Menghilangnya Grand Canyon

By , Kamis, 8 September 2016 | 11:30 WIB
Menurut data U.S. Geological Survey, 15 mata air dan lima sumur di dalam area Grand Canyon memiliki kadar uranium yang tinggi sehingga dianggap tidak aman untuk diminum, sebagian karena insiden di tambang tua.

Namun, Tusayan bukan satu-satunya ancaman bagi akuifer di kawasan itu. Hanya 10 kilometer ke arah tenggara dari kota tersebut—juga di luar taman—perusahaan Energy Fuels berhasil membuka kembali tambang setelah pertarungan keras di pengadilan melawan kelompok lingkungan hidup dan suku Havasupai, dan tak lama lagi akan mengangkut keluar bijih uranium. Seorang pejabat perusahaan menepis kemungkinan terjadinya insiden besar. Namun, menurut data U.S. Geological Survey, 15 mata air dan lima sumur di dalam area Grand Canyon memiliki kadar uranium yang tinggi sehingga dianggap tidak aman untuk diminum, sebagian karena insiden di tambang tua.

Sementara itu, koridor sungai sepanjang 35 kilometer di dasar ujung barat ngarai telah dibuka untuk lalu lintas udara tanpa terbatas oleh suku Hualapai, yang reservatnya berbatasan dengan sisi selatan Sungai Colorado. Berkat perubahan peraturan Federal Aviation Administration yang diajukan oleh Hualapai, suku tersebut dapat mengoperasikan penerbangan helikopter yang tak terbatas jumlahnya. Penerbangan ini sarat wisatawan, banyak di antaranya berasal dari Las Vegas, dan terbang di bawah tepi ngarai sejak matahari terbit hingga terbenam. Kebisingannya sedemikian dahsyat dan tanpa henti sehingga daerah ini dikenal penduduk lokal sebagai Helicopter Alley.

Clark berkata, “Setiap ancaman ini mampu mengikis sepenggal keagungan ngarai dan secara bersamaan dapat mengikis kemampuan lanskap untuk melakukan hal yang membuatnya unik, yaitu menanamkan kerendahan hati dengan menunjukkan bahwa manusia tidaklah ada artinya jika dikaitkan dengan kekuatan yang telah membentuk planet ini, dan kita bukanlah pusat dunia.”

Ancaman yang lebih besar, menurut pendapat Clark, adalah bahwa Tusayan, Tramway, dan Helikopter Alley berpotensi mempercepat berbagai proyek pembangunan di daerah tetangga. Dia mencatat bahwa operasi helikopter suku Hualapai yang sangat sukses ini telah menumbuhkan minat di kalangan suku Navajo, yang meyakini bahwa sistem gondola berbasis kabel ini bisa menjadi pemicu ledakan wisata udara serupa di sepanjang sisi timur ngarai. Jika visi itu berhasil diwujudkan dan jika pengembangan Tusayan dilanjutkan, ujar Clark, dampaknya akan sangat besar. “Kita akan menyaksikan sebuah sanggraloka raksasa bertengger tepat di atas bagian tengah ngarai dan dihimpit oleh sepasang operasi wisata udara berskala besar, masing-masing dengan pengembangan barunya sendiri,” katanya. “Dalam sekejap, seluruh ngarai akan berubah menjadi sesuatu yang sama sekali tidak mirip dengan taman nasional dan lebih mirip taman hiburan.”

Setelah Hari Thanksgiving, saya dan Pete kembali ke tempat perjalanan kami yang terakhir dan mulai melanjutkan perjalanan ke hilir. Seratus sembilan puluh enam kilometer kemudian, kami mendaki kembali, di pintu masuk taman di South Rim. Berikutnya, perjalanan sejauh 106 kilometer yang dimulai tepat setelah Tahun Baru.

