saya biasanya begitu lelah dan hanya sanggup menyimak beberapa kalimat saja, saya sering meminta Pete memutar ulang bagian saat Abbey memperingatkan pembaca untuk tidak bergegas melompat masuk ke dalam mobil pada bulan Juni mendatang dan melaju ke Grand Canyon dengan harapan dapat menyaksikan keajaiban dunia yang berusaha dipromosikannya:

Pertama-tama, Anda tak dapat melihat apa pun dari mobil; Anda harus keluar dari mesin terkutuk itu, lalu berjalan, lebih baik lagi kalau merangkak, menggunakan tangan dan lutut, melintasi batu pasir serta menembus semak duri dan kaktus. Setelah bercak darah mulai menghiasi jalur yang Anda lewati, Anda akan melihat sesuatu, mungkin. Mungkin juga tidak.

Perubahan yang sangat mirip dengan berbagai kekuatan yang telah diperingatkan Abbey—pertumbuhan, pengembangan, dan pengejaran uang—kini sedang berlangsung di dalam Grand Canyon.

Meskipun bagian itu tampaknya seolah-olah sangat tepat untuk kondisi saya pada saat itu, saya selalu memaksa diri untuk tetap terjaga agar mendengar ucapan berikutnya:

Kedua, tempat yang paling sering saya tulis di dalam buku ini mungkin sudah lenyap atau akan lenyap tidak lama lagi. Ini bukan buku panduan wisata, melainkan sebuah elegi. Sebuah peringatan. Anda bagaikan sedang memegang batu nisan.