Pada akhir Januari, saat kami bersiap-siap untuk menempuh bagian perjalanan yang paling sulit—perjalanan 249 kilometer mengelilingi Great Thumb Mesa—teman kami, Rich Rudow, muncul kembali. Dia dan rekannya, Chris Atwood, telah melewati Grand Wash Cliffs pada akhir November, menjadi orang kesembilan dan kesepuluh yang pernah menyelesaikan perjalanan berkesinambungan melintasi ngarai itu. (Teman mereka, Dave Nally, terpaksa menyerah akibat masalah pernapasan.) Rudow melacak kemajuan kami melalui pesan singkat satelit yang selalu kami kirimkan dan mengkhawatirkan tantangan yang akan saya hadapi bersama Pete di Thumb di musim dingin. Inilah saat badai kerap bertiup tiba-tiba dan mencurahkan tumpukan salju setebal beberapa sentimeter.

Rudow memutuskan bahwa dia harus kembali untuk mengantarkan kami melalui daerah itu. Itulah sebabnya, pada sore hari 1 Februari, kami semua berdiri di atas salju hampir setebal 30 sentimeter di tepi Owl Eyes, merenungkan cara untuk melaluinya.

“Maaf,” ujarnya perlahan. “Berdiri di sini rasanya sangat emosional.” Kemudian, dia menceritakan kisah tentang apa yang terjadi pada seorang wanita muda yang kenangannya terpatri di tempat itu.

Di ujung teluk berbentuk tapal kuda tampak sebuah langkan besar. Jika berhasil mencapai sepenggal tanah datar itu, keadaan kami akan baik-baik saja. Namun, upaya mencapai tempat itu mengharuskan kami melintasi lereng curam bertaburkan serpihan batu dan, berdoa bahwa jika tergelincir, kami mampu berhenti meluncur sebelum melesat terbang dari tebing setinggi 122 meter itu. Saat itu waktu sudah sore dan, jika gagal mencapai daerah yang aman sebelum gelap, kami menghadapi bayangan menyeramkan untuk bermalam di lereng Owl Eyes yang sangat licin.

Setelah lebih dari dua jam berlalu, kami hanya mampu mencapai bagian tengah tapal kuda, tempat tanjung kecil menyeruak keluar dari lereng. Panjangnya tidak lebih dari 20 meter, tetapi ada ruang datar di atasnya dan di ujungnya terdapat tumpukan kecil bebatuan. Ketika kami tiba di bebatuan itu, Rudow berhenti dan menunduk sejenak. Kemudian melepas kacamata dan mengusap matanya.

“Maaf,” ujarnya perlahan. “Berdiri di sini rasanya sangat emosional.” Kemudian, dia menceritakan kisah tentang apa yang terjadi pada seorang wanita muda yang kenangannya terpatri di tempat itu.

Namanya Ioana Elise Hociota. Dia berasal dari Rumania, dapat berbicara empat bahasa serta memiliki gelar dalam matematika dan biologi. Usianya 24, baru menikah, bersama suaminya, Andrew Holycross, nyaris menyelesaikan sepenggal perjalanan “per bagian” di ngarai.

Pada musim dingin 2012, Hociota bertekad mencapai langkan sepanjang 32 km di dekat Great Thumb Mesa. Ketika Holycross menyadari bahwa jadwal kerjanya tidak memungkinkan dirinya untuk melakukan perjalanan itu, Hociota pergi bersama Matthias Kawski, profesor matematika dan mentor akademisnya.

Mereka berada di tengah-tengah Owl Eyes ketika berhenti untuk makan siang. Kemudian, Kawski mengambil jalan menanjak untuk mendekati  serpihan batu itu. Hociota memilih jalur lebih langsung yang menyebabkannya menghilang dari pandangan Kawski. Satu atau dua menit kemudian, Kawski mendengar suara batu jatuh, diikuti jeritan melengking, dan beberapa detik kemudian terdengar hantaman keras. Sambil bergegas ke tepi tebing, dia mengintip ke bawah, berusaha mencari Hociota. Dia berteriak memanggil namanya berulang kali. Tidak ada jawaban.

Keesokan harinya tubuh Hociota ditemukan. Polisi hutan yang bergantung pada sebuah helikopter diturunkan untuk mengambil jasadnya. Ketika Rudow selesai bercerita, dia menatap ke arah barat. Matahari beringsut perlahan ke bibir ngarai. “Teman-teman,” katanya, “Kita bermalam di sini.”

Malam itu semua botol air kami membeku, meskipun kami meletakkannya di dalam dua tenda yang kami dirikan di atas sepenggal kecil tanah datar di samping tugu peringatan untuk Hociota. Sepatu kami juga membeku dan keesokan paginya, kami harus memeganginya di atas kompor kemah untuk mencairkannya.

Sungguh tempat yang memilukan sekaligus berbahaya, dan saya senang dapat melewatinya. Namun, saya juga memerhatikan betapa indahnya tempat tersebut.

Kami pun membongkar kemah dan berjalan dengan susah payah menyusuri jalanan di lereng yang berselimutkan salju, ke langkan datar di sisi jauh Owl Eyes. Setelah itu kami mengeringkan perlengkapan di bawah sinar matahari dan menatap daerah yang baru saja kami seberangi.

Sungguh tempat yang memilukan sekaligus berbahaya, dan saya senang dapat melewatinya. Namun, saya juga memerhatikan betapa indahnya tempat tersebut. Di bawah sinar matahari pagi, bahkan wajah tebing bawah tempat jatuhnya Hociota dilapisi kilauan berwarna kuning madu yang tampaknya bersinar dari dalam. Pada saat itu, saya mungkin dapat melihat sekilas apa yang dimaksudkan Edward Abbey ketika menulis tentang betapa seseorang perlu merangkak untuk bisa melintasi daerah ini dan berdarah-darah sebelum akhirnya melihat sesuatu.

Apa yang saya lihat—atau, lebih tepatnya, apa yang saya pahami—adalah: dari sekian banyak hal yang menarik seorang genius matematika dari Rumania ke lanskap ini adalah bahwa ngarai ini bukanlah taman hiburan. Taman nasional ini tidak memiliki pegangan tangan, tempat dengan bahaya nyata di mana-mana. Namun, hadiahnya pun sangat nyata—di antaranya adalah fakta ketika melintasi alam liar kuno yang belum diusik, kita diingatkan tentang posisi manusia di tengah semua ini dan kerapuhan hidup. Rupanya Ioana Hociota paham bahwa dia membutuhkan tempat seperti itu. Dan saya menduga kita semua pun mungkin memerlukannya.

Empat hari kemudian, kami berhasil mendaki keluar. Setelah mengisi ulang pasokan di Flagstaff, saya dan Pete melanjutkan kembali perjalanan dengan serangkaian perjalanan yang, pada pertengahan Maret, membawa kami ke jarak sekitar 80 kilometer dari akhir perjalanan. Namun, ngarai itu belum selesai menguji kami. Pada suatu pagi, termometer di arloji Pete menunjukkan suhu 44 derajat Celcius, lebih panas daripada suhu yang memicu hiponatremianya enam bulan sebelumnya. Tiga puluh menit kemudian, kami mulai mendaki keluar.

Ketika memulai misi ini, kami tidak mungkin tahu bahwa bahkan setelah menjelajahi ngarai melalui sembilan kali perjalanan selama periode satu tahun, ujungnya masih belum juga dapat kami capai. Jika Anda membaca artikel ini pada September 2016, kemungkinan besar kami sudah kembali ke jalur itu, mencoba untuk menyelesaikan perjalanan kami. Jika Anda membaca cerita ini sekian puluh tahun dari sekarang, katakanlah pada 2066, mudah-mudahan alam liar Grand Canyon yang luas itu masih ada.